
Pendek tapi Berkesan: Catatan Redaksi Cerpen 2019
Sepanjang tahun 2019, rubrik Buruan menayangkan sebelas cerpen yang lolos dari kurasi redaksi. Dibuka oleh cerpen berjudul “NUL” karya Dadang Ari Murtono (10 Januari 2019) dan ditutup oleh cerpen berjudul “Lama” karya Eric Lofa (31 Oktober 2019). Hanya pada bulan November dan Desember penayangan cerpen absen karena minimnya “kualitas” naskah yang layak muat.
Selain bertarung dengan cerpen-cerpen lain, untuk bisa dimuat, sebelas cerpen ini juga berhasil bersaing dengan puisi. Pada rubrik Buruan memang diterapkan kompetisi antara cerpen dan puisi dalam setiap periode pemuatan. Meskipun sebenarnya, faktor penentu utama sedikitnya cerpen yang tayang adalah karena hampir setengah dari cerpen yang masuk ke meja redaksi, gagal karena tidak memenuhi persayaratan teknis: panjang maksimal cerpen 5000 karakter dengan spasi.
Dengan kata lain, sebelas cerpen yang hadir di hadapan pembaca merupakan cerpen-cerpen pilihan. Bertarung sengit dengan cerpen yang lain, juga berduel dengan genre yang lain. Apalagi di Buruan.co tidak mengenal bank naskah, di mana karya yang masuk dan kalah duel dalam setiap periode pemuatan, tidak akan lagi dipertimbangkan untuk pemuatan pada tanggal selanjutnya.
Sebagai bahan evaluasi, selain persoalan ganjalan teknis, di mana cerpen tidak memenuhi syarat penulisan, puluhan cerpen yang masuk ke hadapan redaksi rata-rata terganjal oleh dua hal; tidak efektif dan klise.
Dalam keterbatasan ruang yang hanya 5000 karakter, cerpen menjadi gagal karena hadir dalam format atau bentuk yang awut-awutan (alur dan penokohannya hancur), bentukkan sintaksis kalimatnya kacau dan bertele-tele. Beberapa paragraf dibangun dari kalimat-kalimat yang bersifat kronologis. Beberapa cerpen dibangun di atas fondasi ide yang itu–itu juga tanpa inovasi penyampaian yang segar dengan sudut pandang penceritaan yang berbeda.
Banyak cerpen yang masuk ke laci redaksi memiliki struktur teks yang cukup kokoh. Hanya sayang, pilihan tema yang diambil terlampau klise dan cenderung mengulang cerita yang telah ada. Padahal, bertarung untuk memiliki “tempat” di media publik, tema karya menjadi pokok krusial sehingga sebuah cerpen dianggap layak hadir di hadapan pembaca.
Pendek tapi Berkesan
Aturan maksimal 5000 karakter memang menyulitkan. Banyak cerpen terganjal oleh syarat ini. Tapi sebelas cerpen yang telah tayang membuktikan bahwa keterbatasan tetap bisa melahirkan cerpen yang baik dan berkesan. Setidak-tidaknya, pada wilayah struktur cerita (alur dan penokohan), di mana salah satunya bisa dikembangkan sehingga menjadi pilar utama sebuah cerpen.
Misalnya pada cerpen karya Abdul Hadi berjudul “Pulung Gantung” (terbit 30 Maret 2019).
Berikut kutipan paragraf pertama cerpen “Pulung Gantung”.
Tubuhnya yang ringkih tampak menyedihkan di hadapan lelaki tua itu. Di antara raung dan isak tangis, Karman berkali-kali dihantam pukulan rotan oleh Mbah Karyo. Mulut kecilnya merintih kesakitan. Meskipun begitu, tak sekalipun ayah angkatnya itu menaruh belas kasihan.
Paragraf di atas sebagai sebuah adegan atau sekuen, karena terdiri dari kalimat-kalimat yang baik, akan mengundang pembaca untuk bertanya; mengapa Karman dipukuli? Apa sebenarnya yang terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu timbul karena hubungan sebab-akibat sebagai penopang utama pengaluran hadir dalam rasionalitas pembacanya. Hal ini secara sugestif memaksa pembaca untuk membaca paragraf selanjutnya bahkan sampai paragraf terakhir.
Seperti kita ketahui, kalimat-kalimat dengan sintaksis yang baik –yang tertata dengan rapi- akan melahirkan paragraf-paragraf yang juga baik. Pada sebuah cerpen, hal ini akan mengalirkan cerita secara luwes dan menarik. Jalan cerita yang diinginkan pun bisa dibangun sesuai dengan tema yang hendak diangkat.
