
Puisi-puisi Wawan Kurniawan
Heidegger
jarum-jarum patah kau kumpulkan dalam cawan
sebelum kau tuang pada pertanyaan kemarin — mataku
adalah danau kecil, kering bertahun-tahun
tubuhku lonceng gereja yang berkarat, berharap
tuhan datang segera membawa empat lipatan waktu:
suara-suara gempita perayaan.
“mengada hanyalah bayangan yang ingin jadi matahari!”
Kucing Newton
aku apel merah bisu di pagi hari
kau matahari pemalu bersembunyi
aku ingin hujan mengubah gravitasi
kau pikiran meledak di alam sepi
jika aku melihatmu bermimpi jadi pohon
maka kau malam kejam yang tak mencium pagi
aku bahasa asing dari sejumlah kekalahan
saat kau pandangi langit meninggi
ribuan lapis bumi makin tua
berlomba menerjemah semesta
biarkan hilang: aku sendiri mencari resahmu
kau berlari tanpa memilih menunggu
siapa kau dan aku adalah rahasia hati
aku waktu dari perkiraanmu yang nanti
biar kita menghitung rasa sakit dari mati
sebab aku ingin memberi hidup tanpa hari
pada jatuhnya sesuatu, pada suara atau
sebutir puisi yang retak sendiri demi kita
Kucing Murakami
hanya ada satu kucing:
di balik rak buku tua,
kau temukan mayat kucing seekor
namun di balik pintu, terdengar jelas
meong berulang kali
jejakmu retak waktu
paling cepat
bagi segala yang hilang
sembilan kematian
melawan satu kehidupan
kita lupa jalan pulang.
Kucing Maret
maret, kusematkan nama kepadanya.
bulan-bulan cemburu, sedang aku percaya
cahaya adalah burung yang diutus dari surga
selepas ia kalah melawan siapa saja
ia pulang di akhir bulan januari
membawa puing kehidupan masa kini
kematian mematahkan lehernya sendiri
apa yang disematkan kehadiran, gagal dimiliki