Fb. In. Tw.

Perjalanan Rohani Aku Lirik

Preambul

Saat saya membaca sajak, setidaknya ada tiga cara untuk menikmati sajak. Pertama, saya memosisikan diri sebagai aku lirik dalam sajak. Kedua, saya berperan sebagai lawan bicara langsung sajak tersebut. Ketiga, saya menganggap sajak seperti sebuah lakon di hadapan orang banyak, pada saat yang sama ia berbicara dan tidak berbicara kepada saya.

Tentu setiap orang punya cara sendiri, tapi bagi saya, tiga cara di atas adalah sebuah ancang-ancang sebelum menginterpretasi sebuah sajak. Ketiga cara ini nantinya dibenturkan pada keseluruhan isi sajak, salah satunya keutuhan deiksis persona yang dibangun sebuah sajak. Selain itu, keterbatasan pengalaman dan pengetahuan saya sebagai pembaca juga berpengaruh pada cara membacanya.

Membaca sajak-sajak Mario F. Lawi yang tayang di Kompas (31/3/2018), agaknya saya memilih cara ketiga, yaitu menonton aku lirik berkisah dari jarak tertentu. Terdapat enam sajak yang tayang, yaitu “Basilika St Paulus”, “Basilika St Petrus, 2”, “Kisah Sepasang Bintang”, “Titinalede”, “Masa Kecil”, dan “Pasar Pedèrro”.

***

Sajak Mario secara dominan ditulis dengan gaya naratif. Beberapa sajak berkisah tentang perjalanan rohani aku lirik. Misalnya dalam sajak “Basilika St Paulus” berikut.

Kumasuki basilika yang lengang setelah merekam
Gerak burung-burung di dahan-dahan cemara
Dan mengerti akan kurindukan aroma musim
Gugur yang tak mungkin kukenal, gerak daun-daun
Dan derak reranting terinjak kaki para pedestrian.
Di samping tukang taman yang sedang menjaga
Hijau rerumputan dari cakar-cakar musim panas
Seorang rasul pemegang pedang dan kitab
Membiarkan berkat purbanya menyentuh kepalaku.

Kususuri gambar para paus, menemukan nama
Ayah berada di antara gambar para koruptor,
Para pengkhianat, para pengajar dan para santo
Yang berjejer membatasi tiang-tiang dari
Jendela-jendela, lukisan-lukisan dan langit-langit.
Fana ingin jadi kekal dalam tiang-tiang
Menjulang ini, tiang-tiang penopang
Langit-langit berwarna emas.

Kubayangkan emas langit-langit ini
Menjadi perhiasan di langit Damaskus,
Setelah Sang Penenun Tarsus yang buta
Karena cahaya kembali melihat dan surga
Merentangkan sepasang sayapnya menjemput
Doa-doa orang-orang kecil dan putus asa.

Kulihat sekelompok pemuda berbaju biru
Menyalakan lilin di depan lukisan Maria yang
Dimahkotai putranya, mendaraskan doa-doa
Latin yang memanggil-manggil seseorang dalam
Diri yang telah kutinggalkan jauh di masa lalu.

Kuseret langkahku menuju pintu kanan
Dan kusaksikan seorang pastor sedang berlutut
Di dalam kapela, di depan tubuh marmar
Santo Benediktus, ketika dari lukisan di samping
Kapela Kristus berjalan keluar meninggalkan
Perjamuan, mendekat ke arah sang pastor,
Memasukkan tangan cahayanya ke dalam dada
Sang pastor dan berkata, “Telah kujawab doamu.”

Kubawa adegan terakhir itu keluar dengan langkah
Yang kian berat, dan seperti orang Tarsus yang
Buta, kubayangkan kuda-kudaku berlari jauh
Meninggalkanku dan tak ada lagi yang dapat
Kuandalkan selain suara yang tetap tinggal dalam
Hatiku jauh setelah langit meredakan gemuruhnya.

2017

Larik-larik dalam sajak ini cukup bening, membuat kita mudah membayangkan peristiwa yang dialami aku lirik. Meskipun impresi yang dihadirkan terkesan acak, terdapat benang merah yaitu kegelisahan aku lirik.

