Puisi-Puisi Irna Novia Damayanti
Selembar Limapuluh Ribu
kau tak ingin lagi hidupmu serasa
dibeli selembar lima puluh ribu
dengan bersantai di rumah
saban hari
sebab tetes airmu dianggap mengundang kematian
dapur yang mengepul
juga kasur tidak memberikan hibur
sejak mata relawan merekam gerak gerik
di halaman rumah
kau selalu ingin mampir menuju kepala orang-orang dan
menghapus nama, wajah serta alamat rumahmu
sebab dengan cara itu, jiwamu
menemukan kemerdekaan
selembar lima puluh ribu ingin kau temui lagi
dari tangan ibu-ibu yang membeli sayurmu di pasar pagi
atau di pematang sawah setelah musim mengabarkan waktu panen
biarlah keringat meneteskan lelah
dan menemui percakapan yang menambah beban punggungmu
di sanalah kau ingin lagi menemukan
kasih sayang yang
kini menunggu dalam kenang
selembar lima puluh ribu masih menjadi hantu
bergentayangan di layar televisi
mewakili harga dirimu
dan masih membuatmu menunda menghirup aroma kebaikan pasar
sampai empat belas hari selesai merangkum kesepian
Purbalingga, April 2020
Jumat
kau dan jumat tidak saling menjabat
sejak tubuhmu divonis ODP
matamu menghitung teman-teman yang melintas
dekat jendela kamarmu
kau kenali nama dan wajah mereka dari lisan yang berucap
airmata menjatuhi keasinganmu
sementara jiwamu sibuk menjaga diri
:diisolasi
dalam kamar, kau meredam keinginan
menjemput khutbah dan dua rakaat di dalam masjid
kau asing dengan pesan-pesan khatib dari jauh
deretan rumah-rumah penduduk yang
berhimpit
kau rasa telah mencuri rizki jiwamu
jumat memberimu kesendirian
kau kehilangan pikiran untuk berdoa
menyusun rencana mewujudkan mimpi yang masih
tersimpan rapi di buku catatan
Rajawana, April 2020
Sajak Perantau
jika kota yang kami tempati kehilangan keramahannya
lalu ke mana lagi kaki menuliskan takdir
sementara kampung bukan alamat yang menunggu cerita
saat aku mengayuh becak atau
menjual kopi tengah malam
tanah kelahiran sibuk mencatat rasa lapar yang
semakin meningkat
di kontrakan, kami menata kesabaran
meski kematian seakan menggedor di balik pintu.
sambil memandangi jendela
barangkali, pekerjaan kami sudah waktunya dikembalikan
sebab siang dan malam sepi
semua menepi menuju doanya masing-masing
Rajawana, 2020
Malam Pertama
ini bukan malam pertama kita berkencan dalam fatihah
membiarkan puisi ramai di sajadah
tanpa ada nafas saling bertemu
malam, biasanya kita isi dengan
saling mengantar salam-senyum di wajah
semangkuk soto di warung langganan
kita nikmati sambil menghitung jumlah airmata yang
terjatuh di tanah
doa serta dosa kita timbang
dengan pesan ibu dan buku bacaan yang
menyedapkan aroma kuahnya
ini bukan malam pertama
diantar musim pagebluk
membuat jantung kita saling curiga
membuat kematian seakan hanya mengintai di balik dada
meski keberadaannya membuat kami
menyimpan waktu
melukis senyum ayah ibu
dalam pertemuan kening dan sajadah
kalimah masih mengantar
dalam demam, sesak napas, dan batuk
menunggu malam pertama menemui
kekasih di masjid
yang menanti dalam kesunyian panjang
Rajawana, April 2020
Batuk
kau kembali mengambil pisau di dapur ibu
memotong jeruk nipis
menjadi beberapa bagian
batuk seakan mengutuk tenggorokanmu dan
kau tak pernah betah berada di dalam selimut yang
hanya menawarkan kesepian
kau juga tak berani pergi membiarkan harga diri
dihadang gosip tetangga
pisau telah tumpul
mengumpulkan kekecewaanmu yang
tak pernah keluar rumah
kau menggigit semua jeruk nipis
melupakan bagian hari esok
dan ingatanmu kembali setelah di tangan
hanya beberapa tetes airnya yang
juga kau jilati
kau masih saja batuk
yang tanpa sepengetahuanmu
sedang meluluh lantahkan dosamu
kepada semesta
Rajawana, April 2020