Mengenang Iman Budhi Santosa: Ada yang Lebih Sulit dari Menulis Puisi
Kamis, 10 Desember 2020, Iman Budhi Santosa dapat menuntaskan rindunya, pulang ke pangkuan Gusti. Setelah pertanyaan-pertanyaan tentang hidup ia coba jawab sendiri terutama lewat puisi. Kini semoga ia dapat berada di satu meja, berdialog damai bersama Tuhan. Saya percaya itu, seperti ungkap Cak Nun di atas pusara.
“Mas Iman meskipun penampilannya bukan penampilan santri, bukan penampilan kiai, bukan penampilan ustaz, tapi saya kira dia lebih ustaz dari pada ustaz, lebih kiai dari pada kiai, dilihat dari penampilan batinnya, kualitas pikirannya, dan kejujuran hidupnya. Karena saya punya sangat banyak pengalaman selama 51 tahun. Mas Iman itu ya begitu, dia tidak punya pamrih yang tidak manusiawi, dia orang yang sangat lurus, orang yang sangat orisinal.”
Mendengar kabar duka kepergiannya, gedung-gedung di ibu kota seolah bergetar kemudian berubah menjadi bangunan sederhana. Menjadi sebuah bangunan kontrakan berwarna hijau. Kamar kecil dengan beranda, kursi rotan, buku-buku tua, lukisan-lukisan karikatur, sejadah lusuh warisan ibu, jarum dan benang, suara gemeresik daun juga kicau burung. Bangunan tempat Iman Budhi Santosa tinggal, tempat di mana saya mengenalnya lebih dekat.
Agustus 2016, secara intens dalam waktu satu minggu saya mendapat kesempatan untuk residensi bersama Iman Budhi Santosa. Kesempatan yang diberikan Arena Studi dan Apresiasi Sastra (ASAS) UPI itu membuat saya tetap tak jago menulis puisi, tapi cukup banyak mendapati makna dari puisi itu sendiri. Dari Iman Budhi Santosa, saya merangkum pelajaran, ada yang lebih sulit dari menulis puisi, yaitu menjadi puisi itu sendiri.
Telur Puisi
Pertanyaan yang pertama kali dilontarkan Iman Budhi Santosa (IBS) saat saya belajar padanya ialah, “Siapakah orang yang mampu menciptakan puisi yang amat dahsyat di dunia hingga saat ini? Hingga saat ini puisi itu masih menggetarkan?” Sontak saya hanya tertegun.
Setelah beberapa lama senyap, saya mencoba menjawab. “Ialah Muhammad.”
Dengan senyum, IBS menimpal, “Bukan, Kanjeng Rasul itu di luar dunia manusia. Saya bertanya manusia biasa saja, seperti kita ini. Tapi dia menciptakan puisi yang teramat dahsyat. Lagian ‘kan Quran itu bukan obrolan nabi, itu firman Tuhan yang Kanjeng Rasul ingat. Jawabannya ya bukan Musa, Daud, Isa, atau nabi dan rasul lainnya. Ini manusia biasa.”
Saya semakin bingung. Hanya diam. Dan akhirnya menyerah. IBS kembali menuturkan.
“Orang yang menciptakan puisi dahsyat hingga saat ini ialah Bilal.” Mendengar jawaban itu, hati saya bergetar, hingga mata saya mengikutinya. Ternyata selama ini saya telah abai, bahwa setiap hari saya mendengar puisi maha dahsyat, dari orang yang tak pernah diberi titel sebagai penyair.
IBS menceritakan alasannya. Bilal diperintah Kanjeng Nabi untuk mengajak orang salat tanpa perintah yang jelas. Bilal kaget dan kebingungan bagaimana caranya menggerakkan hati orang-orang agar salat, tentu dengan hati ikhlas. Akhirnya, Bilal menciptakan puisi itu.
