
Sejarah di Hadapan Ajip Rosidi
Pada 1969, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia yang disusun oleh Ajip Rosidi terbit. Salah satu buku Ajip yang membahas tentang sejarah. Pada tahun-tahun selanjutnya ia menulis berbagai catatan peristiwa/sejarah, misalnya Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonésia Beserta Sepilihan Karangan Lain (1973), Puisi Indonesia Modern (1987), dst. Dari catatan peristiwa itu—jika tidak bisa disebut sebagai historiografi, kita dapat melihat respons Ajip Rosidi terhadap polemik dan sikap politiknya.
Ajip Rosidi (untuk selanjutnya disebut Rosidi) dikenal sebagai sastrawan yang berseberangan dengan para pengarang Lekra. Dari buku-bukunya, kita dapat melihat sikap politiknya itu. Dalam buku Lekra Bagian dari PKI, dalam esai yang berjudul “Utuy Tatang Sontani Memandang Sastera Sunda” yang ditulisnya pada tahun 1964, Rosidi menjelaskan secara rinci kesalahan logika berpikir Utuy Tatang Sontani. Esai ini merupakan respons Rosidi terhadap ceramah Utuy pada tahun yang sama, yakni tahun 1964. Pada buku Lekra Bagian dari PKI, Rosidi juga merespons anggapan bahwa Lekra bukan bagian dari PKI. Anggapan itu—salah satunya—disebut oleh Tempo edisi 30 September—6 Oktober 2013 yang membahas tentang Lekra. Buku itu juga memuat esai “Balasan Atas Surat Dunia Maya”. Esai itu adalah klarifikasi Rosidi atas tuduhan-tuduhan Martin Aleida.
Sikap politik ini dijaga oleh Rosidi secara konsisten. Bagaimana sikap politik ini tercermin dalam buku-buku sejarah yang ditulis oleh Rosidi? Apa hal yang melandasi sikap politik itu?
Ajip Rosidi Mencatat Lekra
Dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Rosidi mengakui bahwa sastra dan politik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, dengan cara itulah sastra merespons kondisi zamannya. Namun, dalam penyusunan sejarah sastra, Rosidi menghindari kesan politis di dalamnya.
Dalam menyusun periodisasi sastra, Rosidi menggunakan istilah “Period”. Istilah ini digunakan saat ia membahas sastra periode 1960-an. Ia menandai periode itu sebagai “Period 1961 Sampai Sekarang”. Dengan demikian, penggunaan istilah ini cenderung bersifat netral, tidak politis.
Berbeda dengan Rosidi, H.B. Jassin, sebagai peletak dasar periodisasi sastra 1960-an, memberi nama periode/angkatan itu sebagai “Angkatan 66”. Gagasan ini ia tulis dalam majalah Horison, 2 Agustus 1966 yang berjudul “Angkatan 66, Bangkitnya Satu Generasi”—yang kemudian disertakan dalam buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi yang terbit pada tahun 1968. Menurut Jassin (1968), Angkatan 66 ini dilahirkan dinamika politik saat itu yang berpengaruh terhadap karya para pengarangnya. Menurut Jassin (1968), keruntuhan rezim Soekarno dan PKI menjadi penanda kelahiran Angkatan 66. Ia menganggap Angkatan 66 merupakan gerakan yang hendak mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara.
Cikal-bakal Angkatan 66 adalah Manikebu. Oleh sebab itu, jika melihat buku Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968), kita tidak mendapati pengarang-pengarang Lekra di dalamnya. Hal ini seolah menunjukkan bahwa pada periode 1960-an, tidak ada pengarang lainnya selain pengarang yang terdapat pada buku itu.
