Fb. In. Tw.

Menanti Cangkedong

Satu hal yang dinantikan anak-anak di Gereja Kerasulan Pusaka usai Ibadah Kepindahan dan Sidekah Bumi adalah pembagian cangkedong. Cangkedong adalah wadah makanan yang terbuat dari daun pisang berbentuk tabung yang terbuka di salah satu sisi dengan tinggi kira-kira 15 cm. Dengan begitu, tangan mungil anak-anak dapat merogoh nasi beserta lauk yang berada di dalamnya.

Menurut Diakones Kartika, sesepuh bagian dapur Gereja Kerasulan Pusaka, cangkedong merupakan siasat jitu orang dapur untuk mengakali keterbatasan piring dan mobilitas anak yang tinggi. Dengan cangkedong, orang dapur tidak perlu khawatir piring pecah atau hilang. Anak pun dapat bebas bergerak tanpa harus dipusingkan untuk menyimpan kembali piring yang telah mereka gunakan.

Masih menurut Diakones, tradisi cangkedong dimulai pada 13 Juni 1953 dalam peringatan migrasi enam puluh enam jiwa dari daerah Cikembar di Sukabumi menuju Rawaselang—sekarang menjadi nama kampung di kecamatan Ciranjang-Cianjur, pada 117 tahun lalu. Rombongan yang dipimpin oleh Bapak Sadiin atau Petrus ini merupakan cikal bakal jemaat Gereja Kerasulan Pusaka.

Pada hari bersejarah tersebut, setelah ibadah di gereja, seluruh jemaat akan botram alias makan bersama di aula yang terletak di samping gereja. Makanan dibawa sendiri dari rumah masing-masing. Selanjutnya, petugas dapur akan mengatur dan menaruhnya ke dalam piring serta cangkedong, disesuaikan dengan jumlah jemaat yang hadir. Dengan begitu, jemaat dan tamu undangan yang tidak membawa makanan dapat ikut menikmati botram.

Bagi jemaat Gereja Kerasulan Pusaka, peristiwa botram merupakan ungkapan syukur jemaat kepada Tuhan atas hasil panen yang telah mereka terima. Itu sebabnya, tanggal 13 Juni selalu diperingati dan dirayakan oleh jemaat Gereja Kerasulan Pusaka sebagai hari Kepindahan dan Sidekah Bumi.

Dalam kacamata budaya, cangkedong merupakan salah satu folklor yang hidup dalam jemaat Gereja Kerasulan Pusaka. Cangkedong menjadi satu ciri pengenal fisik jemaat Gereja Kerasulan Pusaka. Gagasan tersebut berdasarkan kepada sembilan ciri pengenal utama folklor menurut James Danandjaja dalam Folklor Indonesia.

Pertama, Pengamatan dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan. Sampai sekarang, belum ada catatan khusus tentang cara membuat cangkedong. Semuanya berlangsung secara alami melalui proses mengamati dan melakukan. Orang yang ingin belajar membuat cangkedong-biasanya laki-laki, mendengarkan pengarahan singkat dari yang sudah berpengalaman dalam dunia percangkedongan.

Kedua, Folklor bersifat tradisional. Pembuatan cangkedong disebarkan dan diturunkan di antara jemaat selama lebih dari tiga generasi.

Ketiga, Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Cangkedong jemaat Gereja Kerasulan Pusaka merupakan versi yang berbeda dengan cangkedong yang ada di Ciamis karena menggunakan bahan dasar yang tidak sama. Cangkedong yang ini berbahan dasar daun pisang, sedangkan cangkedong yang di Ciamis berbahan dasar daun kelapa. Meski begitu, keduanya dibentuk dan difungsikan sebagai wadah makanan.

Keempat, Folklor bersifat anonim. Sampai kini tidak diketahui siapa yang pertama kali mengenalkan cangkedong model itu kepada jemaat Gereja Kerasulan Pusaka. Apakah dibawa dari Cikembar ketika migrasi, atau bisa saja cangkedong itu merupakan inovasi jemaat mula-mula ketika sudah menetap di Rawaselang dan beberapa kampung lainnya.

Kelima, Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Rumus membuat cangkedong tidak rumit. Cukup sediakan daun pisang manggala, batang pisang manggala sepanjang 50 cm, biting (potongan lidi yang ujungnya sudah diruncingkan), dan pisau. Cara pembuatan dimulai dengan melilitkan daun pisang ke batang pisang sesuai ketentuan umum, kemudian ujung daun yang tidak melekat ke cetakan dilipat dan dikunci dengan biting. Alasan pemilihan daun pisang manggala sebagai bahan untuk membuat cangkedong karena ukuran daun pisang manggala lebih panjang dan lebar dari daun pisang jenis lainnya. Selain itu, karakter daun yang lentur mempermudah pembuatan cangkedong. Pengetahuan tentang penggunaan daun pisang manggala sebagai alat untuk membungkus atau wadah, umum diketahui oleh masyarakat Sunda.

Keenam, Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Seperti dijelaskan pada awal tulisan bahwa cangkedong dibuat sebagai wadah makanan, khusus untuk anak, dan digunakan pada saat-saat tertentu—perayaan atau hajatan. Dengan cangkedong, anak dapat bebas bergerak membawa makanannya ke mana pun dia suka. Selain itu, dengan cangkedong, anak tidak perlu khawatir wadah makanannya rusak bila terjatuh.

Ketujuh, Folklor bersifat pralogis. Pada masa sekarang, di mana piring berbahan dasar melamin lebih mudah didapat serta dapat digunakan berkali-kali, jemaat Gereja Kerasulan Pusaka tetap keukeuh menggunakan cangkedong pada saat perayaan Kepindahan dan Sidekah Bumi dengan alasan kepraktisan dan mempertahankan tradisi.

Kedelapan, Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Cangkedong adalah milik bersama jemaat Gereja Kerasulan Pusaka. Kesadaran tersebut terlihat ketika satu hari menjelang perayaan, setiap kepala keluarga akan membuat minimal lima buah cangkedong untuk dibawa ke gereja.  Rasa kepemilikan juga terlihat ketika jemaat dari kota yang menyempatkan hadir dalam perayaan dengan membiarkan anaknya makan di cangkedong, kemudian memfoto dan mengunggahnya ke media sosial.

Terakhir, Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu. Tujuan para jemaat membuat cangkedong adalah sebagai wadah makanan, tidak lebih dari itu. Dari dulu sampai sekarang, bentuk cangkedong selalu begitu, tidak neko-neko. Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk menghias atau memperindah cangkedong dengan bahan lain karena fungsi cangkedong memang hanya sebagai wadah makanan, yang setelah digunakan tentunya akan dibuang.

Begitulah cangkedong hadir dan selalu dinanti di Gereja Kerasulan Pusaka, di samping sayur lodeh, setiap tanggal 13 Juni. Sangat disayangkan pada tahun ini anak-anak tidak akan mendapat jatah cangkedong karena pandemi Covid-19. Kenyataan tersebut membuat pihak gereja memutuskan untuk meniadakan peringatan kepindahan kakek-nenek dan syukuran panen. Jika pandemi ini tidak segera berakhir, bukan tidak mungkin tradisi cangkedong hanya akan tinggal kenangan bagi generasi tua dan menjadi dongeng bagi generasi berikutnya.

Post tags:

Pernah mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Mae Fah Luang, Chiang Rai, Thailand. Saat ini dia sedang merintis sebuah ruang baca, seni, dan budaya bernama Rumah Baca Manyar di kampung Seuseupan, desa Sindangsari, Ciranjang-Cianjur.

You don't have permission to register