Lebih Senyap Dari Bisikan
Kau tahu aku dan Baron sedang berusaha memiliki anak. September lalu adalah ulang tahun pernikahan kami yang kedelapan, dan selama tiga tahun terakhir upaya kami memiliki bayi telah menjadi begitu ekstrim. Aku sangat obsesif dengan masa suburku, dan menolak bila Baron mengajakku berhubungan di hari-hari lainnya. Aku takut sperma Baron menghampiri telurku yang ternyata belum matang. Bagaimana bila ternyata sperma yang kecele itu justru sperma yang memuat bakal calon bayi kami?
Dan bagaikan mandor yang membuat jadwal shift untuk para buruhnya, dengan teliti aku mengatur jadwal kami berhubungan seks. Menurut artikel di forum diskusi ibu-ibu yang kukunjungi setidaknya tiga kali sehari (thread: Promil alias Program Hamil), bercinta kelewat sering justru tidak dianjurkan. Sperma membutuhkan waktu setidaknya tiga hari agar matang dan siap membuahi, dan itu tidak akan terjadi kalau dikeluarkan setiap hari. Perempuan mengalami masa subur pada hari ke-11 dan hari ke-21 dalam siklus menstruasinya dan Baron berusaha membuahiku di sepanjang siklus itu, dengan jeda setiap tiga hari. Jadwal ini kami jalani dengan kedisiplinan seperti tentara. Baron bahkan mulai menjawab, “Siap, Ndan!” setiap kali aku mengabarinya hari itu adalah jadwal kami membuat anak.
Kalau kau sudah menikah lebih dari 1 tahun dan belum hamil-hamil juga, kau akan mulai menjadi bintang di acara keluarga.
“Kok belum jadi juga sih? Kurang ahli kali bikinnya?”
“Program saja di dokter. Atau mau langsung bayi tabung?”
“Sudah cek belum? Jangan-jangan Baron nih, yang bermasalah.”
“Kalian kurang sedekah.”
“Angkat anak aja buat pancingan.”
“Masa kalah sama Dika dan Megan? Mereka anaknya udah dua.”
“Baca surat ini deh. Lima belas kali sebelum tidur dan waktu bangun.”
“Surat ini juga. Ditulis di kertas, kertasnya dicelup di air, airnya diminum.”
“Minum madu juga.”
“Habbatus sauda jangan lupa.”
“Kamu enggak usah kerja dulu deh, barangkali kecapean.”
Setelah satu tahun fokus berupaya hamil, baru kusadari bahwa tekad saja tidak cukup untuk punya anak. Dari seratus juta sperma yang dikeluarkan suamiku setiap kali dia berejakulasi, tidak ada satu pun yang berhasil menempel ke sel telurku. Aku tidak tahu siapa yang salah, sel telurku yang terlalu jual mahal ataukah sperma Baron yang terlalu malas berenang. Kami sudah menelan berbagai macam pil, vitamin, menjajal tusuk jarum, makan kurma, minum telur mentah dicampur jintan hitam dari Arab (konon bisa menyembuhkan segala jenis penyakit), bereksperimen dengan macam-macam posisi hubungan seks, membasuh kelamin dengan air dingin, air hangat, air dingin campur cuka, air hangat campur cuka, air kembang yang dicelup kertas doa….pokoknya semua saran yang bisa kami temukan di forum internet maupun nasihat orang-orang tua.
Usiaku 33 tahun sekarang, agak terlalu tua untuk menjadi ibu dalam ukuran orang Indonesia, tapi secara biologis belum terlambat. Telur-telurku masih sehat dan rahimku masih kuat. Menurut dokter kandungan, aku juga belum memasuki ‘periode rawan’, yaitu para ibu yang hamil anak pertama di usia 40 tahun ke atas. Mereka lebih berpotensi melahirkan bayi dengan gangguan fisik dan mental. Di akhirat nanti kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026.
Dengan sabar kutandai setiap masa subur yang terlewat. Kutandai juga masa subur di bulan berikutnya. Kucatat berapa panjang siklus bulananku, dan berapa lama variasi jeda dari bulan ke bulan. Siklus menstruasiku ternyata tidak serapi yang kukira. Kadang jeda 29 hari, kadang lebih dari 30 hari, kadang tak lebih pendek dari 25 hari. Aku membeli alat pendeteksi kesuburan menggunakan air liur. Bentuknya seperti lipstik tapi ujungnya bulat, mirip teropong kecil. Cara pakainya: oleskan alat di bagian dalam pipi, tunggu sejenak, lalu lihat pola yang terbentuk. Apabila pola yang terbentuk terlihat ruwet dan rapat, berarti aku sedang subur. Kalau renggang, berarti sebaliknya. Kadang aku kesulitan sendiri menentukan pola yang terlihat; apakah rapat atau renggang? Ruwet atau masih tampak sederhana? Kucoba menggambar pola-pola yang muncul agar lebih mudah membacanya, tapi usahaku sia-sia karena setiap pola terlihat berbeda.