Sementara itu, Rosidi, dalam Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia (1973), menilai bahwa istilah angkatan menimbulkan ambiguitas. Menurutnya, penamaan Angkatan 66 bersifat politis dan beralusi kepada kelompok aktivis yang menjatuhkan rezim Soekarno. Selain itu, nama angkatan itu mirip dengan kelompok-kelompok aktivis terdahulu, misalnya Angkatan 08 (Budi Utomo), Angkatan 28 (Soekarno dkk.), Angkatan 45 (Chaerul Saleh dkk.), dll. Rosidi pun mempertanyakan, apakah penamaan itu didasarkan pada aktifnya pengarang-pengarang Angkatan 66 dalam menentang pemerintahan orde lama? Jika demikian, terjadi inkonsistensi dari Jassin sendiri dalam menyusun sejarah sastra Indonesia. Pertanyaannya, mengapa ia tidak menyebut Balai Pustaka sebagai Angkatan 28 karena pada tahun itu terjadi sumpah pemuda dan Muh. Yamin, Sanusi Pane, dkk. terlibat di dalamnya.
Jassin berpendapat bahwa Angkatan 66 merupakan angkatan baru setelah Angkatan 45. Hal itu disebabkan bahwa Angkatan 66 terbentuk dari suatu peristiwa politik, di mana angkatan tersebut berkonfrontasi dengan penguasa otoriter. Angkatan 66 bercita-cita mengembalikan Pancasila pada posisi yang penting setelah dikhianati oleh komunisme.
Bagi Rosidi dan Siregar, dalam buku yang berbeda, hal yang diungkapkan Jassin soal karya sastra bertemakan sosial atau karya-karya protes tidaklah asing bagi perjalanan sejarah sastra Indonesia. Awalnya, pengarang-pengarang sastra Indonesia selalu beroposisi dengan status quo.
Dalam hal ini, Ajip Rosidi berbeda dengan H.B. Jassin. Ia berusaha untuk tidak memolitisasi sejarah. Dengan demikian, ia pun menggunakan istilah “period” sebagai jalan tengah. Sepaham dengan Rosidi, Bakri Siregar dalam Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Kratz, 2000) kurang bersepakat dengan penggunaan istilah angkatan karena dapat menimbulkan kontroversi. Lebih jelas ia mengatakan, “Ketidaksepahaman tentang pengertian angkatan dalam sastra Indonesia membuat sementara penelaah menghindarkan penggunaan sebutan tersebut, dia memilih periodisasi atau babakan waktu. Penggunaan periodisasi dalam hal ini mempunyai nilai praktisnya ketimbang pembagian atas dasar angkatan (Siregar dalam Kratz, 2000: 703).”
Dalam membahas sastra “Period 1961 Sampai Sekarang”, Rosidi mengawali tulisannya dengan polemik Lekra dan Manikebu. Dalam bahasan itu, ia mengklasifikasi para pengarang ke dalam beberapa kelompok, yaitu (1) pengarang Lekra, (2) pengarang keagamaan, (3) pengarang Manikebu, dan (4) pengarang wanita.
Dalam pada itu, kita dapat melihat bahwa Rosidi menaruh perhatian pada banyak hal yang berkaitan dengan sastra pada periode 1960-an. Ia tidak melihat fenomena sastra pada masa itu dari segi politik saja. Bahkan, Rosidi menangkap fenomena lain dalam perjalanan sastra periode 1960-an, yaitu terdapat kelompok-kelompok sastrawan yang mengangkat soal-soal agama dan sastrawan wanita yang mengangkat dunianya sendiri.
Rosidi juga tidak hendak menghapus Lekra dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Namun, ia mengambil jalan tengah atas dinamika politik sepanjang dekade 1960-an. Meski mencatat Lekra, sikap politiknya yang sejalan dengan Manikebu pun tampak. Hal ini terlihat saat ia membahas sastrawan Manikebu, misalnya Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, B. Soelarto, Bur Rasuanto, A. Bastari, Gerson Poyk, dan Satyagraha Hoerip Soeprobo. Sementara, untuk mengenalkan Lekra, Rosidi hanya sekadar menyebutkan nama. Sementara itu, ia tidak satupun membahas pengarang Lekra.