“Seperti tiba-tiba bukan? Tetapi tidak, puisi maha dahsyat itu diciptakan setelah beberapa tahun Bilal terus berproses dengan nabi, mengikuti bagaimana jalan kebenaran. Selain itu, Bilal itu lahir dari di Suku Badui, suku yang memang sudah lekat dengan syair. Sehingga, ketika ada perintah tersebut, maka lahirlah puisi maha dahsyat itu. Mengapa ada pengulangan dua kali, mengapa kalimat sholah dan fallah itu menjadi rima, semuanya sangat dipertimbangkan,” tutur Rama Iman.
Itulah proses kepenyairan dalam perspektif IBS. Kelahiran puisi itu tidak semena-mena. Seorang penyair harus terlibat dalam proses perjuangan kebenaran, proses meresahkan keadaan, dan berbagai proses lainnya yang akan membawa kita pada banyak momen puitik. Seorang penyair tidak melulu bergelut dengan buku-buku, tidak selalu diam menyendiri-merenung apa yang sebenarnya jauh dari kehidupannya. Bisa saja ia diam, merenung, melibatkan diri pada pergulatan batin, namun batin macam apa yang tidak mengenal kepedihan saudara-saudaranya?
Karena itulah, IBS selalu memandang bahwa puisi itu bukan sekadar jumpalitan kata yang menggoda. Baginya, puisi adalah gumpalan makna, lahir dari pembacaan terhadap berbagai isi kehidupan. Puisi sudah ada di mana-mana, dalam pandangannya. Simpul saya, bagi IBS, puisi adalah sebuah karya yang ditulis oleh diri kita sendiri, perilaku kita dalam kehidupan, tidak hanya tangan kita dalam secarik kertas. Kita bisa melihat betapa puitisnya jalan hidup IBS. Nilai ini yang bagi saya sungguh berat.
“Saya mencari momentum-momentum puitik, puisi itu bukan apa-apa, tetapi momentum puitik di balik puisi itulah yang luar biasa yang akan sangat berguna bagi diri kita. Buku puisi bukan untuk dijual, tetapi untuk disampaikan kepada siapapun yang ingin mengapresiasinya,” ucap Iman Budhi Santosa saat Sinau Bareng Cak Nun.
Mengenai penggalian momen puitik bagi seorang penyair, IBS memiliki metafora bahwa kekuatan besar dari seorang penyair adalah “menemukan telur”, atau momen puitis. Telur itu ditemukan dengan cara melakukan banyak perjalanan fisik, mencari akar pemikiran yang kuat (logika, referensi bacaan), menggali akar batin yang kuat (sensitivitas dan kepekaan sosial). Ketika sudah menemukan telur dalam kondisi yang baik, kita bisa mengolahnya menjadi telur dadar, telur pindang, telur rendang, telur ceplok, dan seterusnya.
Celakalah jika yang kita temukan adalah telur busuk, bagaimanapun kita mengolahnya, hidangan masakan kita tak lezat nan bermanfaat. Tapi, ketika kita menemukan telur yang bagus, sekalipun kita kepayahan dalam mengolahnya, setidaknya telur itu bisa kita makan mentah-mentah dan menjadi suplemen bagi kebugaran badan.
Wajah Jawa Iman Budhi Santosa
Lalu, telur apa yang paling sering dicari dan ditemukan oleh Iman Budhi Santosa? Dari banyak dongeng yang saya dengar, Iman Budhi Santosa (IBS) amat lekat dengan kebudayaan Jawa. Ia melakukan proses kepenyairan lewat angkringan, lewat obrolan, hingga kerja serius dalam penelitian, misalnya penelitian tentang pulung gantung.
Namun, kebudayaan Jawa yang dihadirkan oleh IBS bukanlah konsep kebudayaan adi luhung. Ia lebih banyak menggunakan kerangka kebudayaan sebagai laku tindak dari masyarakat paling bawah, bukan hanya dalam konsepsi yang abstrak dalam implementasi.