***
Pada pertengahan tahun kedua, mensku sempat terlambat seminggu. Aku dan Baron girang bukan kepalang. Baron membeli lima buah alat tes kehamilan, dari mulai yang digital seharga 12o ribuan sampai yang berbentuk strip dan dikemas dalam kardus bergambar mawar merah seharga seribu lima ratus rupiah.Aku memutuskan mencoba dari yang termurah dulu. Kalau hasilnya negatif, aku bisa bilang akurasinya kurang bagus dan mencoba lagi dengan alat yang lebih mahal.
Pagi harinya: aku mengeluarkan testpack dari kotak yang tipis, membuka celana dalam, duduk di toilet, dan menampung air kencingku dengan sloki bekas yang ujungnya rompal. Lalu, masih duduk di toilet dengan celana dalam melorot ke bawah, dengan hati-hati kucelupkan kertas kecil berbentuk batang itu ke dalam sloki. Kutunggu lima detik. Lalu sepuluh detik. Lalu lima belas detik. Aku tak berani mengangkatnya.
Kutarik napas, dan..
.. satu garis merah. (Aku menahan tangis).
Selama lima hari berturut-turut aku memakai semua alat tes kehamilan yang dibelikan Baron. Selama itu pula mensku tidak datang. Di pagi kelima, ketika alat tes kehamilan digital (pertahanan terakhirku) lagi-lagi mengabarkan bahwa aku tidak hamil, alat itu kulempar ke Baron yang sedang tidur. Dia bergeming. Lalu empat testpack yang lain kulemparkan juga ke arahnya, berikut pakaian kotor, deodoran, minyak kayu putih, bedak, gayung, … Baron tergeragap bangun lalu bergegas memelukku yang menangis tersedu-sedu. Fakta bahwa kami berdua sehat tapi aku tidak kunjung hamil membuatku merasa kurang beruntung. Sperma yang malas berenang dan telur yang tidak matang bisa diobati, tapi nasib buruk tidak bisa diapa-apakan.
Lalu seks menjadi lebih tawar dari yang sudah-sudah. Baron kadang mencoba trik-trik baru yang mungkin dipelajarinya dari film porno, tapi dia segera berhenti karena responsku tidak sesuai harapan. Aku hanya berbaring dengan kaki terbuka, mempersilakannya memasukiku tanpa ada gairah atau penolakan. Saat Baron sudah keluar, aku tidak lagi menyandarkan kakiku di tembok. Aku hanya berbalik memunggunginya, meninggalkan Baron yang masih terengah-engah dengan badan penuh keringat dan penis yang sudah separuh lemas. Pelan-pelan, frekuensi hubungan seks kami mulai berkurang dan pada akhirnya berhenti sama sekali.
Basa-basi pergaulan juga tidak membantu.
“Amara sudah isi belum, nih?” Kata orang sambil memegang perutku.
Tapi tidak ada yang memegang penis Baron sambil bertanya, “Baron sudah berhasil menghamili belum, nih?”
Memasuki tahun ketiga, aku mulai pandai menerima nasib. Barangkali menjadi ibu memang bukan untukku. Mungkin Tuhan tahu aku akan menjadi ibu yang payah dan Dia mengasihani calon anakku sehingga mencarikannya rahim yang lain, rahim perempuan yang lebih pantas. Aku dan Baron mulai bisa mengobrol dengan lebih rileks. Kadang kusentuh bahunya atau kupeluk dia sekilas ketika dia sedang bekerja. Kucoba menikmati hal-hal kecil yang kumiliki dalam hidup. Saat makan siang, aku duduk bersila, mengangkat telapak tanganku menutupi matahari, membentangkan dan menggoyangkannya perlahan. Sinar matahari membias melalui jari-jariku, memancarkan spektrum pelangi yang indah. Pelan-pelan kuhabiskan makananku sambil mengirim pesan WhatsApp untuk Baron.
“Sudah makan siang?”
“Sudah.”
“Pakai apa?”
“Kikil cabe ijo sama kerupuk putih.”
“Kok enggak pakai sayur?”
“Cabe ijo kan sayur.” Baron mengirim emoji menjulurkan lidah.
Aku membalas dengan emoji yang sama.
Kucuci piring kotor, lalu membuat teh panas. Dari rak buku kuambil Homo Deus dan entah di halaman keberapa, aku jatuh tertidur.
***
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah hampir setahun penuh, kami bercinta. Baron memelukku dengan sangat erat setelah semuanya selesai. Kami berbaring berhadapan sampai pagi menjelang. Malamnya, aku bermimpi makan sebiji apel merah yang teramat manis.