Fb. In. Tw.

Moralitas Bangsa dari Sudut Pandang Hukum dan HAM

Moralitas sebuah bangsa dapat ditentukan dengan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) pada bangsa tersebut. Sehingga Moralitas dan HAM menjadi topik yang dipikirkan oleh Bung Karno ketika menyusun Pancasila dan UUD 45. Namun pada praktik penegakkan HAM banyak pelanggaran HAM yang terjadi dan lembaga hukum tidak pernah mengusut pelanggaran HAM hingga tuntas.  Maka dari itu, penyelenggara  Festival Indonesia Menggugat mengangkat salah satu tema diskusi yang berjudul “Menyoal Hukum dan HAM” dengan mengundang dua narasumber, Dianto Bachriadi (Wakil Ketua Komnas HAM) dan Wawan (Jakarta Harum ), Sabtu (21/05/2016).

Dimoderatori oleh Adimas (Aliansi Jurnalis Independen), Dianto Bachriadi menjelaskan bahwa secara legalitas HAM menjadi pilar penting dalam konstitusi dan Pancasila. “Terdapat 8 dari 9 instrumen HAM internasional yang sudah menjadi sumber hukum nasional,” jelas Dianto Bachriadi. “Namun, pada praktik politik angka pengaduan HAM terus meningkat dari tahun ke tahun pasca reformasi” tambah Dianto.

Sedangkan masih banyak kasus-kasus besar pelanggaran HAM sebelum reformasi yang belum terselesaikan, seperti contoh kasus Petrus, Trisakti, dan Pembunuhan Massal 1965. “Tidak ada niat yang murni atau niat politik dari pemerintahan untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM. Batas Komnas HAM bekerja hingga penyelidikan. Lalu kejaksaan menindaklanjuti hasil penyelidikan.” ucap Dianto.

Dianto juga menjelaskan bahwa penyelesaian kasus HAM di Indonesia selain niat politik dari pemerintahan, juga kurangnya kultur menghormati HAM yang tidak tumbuh bersama demokrasi. Seperti makin banyak kalangan masyarakat yang intoleran, main hakim sendiri serta terjadi pelebaran aktor dari aparatur negara. Jika dahulu hanya tentara , sekarang polisi juga korporasi Negara turut melakukan pelanggaran HAM.

Wawan sebagai narasumber kedua turut menyinggung persoalan demokrasi dan HAM di Indonesia. “Bagaimana kita akan melukiskan Indonesia tanpa mengedepankan realitas-historis masyarakat?” tanya Wawan.

Wawan turut menjelaskan prasyarat demokrasi adalah penegakkan hukum dan HAM. Namun tingkat ranking intoleran, kebijakan diskrimatif dan ada pimpinan pemerintahan yang memprovokasi beberapa pihak agar memicu konflik demi mempertahankan kekuasannya yang menjadi hambatan penegakkan moral HAM.

Wawan juga kemudian menjelaskan tiga hambatan moral atas penegakan HAM di Indonesia. Diantaranya adalah otorisasi, birokratisasi, dan dehumanisasi. Otorisasi mencakup kewenangan, banyak lembaga di Indonesia yang mengeluarkan kebijakan yang membenarkan terjadinya tindak diskriminasi dan kekerasan. Lalu birokratisasi maksudnya adalah ada standar operasional prosedur (SOP) dalam lembaga yang mengharuskan tindak kekerasan terjadi. Terakhir, dehumanisasi adalah pencabutan martabat manusia. Ia memberikan contoh kegiatan perpeloncoan, bahwa objek plonco tak lagi disebut manusia melainkan junior.

Tidak hanya mengkritik, Wawan turut memberikan solusi terhadap persoalan tentang HAM. “Hak rekonsiliasi, penegakkan keadilan, pengungkapkan kebenaran serta hak reparasi untuk penyembuhan trauma bangsa Indonesia merupakan langkah-langkah penyelesaian persoalan HAM.” ujar Wawan.

Sesi tanya jawab membahas tentang keseriusan kinerja Komnas HAM dalam menanggapi aduan-aduan yang ada, terutama aduan yang berasal dari pelosok timur.

Selain itu, membahas peraturan tentang perlindungan untuk pembela HAM yang merupakan hal baru walaupun secara regulasi dan instrumen sudah ada yang mengatur.

“Secara regulasi dan instrumen hukum,sebenarnya penegakkan HAM bisa dilaksanakan. Namun secara praktik itu sulit karena masih banyak menemukan hambatan.” ucap Dianto menutup diskusi kali ini.[]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Post tags:

Reporter Buruan.co. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI.

You don't have permission to register