Wajah-wajah Jawa yang dihadirkan di sini adalah wajah-wajah wong cilik yang memiliki spirit hidup yang kuat. Bagi IBS, sejarah dan kebudayaan tidak harus lahir dari wong gedhe. Menurutnya, banyak orang-orang saat ini yang selalu melihat orang besar, termasuk dalam pendidikan, kita selalu dituntut untuk belajar pada orang besar, tapi tidak belajar bagaimana kebijaksanaan dan cara hidup orang-orang kecil. Karena itulah, IBS menulis sebuah buku khusus mengenai kebijaksanaan dan filsafat hidup wong clik di Jawa dengan judul buku Profesi Wong Ciliki yang diterbikan oleh YUI dan Ford Fondation pada tahun 1999.
Sementara dalam buku puisi, kita dapat membukanya dalam Wajah-wajah Jawa, Face of Java. Secara judul, buku puisi ini cukup “menjual”. Tetapi, tujuannya ternyata tidak untuk dijual. Buku ini adalah hasil proyek dari empat lembaga ASM, Flying Islands Books, Gita Dananjaya, Cerberus Press untuk penerjemahan karya penyair Indonesia. Penerjemahnya adalah Kit Kelen dan Chrysogonus Siddha Malilang untuk meraih gelar doktoralnya dalam bidang studi penerjemahan. Mari kita tengok puisi pertama.
Orang-orang becak Prawirotaman
Terdesak mesin, terjerat sabar dan tak bisa lain
mereka antri. Menunggu embun di terik matahari.
‘Bukankah roda-roda masih terpasang pada kaki?’
Desis angin yang terus menebar debu ke dalam saku
Kini, ia melihat (dengan hati mampat)
jalanan bertambah padat, zaman pun menggeliat
tapi, otot-ototnya tak bisa menjelma kawat
Sesekali, turis memang mau bersahabat
membuatnya berkeringat, membuat telapak kaki
tak berkarat dan sedikit bermanfaat.
Namun, di bawah pohon jambu
di balik rumpun perdu, tangannya
terus bersama kartu
saling membunuh dan mengelak kalah
mengejek dan membantah
tertawa dan memaki
karena kota ini
bukan milik mereka lagi
Dari puisi itu, saya menangkap bahwa IBS menggambarkan tentang kondisi dan penerimaan terhadap perut dan rasa lapar, termasuk bagian penting dari kebudayaan. Terdesak mesin, terjerat sabar dan tak bisa lain/mereka antri. Urusan perut orang becak, dipertaruhkan di tengah mesin-mesin baru yang hampir dimiliki setiap individu.
Kedua, IBS menampilkan dilema antara lokal dan luar. Dilema budaya yang dijual. Kini ia melihat (dengan hati mampat)/Sesekali, turis memang mau bersahabat/membuatnya berkeringat, membuat telapak kaki/tak berkarat dan sedikit bermanfaat. Larik ini menghadirkan dilema apa itu luar bagi lokal. Ketiga, perlawanan terkait modernitas, sekaligus terkait nasib yang dianggap orang buruk, tetapi mereka hadapi dengan tenang dan penuh kebahagiaan. Namun, di bawah pohon jambu/di balik rumpun perdu, tangannya/terus bersama kartu/saling membunuh dan mengelak kalah/mengejek dan membantah/tertawa dan memaki/karena kota ini/bukan milik mereka lagi.
Telur ide itu diolah dengan teknik puisi yang apik. Puisi ini ditulis dengan sudut pandang penyair sebagai saksi yang menceritakan dengan menggali bagaimana suasana yang dialami oleh orang-orang becak. Dari suasana itu dibangun pendalaman dan pemaknaan melalui pilihan diksi yang ketat. Penggunaan rima sangat kuat dalam puisi ini. apalagi dalam bait ke dua. Padat, menggeliat, padat, kawat, bersahabat, berkeringat. Bunyi t, d, h yang dominan dalam puisi ini, adalah kakafoni yang menjadikan suasana puisi menjadi suasana yang berat, pedih.
