Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Nanda Alifya Rahmah

Sapu dan Perjalanan ke Bulan

kini dengan sebuah ciuman, aku harus melipat kursi ke dalam ransel, ia sudah melupakan pohon yang mengandungnya, berhenti tegak untuk membuatku duduk, menunggu kata-kata menjelma bintang jatuh, ada tiga puluh buku dongeng dan sepuluh butir padi untuk nawang wulan, pukul sebelas malam nanti sebuah roket menjemput, kutinggalkan kamarku dalam keadaan sudah tersapu

sebab sapu berhenti bicara dan berjalan sendiri sejak tong sampah dan kapas kecantikan mengubahnya menjadi sapu lagi, saat ini diam dan jatuh disenggol tikus kaget, ia pernah menggantikanku menulis di blog, seorang gadis kecil pergi ke bulan dengan rambutnya, bau sampo lavender yang mengubah malam jadi ungu tua, kenapa waktu dan bahasa tidak menua dalam kehitamannya

nama-nama yang kubaca dalam sejarah, telah terbang lebih dulu, tersapu dari galaksi ini, tapi aku tidak lupa menulis namamu, kok, dalam ketiadaan yang berkelindan ini, sebatang sungai yang bersih berjanji untuk bertemu denganku, batu-batu yang belajar menyala dari hari ke hari

aku mendengar mereka, kata-kata adalah hujan yang balik naik ke angkasa, hati mereka melahirkan pelangi yang bisa dilipat dua

2019

 

Galaksi Nir

tangkaplah puisiku, sebuah roket, menembus batas dunia, aku rangkai asap dan bahasa, anak-anak galaksi berkejaran, berkejaran dalam kegelapannya, mengabut, seperti pasukan angsa di tengah telaga

tapi ia adalah kupu-kupu plastis, bukalah, jagatraya di balik sayapnya, galaksi nir, kecuplah, ciumanmu akan mengembun jadi planet-planetnya, lalu kehidupan dasar laut juga berpindah ke dalam dinginnya, ikan yang bersembunyi di dalam pasir, menggandakan sirip emas, mengepak, dengarkan, air yang menelurkan cahaya kebiruan

kucatatkan nama baru bagi bumi di selaput beningnya, helai-helai ganggang bergerak seperti masa menyelundup dalam masa, tak ada yang menamainya, aku mengajakmu masuk ke perut yang merah itu, ada langit bukan biru menyangga sebuah pintu kaca dan sebutir bulan berbaring di ranjang bintang-bintangnya, bulan yang akan pecah seperti kepompong terbelah, kupu-kupu dalam kupu-kupu yang belum sempurna

2019

 

Castor dan Pollux

lihatlah castor dan pollux yang tak henti berkirim cahaya, tangan mereka guguran abu para dewa, dan dari galaksi ke galaksi kegelapan memanjang, meleburkan garis antara wujud dan bayangan

di bumi, jalanan kota memantulkannya kembali – kesedihan castor dan pollux, membangun jembatan ke langitmu – hitam jagatraya, mengantar kita ke sekolah, ke rumah nenek, ke rumah pacar, ke jalan ketabang, ke seminar, ke makam – akan kita meledak lalu secepatnya menjelma

meteor, seperti kuda gila lepas kandang, melepuh membawa kabur dialog yang kita hafal, hati-hati menjelma lubang hitam, menyedot sisa-sisa diri sendiri – yang kau kira dirimu sendiri

2019

 

Granular

di langit bumi, seekor tuwu memanggil nama kita – kau yang putuskan: kita turun menyuburkan sebuah taman, atau biarkan angin membawa antimateri kita menjauh

kuulang kembali perjalanan menujumu– seperti saat sebuah ledakan memisahkanku darimu, kuingat kembali pintu terakhir yang menerimaku, sebelum tangan kosmis melemparkan kita ke sini, sebab dalam cuaca gagal panen, bumi hanya ditumbuhi tiang semen, bunga-bunga kaca kebal peluru, mereka abadi dalam ingatan dua dimensiku, persis kiasan surga, mungkin kita bisa bertobat di sebuah –

– sebelum kubah raksasa itu terbelah dan menunjukkan pada kita apa yang sebenarnya ditanam di dasar masa

2019

Lahir di Surabaya. Menulis puisi, esai, cerpen dan naskah drama. Menyelesaikan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga, berkesenian di Teater Gapus Surabaya, No-Exit Theatre, dan FS3LP.

KOMENTAR
Comments
  • Laila

    Di manakah boleh kujumpai wajahku, Ndae? Bulan suram, matahari hilang hahahahaa

    12 Maret 2019

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register