Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Muhaimin Nurrizqy

Puki

Dilarang membuang sampah sembarangan
Dilarang tidak menebang pohon sembarangan
Revolusi hijau dimulai dari tidak menggunakan
pipet plastik, beternak lele dan menanam kangkung,
kata seorang ahli ekonomi cum tambang cum pariwisata.
Tapi Puki tidak punya uang untuk beternak lele,
bertani kangkung dan membeli kopi ke kafe.
Negara adalah banjir, bagi dirinya, keluarga
dan orang kampungnya. Menghanyutkan segala
yang pernah diusahakan bersama. Di televisi,
pembawa berita cuaca terserang mag kronis
saat membacakan laporan cuaca yang bingung
bulan apa sekarang. Metabolisme alam butuh diapet
sebab awan diare ngisep asap pabrik cepat saji.
Mohon maaf nyawa anda terganggu, ada batu bara
di lahan ini. Baliho pejabat berwajah sketsa kuning
longsor dipasang di tikungan paling majal.
Tolong, Puki, pertahankanlah tanahmu
dan tanah orang kampungmu, karena pemerintah
adalah mesin hujan arus pendek yang, toh,
tetap akan menjadikannya licin dan berlubang.

Bukittinggi 2021

 

Kal & Era III

Kal sebenarnya ingin membacakan puisi cinta
untuk Era. Tapi cinta terlanjur kalera baginya
dan hidup akan menjadi lebih indah tanpa
puisi-puisi yang terseok mengangkut kata cinta.
Ia pun membacakan puisi yang ditulisnya kemarin:
Anak muda sok beda menggonggong di tepi kebudayaan
Kepala dinas kebinatangan merantai mereka
Dan memberi makan 4 janji 5 proyek.
Adakah yang lebih penting dari mengangguk-guk-guk?
“Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan, Kal?”
Era bertanya.
“Kamu boleh menyebut ini puisi malas.”
“Kamu kasar seperti tahi kadal.”
“Aku mabuk cintamu dan itu bikin aku pesong!”
“Ah, kamu begitu majal!”
“Aku ada tongkat majal. Kamu mau melihatnya?”
Era memilih pergi ke puisi cinta
di dada seorang pemuda lain yang lama menginginkannya.
Berancuk dalam lindungan cinta magenta dan sendu biru:
pesta yang tak pernah lagi dipersiapkan Kal.
Maka mengembaralah ia ke kelam siang dan terang malam.
Ditembusnya setiap fatamorgana yang merayu
di setiap sudut gersang kota itu.
Seekor anjing kurap mengikutinya di belakang,
lalu seekor kucing kurus, lalu seekor tikus
ekor buntung. Ketika segerombolan Satpol PP mengejarnya,
seekor gagak bermata satu menuntunnya mencari
jalur paling hitam dan bau. Manusia suci
tentu akan merasa ternoda jika terus mengikutinya.
“Mengapa kau tak menulis puisi lagi, Kal?”
tanya anjing kurap di suatu sore merah.
“Apa kau juga berpikir kalau puisi itu sama seperti cinta,
sama-sama kalera?” tambah tikus ekor buntung.
“Benarkah begitu?” sambut gagak bermata satu.
“Jawablah, Kal!” seru kucing kurus.
Kal berhenti dan menjenguk ke dalam mata kawan-
kawannya. Ia berkata, “Tidakkah kalian sadar
kita sesungguhnya telah menjadi puisi itu sendiri?”

Satwa tertawa. Kal terbahak. Angin berembus.
Dingin memagut. Kelam merasuk.
Setiap hari selalu begitu.

Padang 2021

 

Kalempong

Pagi datang terlalu cepat
dan menyergap dengan pertanyaan,
“Bagaimana cara kau bertahan sampai malam?”
Kalempong menyandarkan punggung ke pintu
yang goyah, mengisap rokok sisa semalam,
menyeruput kopi tinggal dedak.
Angin di dalam lambungnya berkata,
“Hei, Kalempong! Jawab dong pertanyaannya.”
Kalempong menekan perutnya.
“Bro! Tidak semua pertanyaan musti dijawab.”
“Banyak gaya! Bilang aja kau tak punya
rencana untuk hari ini,” sahut lambungnya.
“Rencana? Hidup ini tak perlu rencana, Bro.
Kau hanya perlu mengikuti alurnya.”
Udara bercampur embun masuk lewat jendela
tanpa pintu, lalu membelai tubuh Kalempong
yang kerempeng. Perih dan menggetarkan.
Lambungnya bunyi lagi,
“Tidak perlu rencana katamu? Berak! Jangan sok
filosofis dong, pantek. Yang kau hadapi kini
adalah sesuatu yang jelas-….”
Kalempong melipat kaki dan menekan lebih kuat.
Itu membuat lambungnya hening.
“Huss! Kau bisa diam tidak?
Urusan di luar ini biar aku yang ngurus.
Kau tenang-tenang saja di dalam.”
Meneriakkan tiga baris di atas
nyaris membuat tenaga Kalempong habis.
Kepalanya ngiang-ngiung ding-dung nyat-nyut.
Di luar, pagi menampakkan performa paling oke:
suara kendaraan kejar mengejar;
bunyi tapak kaki saling mendahului;
di sana-sini manusia bicara.
Tuhan, mengapa orang-orang banyak bacot?
Ketika Kalempong merasa nasib telah menjadi
miliknya, angin di lambungnya meluncur ke usus
lalu keluar dari lubang pantat, “Hoi, keparat!
Kau kira bisa membungkam aku?”

Bukittinggi 2021

 

Kampret
F. Rahardi

Dijual seharga nyawa:
Harapan seluas tanah air tercinta
“Apa yang kau harapkan dariku, Pret?”
tanya kekasihnya di atas pelana gairah.
Kampret menjawab, “Aku tidak ahli dalam
berharap. Ah….”
“Apa yang kau inginkan?”
“Ah… Aku ingin
terbang seperti kampret, lalu menggigit
lehermu.”
“Ah… kau nakal!”
“Tapi aku tidak mau menjadi kampret
yang bermigrasi ke kota.”
“Kenapa?”
“Aku suka hutan di kampung.
Banyak serangganya. Ah….”
“Tapi bukankah sekarang kita di kota?”
“Tentu saja, karena kita adalah kampret
yang digusur!”
Lalu diam. Kampret menikmati udara
malam yang gerah dan lengket.
“Pret… ah… jangan diam. Kau tahu aku
suka berdiskusi ketika bercinta.”
“Sayang, aku rindu guaku dulu.
Lembab, licin, dan gelap.”
“Ah… Sayang, kau bisa tinggal di guaku.
Nanti kita akan beranak pinak
dan hidup di sana sampai
mati.”
Kampret menjilat bulu kekasihnya
“Sayang… aku sekarang di dalam guamu.”
“Ah… terus. Jangan dikeluarkan lagi, Sayang.
Masuki lebih dalam.”
Aaaaaaahhhhhhhh…
Klimaks membuat mereka rileks dan letoy, jatuh
lalu booom! Kompleks tentara gelap seketika.
Prajurit piket mengeker pistol ke arah ledakan.
Apakah itu ulah teroris?
Bukan. Itu hanya Kampret dan kekasihnya yang
mati gosong terkepit di sela-sela trafo PLN.
Mati bahagia?
Bisa jadi.

Padang 2021

Post tags:

Lahir 1995 di Padang. Direktur di komunitas film RelAir. Bagian dari media online Garak.id. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Buku kumpulan cerpennya Sandiwara 700 Tahun Sebelum Masehi (Kalaka, 2019).

You don't have permission to register