Fb. In. Tw.

Felix K. Nesi: “Saya Sudah Berhenti Berharap, Saya Benci Terhadap Semua Hal” (Bag. 2)

Obrolan ngalor-ngidul bersama Felix K. Nesi Pemenang Sayembara Novel DKJ 2018

Novelmu kurang lebih bicara tentang apa?

Banyak hal. Dan karena banyak tokoh juga, masing-masing tokoh berusaha saya ceritakan dunianya. Saya singgung tentang satu tokoh dan saya ceritakan dia bergerak di bidang apa. Misalnya dia pastor. Tiap hari dia begini, begini, dan begini, sedangkan di dalam gereja seperti apa—dia kaya dan senang main perempuan; terus keterlibatan gereja dalam kehidupan masyarakat. Banyak hal saya ceritakan di situ.

Kamu kuliah Psikologi. Pengaruhnya terhadap penokohan novelmu?

Itu sangat membantu. Memang tidak banyak, tapi paling tidak saya tahu kira-kira kalau orang ini alur pikirannya seperti ini, apa yang terjadi dengan dirinya; kenapa dia seperti itu; apa yang kira-kira terjadi di masa lalu sehingga memungkinkan dia berpikir seperti itu. Saya banyak terpengaruh Psikoanalisa.

Kamu bilang, draft novelmu adalah draft novel lama yang dibongkar ulang. Tahun 2016 sudah dikirimkan ke DKJ.

Ya, dulu novel ini ditulis selama tiga bulan—Juli, Agustus, September—untuk dikirimkan ke DKJ. Masuk 20 besar, kalah, kemudian dirombak lagi. Dulu judulnya Duhai Hujan. Judulnya keren, kan?

Duhai Hujan itu inti ceritanya adalah hujan. Saya rasa terlalu melodramatis: terlalu banyak orang lihat ke luar jendela dan memandang hujan. Jadi saya hilangkan semua unsur hujan yang klise itu hingga akhirnya judul pun berubah. Hujan bukan lagi menjadi sesuatu yang penting. Sekarang judulnya Orang-orang Oetimu.

Apakah ada pengaruh dari Orang-orang Bloomington?

Belum tahu. Saya belum baca novel itu. Hahaha.

Buku apa yang berpengaruh terhadap novelmu selama proses mengedit kembali Duhai Hujan?

Kalau bisa saya sebut mungkin Prajurit Schweik karya Jaroslav Hasek, karya-karya Voltaire, Kurt Vonnegut, dan Perburuan-nya Pramoedya. Ketika saya menulis draft novel ini saya ditemani buku tipis itu. Saya suka cara berceritanya Pram di novel itu. Saya harus berterimakasih kepada Pram.

Sejauh ini mana yang lebih memuaskan: menulis cerpen, puisi, atau novel?

Saya merasa gagal menjadi penyair. Jadi saya merasa lebih hidup kalau saya tulis cerpen, tulis cerita-lah. Terkadang saya merasa tidak bisa menulis puisi dan terkadang saya tidak mengerti juga apa yang saya tulis. Dan itu kadang membingungkan saya sendiri.

Berarti dalam menulis prosa kamu bertindak sebaliknya: menulis apa yang kamu pahami dan kamu kuasai, ya?

Iya. Cerpen saya itu hanya dimuat di Tempo dan memang saat menulis cerpen itu, saya tidak mempunyai pretensi untuk dimuat. Saya punya 10 atau 15 cerita pendek yang sebelumnya mau diterbitkan salah satu penerbit di Surabaya, namun sayangnya tidak jadi. Itu cerita-cerita yang saya tulis dan bikin saya sangat puas walaupun kalau cerita-cerita itu dikirim ke media, media akan tolak. Tetapi saya sangat puas secara pribadi.

Kalau tidak salah, seperti Mario F. Lawi, puisi-puisimu juga berkelindan antara tradisi sekitar dan khazanah biblikal, cuma dengan suasana dan gaya ungkap yang lebih santai dan lentur. Sejauh mana khazanah biblikal berpengaruh terhadap karyamu?

Ya, puisi-puisi saya jauh berbeda dengan Mario. Tapi di daerah NTT, kami mendengar cerita-cerita kitab suci itu sejak masih kecil.

Dalam puisi-puisimu selalu ada tokoh.

Ya, kadang saya tulis tetangga-tetangga saya. Keributan tetangga-tetangga saya. Jadi kalau orang kampung yang baca puisi saya, mereka justru mengerti karena mereka tahu tetangga ini-tetangga itu habis kelahi.

Dalam puisi-puisimu juga terasa ada upaya memasukkan humor.

Itu buat main-main saja, sebenarnya, buat mengolok-olok.

Soal upaya mengolok-olok itu dalam prosa juga ada?

