Fb. In. Tw.

Heru Joni Putra: Hoaks dan Playing Victim

Awal Mei lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebut 486 hoaks beredar sepanjang April 2019. Dari jumlah tersebut, 209 di antaranya adalah hoaks politik.

“Hoaks dibutuhkan untuk memenuhi premis kebenaran,” kata Toba Beta penulis Master of Stupidity.

Pernyataan Toba seolah mengafirmasi fenomena pascakebenaran atau post-truth, yakni sebuah fenomena di mana kebenaran dan kebohongan, fakta dan fiksi, menjadi bias batas-batasnya. Post-truth memungkinkan orang-orang bisa dan bakal menomorduakan kebenaran sepanjang apa-apa yang mereka yakini terkonfirmasi—bahkan jika rujukannya adalah berita palsu sekalipun.

Mengingat silih lempar berita palsu menjadi tontonan yang terus disajikan ke hadapan publik—Anda bisa melihat hal demikian bertebaran di media sosial dan menjadi percakapan di grup Whatsapp—seperti halnya wawancara kami yang pertama, kami pun tertarik untuk mengetahui pandangan sastrawan mengenai fenomena tersebut.

Tentu, sebagaimana pernah kami katakan sebelumnya, upaya mengajak sastrawan membicarakan fenomena-fenomena yang aktual tidak dimaksudkan untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan yang ada. Mendengar suara mereka, artinya kami ingin tahu bagaimana sikap dan pandangan para sastrawan tersebut terhadap kenyataan di hadapannya, juga kaitannya dengan proses kreatif mereka sebagai penulis. Syukur-syukur, percakapan semacam ini bisa memberikan pencerahan kepada pembaca.

Heru Joni Putra, penyair, alumni pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), sekaligus Kurator Galeri Kertas Studio Hanafi yang juga Tokoh Seni Pilihan Tempo 2017, kami ajak berbincang mengisi rubrik Wawancara kali ini.

Bagaimana Bung melihat fenomena hoaks dan post-truth hari ini?

Saya melihat bahwa hoaks tumbuh subur di bawah “rezim moral”. Di saat moral menjadi standar kebenaran, hoaks sering kali diproduksi sebagai instrumen untuk menjaga standar itu. Adalah sebuah perkara serius bila sesuatu disebut benar hanya bila disampaikan dengan cara sopan dan penuh kutipan ayat atau disampaikan oleh orang yang identitasnya berkaitan dengan kesopanan, kebaikan, religi, dll.

Dalam kondisi seperti itu, politik memperparah keadaan. Seseorang yang menyampaikan kebenaran sering kali dengan mudah dimentahkan dengan cara menampilkan potongan kehidupannya (apalagi potongan tanpa konteks) yang bisa dianggap “cacat moral”—sekecil apa pun itu.  Sering kali kontestasi politik yang terjadi tampak sebagai “perang moral”, perang siapa yang paling bermoral, siapa yang paling mudah didemoralisasi, dst. Padahal moralitas tidak senantiasa lebur dengan “kebenaran”, tapi kita terlanjur mengidentifikasi tonggak kebenaran lewat standar moral tertentu yang jelas-jelas sudah tumpul. 

Langkah apa yang kiranya memungkinkan dilakukan untuk meminimalisasi hal demikian?

Sebenarnya saya juga mencari tahu soal langkah-langkah meminimalisasi hoaks seperti itu. Saya bertanya juga pada banyak orang atau membaca tulisan terkait. Begitu beragam solusinya dengan jangka waktu dan capaian yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan perlunya menguatkan kultur berpikir ilmiah. Ada yang mengatakan perlunya memproduksi berbagai narasi agar masyarakat sadar bahaya hoaks. Ada yang mengutarakan solusinya dengan mengontrol media sosial, serta ada pula yang mencoba melihat hubungan yang saling membuahi antara karakteristik tertentu dari kultur lokal dan watak hoaks, dan seterusnya.

Berbagai solusi itu ada yang dimunculkan dalam rangka mencari proyek, ada pula dengan cara berpikir institusional, serta ada juga yang bekerja diam-diam secara personal untuk meminimalisasi hoaks di media sosial, dan sebagainya. Begitu beragam. Saya menyimak saja dulu, ya.

Apakah Bung percaya mereka yang melek sastra bisa selamat dari hoaks apa pun?