Pada cerpen ini, selain penggambaran peristiwa yang pejal dan bernas, pemilihan Pulung Gantung sebagai tema berhasil mengikat cerita sehingga jalan cerita tetap fokus dan tidak mencair ke mana-mana. “Pulung Gantung” memang menjadikan ending terbuka sebagai daya tawar sebuah cerpen, tapi sesungguhnya, pilihan tema kepercayaan terhadap mitos Pulung Gantung yang membuat cerpen ini memiliki kesan yang mendalam bagi pembaca. Dan penjelasan tentang Pulung Gantung dideskripsikan cukup baik dalam paragraf ke empat.
Seminggu sebelum diadakan bersih desa, ditemukan seorang janda muda meninggal gantung diri di pangkal pohon jati di depan rumah peninggalan suaminya. Lazimnya kejadian serupa, orang-orang desa Karangpejek mengaitkannya dengan kemunculan clorot yang mereka sebut pulung gantung. Malam sebelumnya, seseorang mengaku melihat bola api berekor, cahaya merah menyala yang jatuh, melesat di atas genting rumah penduduk. Orang-orang desa Karangpejek menyebutnya sebagai isyarat buruk, penanda bahwa akan ada musibah gantung diri pada warga sekitar situ. Isyarat petaka, ujar mereka.
“Pulung Gantung” salah satu dari sebelas cerpen yang mengandalkan pengaluran sebagai pilar utama sebuah cerita.
Selain unsur penokohan dan alur, beberapa cerpen juga menyodorkan tema yang cukup segar. Cerpen karya Cheyene Djema yang berjudul “Bisik” (terbit 10 Juli 2019) salah satunya.
Pada cerpen ini, bisikan sebagai sebuah peristiwa, dipertanyakan dan ditelisik dari berbagai perspektif. Berikut paragraf pertama dan ketiga cerpen tersebut.
Apa kau pernah merasa dipanggil seseorang yang tidak memiliki wujud? Apa kau pernah mendengar bisikan namamu dengan sangat jelas tapi saat kau menoleh ke kanan dan kiri sama sekali tidak ada siapapun di sana? Bahkan ketika kau tahu kau sendirian, kau tetap saja akan memastikan asal suara itu untuk sekadar menenangkan diri. Buang–buang waktu, tapi tetap dilakukan.
….
Apa kau tidak heran kenapa aku ingin sekali menjelaskan fenomena ‘bisikan yang tak terlihat’ (atau apapun itu tergantung dari cara kau menyebutkannya) hanya kepadamu dari ratusan atau bahkan ribuan orang lain yang mengalami hal serupa? Karena aku sangat ingin menolongmu, ingin kau keluar dari bisikan yang kerap merisaukanmu. Jadi, tolong dengarkan baik–baik penjelasanku.
Membuka kalimat pada paragraf pertama sebuah cerpen dengan sebuah pertanyaan adalah titik masuk penelusuran tema pada cerpen ini. Pada paragraf-praragraf selanjutnya ekplorasi hal-ihwal bisikan sampai pada sebuah peristiwa surealis.
Dengan sekejap mata, tubuhku berpindah tempat, menggantikan asal suara bisikan yang kau tuju.
Pilihan tema yang disodorkan cerpen ini mungkin terkesan main-main, terkesan apaan sih? Tapi di sisi lain, cerpen ini berupaya menggali tema bisikan hingga sampai pada titik tertentu, yang membuat pembaca pada akhirnya mempertanyakan, meverifikasi, dan mungkin mencari tahu lebih jauh konsep bisikan yang disampaikan dalam cerpen ini. Meskipun harus diakui, pilihan tema seperti ini, membuat cerpen ini tidak cukup dibaca hanya ditemani cemilan dan kopi.
Pilihan tema yang cukup segar juga dihadirkan Dadang Ari Murtono lewat cerpen “Nul” (terbit 10 Januari 2019) dan Halim Bahriz lewat cerpen “Sebuah Mimpi yang Merepotkan” (terbit 30 Mei 2019). Bedanya, tema kedua cerpen tersebut hadir dalam peristiwa yang lebih mudah untuk dibayangkan meski dalam bingkai surealis.
Terakhir, mengamini Hasif Amini –sebuah cerpen ibarat pertandingan tinju yang harus dimenangkan secara KO- bahwa dari sebelas cerpen yang tayang selama tahun 2019 beberapa memang menang KO, tapi tanpa menutup mata, di beberapa yang lain masih ada cerpen yang hanya menang angka, kontroversi pula.