Banyak sekali. Nanti baca sendiri. Saya mengolok-olok gereja, tentara, dan sepertinya semua hal. Tapi tidak tahu, ya, berhasil atau tidak. Saya hanya berusaha yang melakukan olok-olok itu tokoh, bukan saya. Tapi ada juga, terkadang, tokoh-tokoh yang bertugas untuk membela.

Sebagai bocoran, persoalan apa yang tampak dalam karya-karyamu?

Banyak. Saya kan cerewet. Menyinggung ke sana, menyinggung ke sini. Tapi satu yang penting, hal-hal yang luput dari perhatian banyak media, itu yang saya ceritakan. Contohnya, truk-truk tentara Indonesia yang banyak menabrak orang. Saking banyaknya, kasus itu dianggap biasa sampai sekarang.

Tentara ngebut, yang disalahkan masyarakat justru adalah warga sipil: para pengendara atau pejalan kaki yang bisa saja diserempet mati. Masyarakat di sana seolah mengamini bahwa negara ini sedang genting, tentara-tentara sedang sibuk, ada tugas negara, jadi tentara tidak bisa disalahkan.

Itu latarnya Peristiwa Timor-Timur, ya?

Ya, itu terjadi saat kekacauan di Timtim berlangsung. Tentara-tentara ini kan di Kupang, sedangkan kerusuhan terjadi di Dili. Jadi, bahkan hampir tiap minggu, dengan mobil Unimog buatan Jerman yang besar-besar itu, para tentara ngebut sepanjang entah berapa ratus kilometer. Mereka jadi raja jalanan.

Dan semua orang di sekitar tahu: kalau kamu lihat truk-truk itu sebaiknya masuk got. Berhenti, matikan mesin, ke pinggir jauh. Karena kalau ditabrak korban disalahkan bukan hanya oleh tentara tapi juga oleh masyarakat sekitar.

Masyarakat seolah bilang: kasih mereka semua jalan, negara sedang perang. Padahal mereka perang di Dili, tapi lari kencang dari Kupang. Bikin mati banyak orang di jalanan—jalan yang justru dibikin dari pajak masyarakat. Pengamat perang dan arsitek perang luput memperhatikan itu.

Harapan atau target setelah memenangkan Sayembara Novel DKJ.

Harapan saya umum saja, lebih kepada soal buku di NTT. Kalau negara bisa buat bensin satu harga: harga bensin di Jawa, di NTT, di Maluku, dan di Papua sama, kenapa buku tidak bisa? Saya berharap kepada pemerintah, kalau bisa masalah itu diupayakan penyelesaiannya. Tapi kalau pemerintah lagi-lagi tidak bisa diharapkan, sepertinya kita yang harus berusaha. Saya tidak tahu caranya seperti apa…

Omong-omong, harga novelmu nanti kira-kira berapa?

Gak tahu, ya. Itu urusan penerbit.

Misalnya harga bukumu di Kupang 30 ribu dan di Jawa 80 ribu.

Boleh itu, senang saya.

***

Dewan Juri Sayembara Novel DKJ (A.S. Laksana, Martin Suryajaya, dan Nukila Amal) menyatakan dari 271 naskah yang diterima panitia, hanya 245 naskah yang dinilai—26 naskah lainnya tidak lolos seleksi administrasi. Dan Orang-orang Oetimu yang keluar sebagai pemenang pertama. Berkisah tentang Suku Dawan di Nusa Tenggara Timur.

“Naskah ini memiliki perbendaharaan kata yang kaya, diperkaya oleh khazanah bahasa Tetun, serta didasari dari penggalian khazanah tradisi Timor Leste dan cerita rakyat serta sejarah lokal NTT. Pembaca diajak menelusuri latar belakang tiap tokohnya yang sebetulnya merupakan elaborasi dari adegan pada bab pertama sebelum akhirnya novel ditutup dengan kembali ke adegan tersebut.

“Penokohan digarap dengan matang, riwayat hidup tiap tokoh dibeberkan secara memadai dan melebar menyentuh berbagai peristiwa sejarah di Indonesia yang menimpa mereka, berikut efeknya pada kehidupan para tokoh—baik secara individual maupun komunal. Selera humornya baik, cenderung subtil, kritik sosial disampaikan secara natural sebagai bagian dari kebutuhan pengisahan. Penulisnya mampu menggambarkan budaya, suasana kehidupan, karakter orang timur dengan sangat kental dan akurat: sebuah contoh fiksi etnografis yang digarap dengan baik.” Demikian penilaian Dewan Juri terhadap novel perdana Felix K. Nesi tersebut.

Felix boleh saja berhenti berharap, bahkan sangat boleh membenci semua hal. Namun, seperti halnya Anda, saya percaya, pembaca novel di Indonesia justru tak pernah kehilangan harapan menanti kemunculan karya-karya bermutu. Dan karena itu, rasa-rasanya tak bakal punya alasan untuk membenci Orang-orang Oetimu.[]

*bagian pertama dari wawancara ini bisa disimak di sini: Felix K. Nesi: “Saya sudah berhenti…”

KOMENTAR

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register