
Kopi dan Masa Lalu
Membicarakan kopi hari ini, pada akhirnya, tidak bisa dipisahkan dari predikat hubungan sosial, pergaulan serta gaya hidup yang dialami–terutama–anak muda di perkotaan. Kopi seolah jadi kode wajib untuk janji bertemu atau sekadar nongkrong di kafe-kafe ketika mengarungi panjangnya malam. Kopi telah menjelma entitas tersendiri yang secara tidak langsung menunjukkan sejauh mana perkembangan sosial ekonomi masyarakat urban.
Kopi yang saya maksud bukan kopi saset seribu lima ratusan.
Kopi yang saya maksud adalah kopi yang pada pertengahan abad ke enambelas dibawa Belanda dari India untuk ditanam di tanah Jawa. Dalam sejarah perkembangannya, kopi menimbulkan banyak luka masyarakat Hindia. Bahkan banyak korban nyawa. Kopi, selain lada, telah menjadikan tanah Hindia surga bagi pedagang-penguasa dan neraka bagi rakyatnya.
Hal-ihwal tentang kopi ini bisa ditelusuri jejaknya dalam Novel Babad Kopi Parahyangan (Marjin Kiri, 2020) karya Evi Sri Rezeki.
Meski dalam novel, sejarah dinilai dalam posisi yang paling lemah, tapi setidak-tidaknya, pembaca akan mendapatkan gambaran situasi perkembangan kopi di Indonesia, khususnya di tanah Parahyangan. Bagaimana petani di tanah Pasundan tersiksa hidupnya karena kopi. Terutama setelah kopi menjadi komoditas unggulan Belanda pada sekitar abad ke tujuh belas hingga abad delapan belas.
Pada buku ini diceritakan secara implisit bagaimana mula-mula kopi ditanam dan tersebar di tanah parahyangan.
“Ketika Hoorn mengumpulkan para bupati Parahyangan, meminta menanam kopi di wilayah kekuasaan masing-masing, mereka menyanggupi. Tentunya mereka diiming-imingi keuntungan sepadan atas jerih payah tersebut. Perjanjian itu sebetulnya lebih mirip perjanjian dagang. Mereka menamakannya sebagai Preanger-stelsel atau Koffie-stelsel. Perjanjian itu bertahan berpuluh tahun lamanya. Begitulah awalnya. Parahyangan menasbihkan diri sebagai sarang mutiara hitam!” (Hal. 36)
Hoorn yang dimaksud adalah Joan van Hoorn, Gubernur Jendral yang memerintah Hindia Belanda antara tahun 1704-1709.
Potret kehidupan petani saat bekerja di perkebunan kopi juga digambarkan dengan baik dalam buku ini.
… Tak ada sarapan yang layak sebab beras adalah barang langka, semua orang memakan ubi jalar dan apa-apa yang tersedia di hutan atau yang sengaja mereka tanam. Ribuan orang bergerak dalam kelompok-kelompok yang dipimpin mandornya menuju perkebunan. Para petani ini tampak seragam, berkulit gelap dan kasar. Di bagian dada dan punggung yang terbuka menonjol tulang-tulang belikat terbungkus kulit.
…pohon-pohon kopi tinggi mencapai batas tubuh mereka sendiri sehingga setiap orang mesti membawa tangga dari bambu dengan kinjar melingkar di bahu. Perempuan-perempuan dalam balutan kebaya sederhana berpadan kain yang diikat di pinggang menaiki tangga lalu memetiki buah kopi.
…Sementara laki-laki tua maupun muda menyebar ke wilayah-wilayah tinggi dan curam. Sebagian tinggal untuk mengerjakan pengeringan di gudang. Mereka mengangkuti tampah-tampah dan memasukan berasan ke dalam karung. Tugas yang paling berat adalah mengangkuti berasan menuju depot penyetoran kopi di Cikao, Karang Sembung, atau Bandoeng menggunakan pedati dihela kerbau atau mereka lebih suka menjunjung dan memikulnya sebab biaya yang dikeluarkan lebih sedikit. (Hal. 140)
Pada masa-masa Preanger-stelsel (tanam paksa) diberlakukan, rakyat diseret untuk bekerja di perkebunan kopi milik Belanda sehingga harus meninggalkan sawah dan ladang mereka. Keterpaksaan membuat rakyat gagal memenuhi kebutuhan sandang mereka sendiri. Ironis. Karena petaninya sendiri bahkan sulit menikmati kopi, sehingga pada akhirnya banyak petani membenci kopi.