Kegelisahan ini terdapat pada larik Seorang rasul pemegang pedang dan kitab/Membiarkan berkat purbanya menyentuh kepalaku. Larik ini secara tidak langsung dapat diinterpretasikan sebagai rasa inferioritas aku lirik, karena diksi membiarkan memiliki konotasi ‘yang seharusnya tidak’. Padahal bisa saja pada larik ini, diksi membiarkan diubah menjadi memberikan misalnya, namun terdapat penegasan dari diksi membiarkan, yaitu aku lirik merasa bahwa ia tidak pantas menerima berkat dari seorang Rasul tersebut. Kegelisahan aku lirik juga tergambarkan pada larik …mendaraskan doa-doa/Latin yang memanggil-manggil seseorang dalam/Diri yang telah kutinggalkan jauh di masa lalu. dan larik Kubawa adegan terakhir itu keluar dengan langkah/Yang kian berat….

Di Basilika Santo Paulus, aku lirik terus menyandingkan kegelisahannya dengan kebutaan Saulus. Dalam larik Setelah Sang Penenun Tarsus yang buta dan pada larik Yang kian berat, dan seperti orang Tarsus yang/Buta, kubayangkan kuda-kudaku berlari jauh. Penyandingan ini membuat isotopi tempat menjadi terbangun, bukan hanya sekadar kegelisahan yang dapat timbul di mana saja.

Karena kegelisahan aku lirik tersebut, dalam sajak “Basilika St Paulus” aku lirik tidak terkesan hanya menjadi pemandu wisata yang menjelaskan objek-objek secara puitis. Hal ini berbeda dengan sajak “Basilika St Petrus, 2” dimana deiksis aku tidak hadir. Pada sajak “Basilika St Petrus, 2”, unsur intertekstualitas dibangun dari kisah-kisah yang ada pada sekitar Basilika Santo Petrus.

Sajak “Basilika St Petrus, 2” bukan berkisah tentang aku lirik, namun pada beberapa larik terdapat deiksis lawan bicara orang kedua. Deiksis ini pertama kali hadir pada larik Makam, di Mehara, bukanlah sesuatu yang kaubangun semegah ini, dan hadir pada bait terakhir berikut ini.

Di Mehara, kehilangan, sebagaimana di sini, adalah sesuatu yang
Mustahil ditolak. Tapi maut bukan batas, dan suara berhak abadi.
Engkau memiliki orang-orang yang selalu bersedia mendengarkan
Ceritamu, menyimpan puisimu sebagai ingatan baik mereka,
Mengisahkannya kembali kepada orang-orang terkasihmu ketika
Mimpi menjadi satu-satunya pintu yang bisa kaubuka untuk menjenguk.

Dapat diinterpretasikan lawan bicara aku lirik adalah Santo Petrus sendiri yang jenazahnya terkubur di altar utama Basilika Santo Petrus. Maka dari interpretasi ini, saya sebagai pembaca menjaga jarak dari deiksis kau dalam sajak ini, dan melihat aku lirik mengutarakan perasaannya terhadap Santo Petrus.

Baca juga:
Paman dan Kucing
Melihat Permainan Hasan Aspahani

***

Dalam memahami dan menikmati sebuah sajak, kita terlebih dahulu harus mengupas teks yang menopang dibelakangnya. Sajak Mario F. Lawi yang tayang di Kompas ini bukan berkisah tentang cinta remaja dan ruang-ruang personal, selain itu Mario juga menghadirkan sedikit aforisme. Maka, terasa sulit untuk menikmati jika hanya membacanya sekilas.

Dua sajak di atas merupakan kisah aku lirik tentang perjalanan rohaninya. Beberapa sajak lain pun dibangun berdasarkan sebuah tempat yaitu “Titinalede” dan “Pasar Pedèrro”. Mari kita buka kembali koran Kompas yang memuat sajak-sajak Mario, lalu biarkan aku lirik mengajak kita dalam perjalanan-perjalanan kontemplatifnya.[]

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register