Saya tidak percaya. Ini contoh yang saya temui: Dosen-dosen dari Fakultas Ilmu Budaya—yang tak asing dengan sastra—di sebuah kampus di menara gading ikut menyebar hoaks, dan tak jarang merasa heroik dengan aksinya itu. Bahkan mereka ikut mengajarkan analisis wacana kritis, politik bahasa, kajian budaya, dll yang sering dianggap akan bisa kritis melihat narasi yang mengandung hoaks, tapi kenyataannya justru mereka jadi seperti relawan hoaks.

Ini contoh lebih parah: Seorang profesor asal Sumatera Barat menjadi pengajar di sebuah universitas terkenal di Eropa. Ia fasih bicara sastra dan budaya sebagaimana latar akademiknya. Tapi, ia sangat rasis dan setiap hari menyebar hoaks di media sosialnya. Saya bertanya pada banyak koleganya dan mereka mengatakan bahwa profesor itu sudah berkali-kali diperingatkan, tapi ia tidak peduli. Bahkan, di sebuah grup WA yang berisikan “tokoh Sumatra Barat”, ia menyebarkan hoaks bahwa saya adalah PKI. Saya mendapat salinan  grup WA itu dan sudah terkonfirmasi.

Itu membuat saya bertanya: mengapa banyak dosen yang mampu bersikap kritis di dalam kajiannya tetapi malah jadi tumpul menghadapi realitas di luar kajiannya? Saya berusaha mencari jawabannya dan sampai sekarang saya belum menemukan jawaban yang memuaskan. 

Akhir-akhir ini Bung acap kali bicara soal mental-korban maupun strategi playing victim, apa dan bagaimana maksudnya?

Kita masih punya banyak tugas terkait membela korban dalam banyak hal. Baik itu korban politik, ekonomi, negara, dan sebagainya. Problem minoritas adalah salah satunya. Tapi, di tengah kondisi itu, ada pihak-pihak yang sengaja memposisikan diri sebagai korban, playing victim, untuk mengundang perhatian orang ramai kepadanya atau untuk menutupi kesalahannya sendiri. (Ingat, saya tidak bermaksud merendahkan orang-orang yang benar-benar menjadi korban dan perlu dibela.)

“Posisi korban”—dalam konteks yang saya maksudkan—adalah posisi yang dipolitisasi sebagai cara untuk mengakumulasi modal simbolik, tak jarang untuk kepentingan personal. Menurut saya, “posisi korban” terlalu dangkal bila ditujukan untuk itu. Saya kira hal ini adalah sebuah persoalan serius.

Kini, di zaman yang terlalu mensakralkan “kebebasan individu” atau yang memaknai “kebebasan individu” dengan cara yang terlanjur relatif dan sewenang-wenang, siapa pun bisa memposisikan diri atau mencari-cari problem tertentu agar terposisikan sebagai korban. Itu membuat playing victim semakin mudah dilakukan, apalagi bila aksi playing victim itu tak hanya memberikan akses kepada modal simbolik, tetapi juga modal ekonomi, misalnya.

“Menjadi korban” tampak seperti lapangan pekerjaan saja, bahkan menjadi isu marketing, branding, pembentukan opini publik, dan lain-lain. Hal ini tentu masih bisa diperdebatkan lebih lanjut.

Bahwa peserta Pemilu dan pendukungnya tampak memposisikan diri sebagai korban, ya. Adakah hal demikian juga tercermin dalam laku pegiat sastra?

Ya. Dalam politik dan sastra, setidaknya sejauh yang saya amati, hal tersebut tampak mengemuka. Pernyataan “kriminalisasi agama” dalam kontestasi politik kita akhir-akhir ini—pada taraf tertentu—bagi saya adalah salah satu contoh terbaik bagaimana playing victim itu dilakukan.

Kalau dalam gelanggang sastra, playing victim seperti itu baru menunjukkan gejalanya. Saat ini, dibanding dekade sebelumnya, sastrawan Indonesia mendapatkan kesempatan lebih luas untuk Go Internasional. Ada yang jalurnya karena kualitas karya itu sendiri (seperti karya Mahfud Ikhwan misalnya) dan ada pula yang jalurnya playing victim.