Seperti membaca pikiran Karim, Ujang berkata, “ah, Kang, kami rakyat kecil begini tidak bisa terang-terangan minum kopi.” (Hal. 87)
Deskripsi kehidupan petani di perkebunan kopi menjadi latar besar dalam buku ini.
Novel Babad Kopi Parahyangan sendiri bercerita tentang tokoh bernama Karim, seorang anak muda pengembara dari Sumatra, yang berkelana hingga ke tanah Jawa untuk mencari kopi terbaik. Karim tergiur akan kemasyhuran kopi dari Priangan setelah mendengar cerita dari si Pelaut –majikannya saat menjadi ABK di sebuah kapal dagang. Dan Karim adalah semesta novel sepanjang tigaratus empatpuluh delapan halaman ini.
Masa Lalu dan Kopi Saset
Sejarah dalam novel memiliki posisi yang lemah. Mengingat novel adalah fiksi dan sejarah selalu berpusar dengan fakta. Dua hal yang bertolak belakang. Meski begitu, novel yang berangkat dari tendensi sejarah selalu menarik karena tidak memerlukan konfirmasi kebenarannya. Realitas dalam sebuah novel akan melulu diposisikan sebagai kebenaran dengan sejarahnya sendiri.
Saya membaca novel Babad Kopi Parahyangan dengan kacamata seperti itu.
Sehingga saya tidak lagi merasa perlu untuk mengkonfirmasi nama-nama tempat atau di mana letak perkebunan kopi dalam peta sejarah kolonialisme di tanah Pasundan. Sebab hal itu hanya akan merusak kenikmatan saya dalam membaca. Novel Babad Kopi Parahyangan berhasil membawa saya untuk lebih dekat dengan masa lalu lewat kopi, tanpa terjebak deretan fakta-fakta sejarah.
Bukankah fakta dalam sebuah karya sastra hanyalah bahan mentah yang diolah sedemikian rupa menjadi sebuah fiksi?
Dengan cara pandang seperti itu, buku ini menyuguhkan secara seksama kelamnya masa lalu kehidupan petani lewat pergulatan cinta Euis dan Karim, hubungan penguasa dengan rakyatnya, eksotisme tanah Parahyangan, serta harumnya kopi itu sendiri.
Dan layaknya sebuah babad, kisahan-kisahan panjang tentang hal-ihwal memang tidak bisa terhindarkan untuk berdesak masuk dalam buku ini. Sehingga bila pembaca sedikit lelah akan dihampiri rasa bosan karena hamparan-fakta-fakta sejarah.
Tapi yang paling membuat saya terkesan dalam buku ini adalah pengolahan fakta menjadi fiksi asal mula hadirnya kopi dari kotoran careuh bulan (luwak). Bagaimana kejelian rakyat kecil seperti Ujang, dalam keadaan terdesak dan terbatas, mampu menghasilkan kopi dengan cita rasa terbaik.
Masih menurut Ujang, mencari biji kopi dari kotoran careuh bulan tidak sulit. Binatang liar itu terbiasa buang hajat di tempat yang itu-itu juga. Namun biji kopi itu tidak boleh diolah terlalu lama dari kotoran yang masih hangat. Terlambat sebentar rasanya tidak karu-karuan dan bisa jadi mengandung racun karena pernah satu kawan karibnya sakit perut tersebab demikian. (Hal. 88)
Kopi luwak yang bahkan sampai hari ini menjadi primadona di kalangan pecinta kopi.[]
Keterangan Buku
Judul: Babad Kopi Parahyangan
Penulis: Evi Sri Rezeki
Penerbit: Marjin Kiri
Cetakan: Pertama, 2020
ISBN: 978-979-1260-96-1