Pada buku Laut Biru Langit Biru (1977), Rosidi mengatakan bahwa karya-karya realisme sosialis tidak bermutu. Oleh sebab itu, ia tidak memuat karya-karya pengarang Lekra (Sambodja, 2010). Mengapa dianggap tidak bermutu? Tentu saja, Rosidi memiliki jawaban yang sangat kuat. Jawabannya tersirat dalam buku Puisi Indonesia Modern.
Merumuskan Puisi Indonesia Modern
Sejurus dengan Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1977), Puisi Indonesia Modern yang pertama kali diterbitkan tahun 1987 yang ditulis oleh Rosidi memperlihatkan kesepakatannya dengan kebebasan berkarya. Artinya, Rosidi menolak pemahaman Lekra, yakni seni haruslah untuk rakyat dan mengabdi pada partai—seperti yang dianjurkan Lenin. Rosidi cederung bersetuju dengan kebebasan berkarya yang dianut oleh kelompok Manikebu, yaitu humanisme universal. Dalam pemahaman humanisme universal, seorang pengarang diberi kebebasan untuk berekspresi melalui karyanya.
Dalam buku Puisi Indonesia Modern, Rosidi memberi contoh dengan menunjukkan karya Subagio Sastrawardojo—merupakan pengarang yang aktif berkarya pada periode 1960-an. Rosidi menjelaskan bahwa Subagio Sastrowardojo memiliki kebebasan dalam berkarya. Bahkan saking bebasnya, Subagio Sastrowardoyo tidak ingin terkait dengan kelompok manapun. Ia pun seolah-olah lepas dari kekisruhan yang terjadi di zamannya. Dalam Rosidi (2010), Subagio Sastrowadojo berpendapat, “Kesusastraan harusnya bersifat individuil, karena tidak dapat dihasilkan oleh manusia yang berkelompok di bawah nama ikatan politik atau agama.”
Selain Subagio Sastrowardojo, Rosidi (2010) menjelaskan bahwa Goenawan Mohamad juga memiliki kecenderungan yang sama. Goenawan Mohamad juga menjunjung tinggi kebebasan seorang kreator sastra; bahwa karya seni merupakan pengucapan pribadi yang bebas.
Dalam pada itu, kita dapat melihat bahwa bagi Ajip Rosidi, puisi-Indonesia modern adalah puisi yang bebas dari aturan-aturan. Jika suatu karya memiliki aturan-aturan tertentu, karya itu bukanlah karya modern. Karya itu tidak ada bedanya dengan pantun, syair, gurindam yang memiliki aturan tertentu. Aturan itu bukan hanya terbatas pada bentuk (rima, suku kata, dan baris), melainkan pula pada gagasan. Secara tersirat, dalam buku Puisi Indonesia Modern, Rosidi ingin mengatakan bahwa puisi-puisi yang ditulis oleh pengarang Lekra bukanlah puisi-Indonesia modern karena puisi-puisi itu masih terikat oleh aturan, yakni puisi yang harus mengabdi kepada partai.
Dari buku-buku yang ditulis oleh Ajip Rosidi, kita dapat melihat sikap politik yang dimilikinya. Tentu saja, ia berseberangan dengan Lekra. Namun, sikap itu bukan hanya dilahirkan dari pengalamannya sebagai saksi sejarah, melainkan juga dilahirkan dari sikapnya sebagai ilmuwan. Atas dasar inilah kita akan merindukannya.[]
Referensi
Jassin, H.B. (ed.). (1968). Angkatan ’66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
Kratz, Ernst Ulrich. (2000). Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: KPG.
Rosidi, Ajip. (1973). Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya.
__________. (1977). Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Putra A. Bardin.
__________. (2010). Puisi Indonesia Modern. Bandung: Pustaka Jaya.
Sambodja, Asep. (2010). Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: Bukupop.
Rosidi, A. (2015). Lekra bagian dari PKI. Bandung: Pustaka Jaya.