Maksud saya, jalur playing victim adalah sebuah situasi di mana suara pengarang lebih bising daripada suara karyanya sendiri, pengarangnya terlanjur heroik memposisikan diri sebagai korban—dalam pengertian tertentu—di Indonesia, sehingga dengan satu dan lain cara, dunia Internasional tak hanya tampak menunjukkan menjulurkan tangan kepadanya,  tetapi juga menjadikannya sebagai “situs politik” dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Beberapa puisi Bung dalam kumpulan Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa (2017) terasa jenaka sekaligus kritis. Adakah Bung merasa percakapan kita di media sosial akhir-akhir ini jauh lebih jenaka sekaligus lebih kritis ketimbang karya Bung dan karya sastra lainnya yang punya nuansa serupa?

Kalau memang beberapa puisi saya dianggap jenaka dan kritis, tentu saja banyak yang lebih jenaka dan kritis daripada itu. Sangat tidak mungkin kalau puisi saya disebut paling jenaka atau kritis. Puisi punya keterbatasan sendiri untuk menjadi “kritis”. Tak jarang saya merasa meme (dalam bentuk terbaiknya) lebih mudah dan efektif menjadi piranti sarkasme ataupun satire daripada puisi seperti yang saya tulis.

Dalam konteks itu, persebaran meme tentu lebih cepat daripada buku puisi; puisi sepertinya tak akan bisa menandingi persebaran meme yang seperti itu, kecuali penyairnya mau mencengeng-cengengkan diri di dalam puisinya sendiri. Sudah banyak contohnya, bukan?

Adakah Bung, sebagaimana John F Kennedy, menyimpan harapan kepada puisi untuk bisa memperbaiki situasi politik kita saat ini—bahkan untuk ukuran di media sosial sekalipun.

Saya kira kutipan terkenal JFK itu hanyalah perumpaan belaka, bukan spekulasi yang terukur. Saya tidak percaya puisi bisa memperbaiki situasi politik saat ini, apalagi bila puisi seperti yang ditulis oleh—anggap saja namanya Fadli Zon. Dirinya sendiri saja tak mungkin bisa memperbaiki negeri ini, apalagi puisinya.

Mengingat dalam sebuah artikel di Tempo Bung menyebut ingin menyampaikan pikiran Bung melalui medium sastra, apakah Bung menganggap semua yang dipertontonkan kontestan Pemilu dan pendukungnya kepada publik sebagai suatu hal yang inspiratif bagi proses kepenyairan Bung?

Buku Badrul Mustafa secara khusus saya tulis tahun 2013-2016. Salah satu kondisi yang memantik saya untuk menulis buku itu adalah munculnya “nabi-nabi baru” di zaman kontemporer ini, baik nabi-nabi dalam bidang agama, politik, ataupun kebudayaan; orang yang disakral-sakralkan, seakan tak mungkin salah, merasa sebagai sumber kebenaran, dan seterusnya. Heroisme para nabi kontemporer itu membuat saya lelah. Dan itu yang membuat saya melakukan karikaturisasi atas berbagai sosok “nabi-nabi baru” itu dalam bentuk tokoh Badrul Mustafa sebanyak 40 karakter.

Meskipun buku itu ditulis jauh sebelum Pilpres, tapi kondisi-kondisi yang memantik saya untuk menulis buku itu—terutama dalam ranah politik dan agama—terus berlanjut dan semakin parah rasanya. Namun, saya tak ingin menulis Badrul Mustafa lagi. Rasanya sudah cukup dengan apa yang ada.

***

Sebagai penutup, berikut kami lampirkan satu puisi karya Heru Joni Putra.

JENGGOT HAJI AGUS SALIM

Haji Agus Salim berdiri
Di depan Pintu Surga;
Jenggotnya menjuntai-juntai ke bumi.

Badrul Mustafa melompat-lompat,
Berusaha menggapai jenggot Haji Agus Salim,
“Tak ada Tangga ke Surga,
Jenggot Haji Agus Salim pun jadi,”
Katanya.

Tangan Badrul Mustafa meraih
Ujung jenggot Haji Agus Salim.

Ia bersorak kegirangan,
Diajaknya karib kerabatnya
Memanjat jenggot itu.

“Berakit-rakit ke hulu,
Berenang-renang ke tepian,
Masuk Surga dahulu,
Ke Mekah kemudian,”
Katanya.

Badrul Mustafa
Dan karib kerabat
Ditambah lagi sanak saudaranya,
Berjamaah memanjat jenggot Haji Agus Salim.
Mereka bergelantungan,
Berayun-ayun ke sana ke mari,

Tak henti bersorak,

Dari suatu zaman ke zaman lain.

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register