Imaji dalam puisi ini terdapat imaji visual yang menjadi pilihan tepat dalam menciptakan suasana. jalanan bertambah padat, zaman pun menggeliat/tapi, otot-ototnya tak bisa menjelma kawat/. ‘Padat’ dan ‘kawat’ dalam larik itu adalah kata yang memancing imaji visual pembacanya. Sifat visual itu diambil sifatnya, kawat padat yang melelahkan, kawat yang kuat. Selain itu, imaji rasa dalam puisi ini hadir, misalnya kalimat menunggu embun di terik matahari. Kalimat itu pun menjadi metafora yang kuat, sebagai simbol dari penantian rezeki di tengah zaman yang ganas.
Saya menemukan keunikan dalam puisi ini, yaitu banyaknya kata kerja yang digunakan: antri, menunggu, menebar, menggeliat, menjelma, membuat, membunuh, mengelak, mengejek, membantah, tertawa, memaki. Penggunaan kata kerja yang banyak itu bagi saya menjadi teknik tersendiri, untuk menggambarkan bagaimana ketabahan dan kegigihan wong cilik dalam bekerja, bukan kemalasan yang biasanya dituduhkan pada mereka. Sebab orang awam selalu bertanya, “Mengapa mereka tidak bekerja lebih keras untuk hidup yang lebih baik?” IBS menghadirkan banyak kata kerja dalam puisinya untuk menjawab.
Puisi yang paling mengenangkan saya pada Iman Budhi Santosa ialah puisi yang diberi judul dari peribahasa jawa, ono dino, ono upo. Puisi yang sangat menggambarkan filosofi hidup yang dipilih oleh seorang Rama Iman.
Ana dina, ana upa
Pagi masih seperti, ia sudah mencari
antara yang ada dan tiada
mungkin, sesuap nasi
mungkin, selembar kain usang
untuk menyeka keringat di dahi
Antri bersama iring-iringan semut hitam
ada remah sisa yang ditinggalkan
mengikuti telapak burung di perpohonan
serpih daging ulat dapat disimpan
Ia percaya pada siang, pada malam
semua memberi, selama tak bersembunyi
dari cobaan-cobaan cerdas: mengambil dengan pantas
tak lebih dari ditetapkan hujan dan panas
‘Pakai sedikit dari yang sedikit itu, Anakku’
Dulu, ia menyelamatkan hidup dengan cara Jawa
kini berlebih juga senyum dan nasi
dibagi dengan ayam-ayam piaraan
membuat berarti nasihat-nasihat basi
tetap berbunga di tanah kelahiran sendiri
Ana dina, ana upa, merupakan peribahasa jawa yang artinya ada hari, ada sebutir nasi. Akan ada rezeki untuk setiap pergerakan waktu. Karenanya manusia tak elok untuk rakus, dan harus selalu bersyukur. Dalam masyarakat jawa, peribahasa itu selalu menjadi kekuatan hidup. Nilai ini terasa sangat berat, terutama di zaman edan. Ketika dana sosial pun dikorupsi oleh seorang Menteri. Amat jauh rasanya dari larik puisi: dari cobaan-cobaan cerdas: mengambil dengan pantas./tak lebih dari ditetapkan hujan dan panas//‘Pakai sedikit dari yang sedikit itu, Anakku’.
Lewat pertemuan singkat saja, Iman Budhi Santosa telah mengajarkan pergulatan hidup yang mendalam, dan mewasiatkannya dalam larik-larik sajak. Sebenarnya ia tidak benar-benar pergi. Namun, apakah ia masih hidup? Tergantung kita, sejauh apa mampu menerjemahkan kata-katanya ke dalam laku tindak setiap saat.