Fb. In. Tw.

Menyimak Kakek Bercerita

Ulasan kali ini dibuka dengan pertanyaan: apakah anda pernah berbincang dengan kakek Anda? Saya kira sebagian besar dari kita pernah bercakap dengan orang tua yang berusia di atas 60 tahun. Pertanyaan saya tadi tentu berhubungan dengan cerpen yang diulas kali ini.

Cerpen karya Ranang Aji SP berjudul “Aku Tak Ingin Kacamata, Aku Hanya Ingin Mati Tuhan” terbit di harian Kompas edisi 12 Agustus 2018. Sudut pandang utama dalam cerpen ini ialah sosok seorang kakek berusia 90 tahun. Seorang kakek yang telah ditinggal mati oleh istrinya dan tidak memiliki keturunan sama sekali. Di usianya yang memasuki kepala sembilan, ia merasa semakin asing dengan dunia di sekitarnya. Banyak ingatan yang telah ia lupakan, kecuali ingatan akan istrinya. Baginya, sang istri adalah sosok perempuan yang ceria, mengetahui banyak hal, dan sangat perhatian terhadap orang lain.

Suatu ketika sang istri memberikan saran kepada tokoh Aku untuk memakai kacamata untuk menanggulangi penglihatannya yang kabur. Namun, hingga istrinya meninggal, kacamata itu tak pernah ia dapatkan. Lalu, suatu hari seorang cucu dari kerabat istrinya datang dan memberikan kacamata kepada tokoh Aku. Awalnya tokoh Aku merasa senang karena dapat kembali melihat dunia dengan jelas, namun lama-kelamaan ia merasa jenuh dan muak dengan dunia. Dunia semakin buruk menurutnya. Akhir cerita, tokoh Aku merasa merana dan meminta Tuhan untuk segera mempertemukan dirinya dengan mendiang istrinya.

Karakter “Kakek” sebagai Tokoh
Sebutan “kakek” biasa kita sematkan kepada orang tua lelaki dari ayah atau ibu kita. Namun, tak jarang juga kita memanggil sosok yang tua secara usia dengan sebutan kakek. Berdasarkan fase perkembangannya, “kakek” dapat digolongkan dalam fase dewasa akhir/lanjut dengan rentang usia 60 tahun ke atas. Selain kerja fisik yang mulai menurun, sosial dan psikis dalam masa ini pun berubah drastis pada masa sebelumnya.

Menurut Santrock (2012) pada masa ini, sebagian besar orang dewasa lanjut mengalami post power syndrome dan juga emptyness syndrome1. Post Power Syndrome adalah sebutan untuk gejala ketidaknormalan emosi ketika habis/hilang kekuatan pada masa tua. Berbeda dengan masa muda, pada masa lanjut usia, seseorang yang mengalami post power syndrome akan merasa dirinya tidak berdaya dan sia-sia. Ia tidak dapat lagi memiliki kinerja seperti masa mudanya dan kemudian merasa tidak berguna. Sedangkan, emptyness syndrome adalah sebutan untuk gejala emosi yang merasa asing. Orang dewasa lanjut yang mengalami emptyness syndrome merasa dirinya diasingkan atau dibuang oleh keluarga dan sekitarnya. Tak jarang karena ketidaknormalan emosi ini, orang dewasa lanjut usia memilih untuk menyendiri dan enggan berkumpul bersama orang yang lebih muda. Ia merasa bahwa dirinya tidak diperlukan lagi dan hanya akan merepotkan orang yang lebih muda.

Dalam cerpen “Aku Tak Ingin Kacamata, Aku Hanya Ingin Mati Tuhan”, tokoh Aku sebagai kakek berhasil mengemban karakter dengan sesuai. Secara psikologis, ditinggal mati oleh istri dan tidak memiliki keluarga dekat berhasil membuat tokoh Aku mengalami emptyness syndrome. Pun dengan dirinya yang merasa tidak berdaya dan tidak dihargai oleh para pemuda membuatnya “mengidap” post power syndrome. Penggambaran kakek yang merasa tidak berdaya dan asing dengan lingkungannya cukup untuk mendeskripsikan bagaimana dunia ini berjalan dalam sudut pandang seorang yang sudah lanjut usia. Namun, walaupun karakter tokoh Aku sebagai seorang kakek sesuai dengan ciri umum kehidupan orang dewasa lanjut, terdapat kekurangan penulis dalam menguatkan karakternya.

Karakter yang dibentuk seolah tidak memberi izin kepada pembaca untuk mengetahui lebih banyak tentang kehidupan tokoh Aku sebagai kakek. Keseharian kakek tidak terjelaskan dalam cerita, seperti peristiwa yang membuatnya merasa merana dan tidak berdaya karena hidup sendirian. Tidak ada peristiwa keseharian yang mendukung kekuatan psikologis tokoh Aku sebagai seorang kakek. Misalnya, bagaimana kakek memenuhi kebutuhan perutnya? Atau bagaimana keadaan ketika kakek sedang sakit? Sangat disayangkan, penulis tidak memberikan motif yang kuat. Motif ini dirasa penting sebagai pembangun empati terhadap tokoh utama.

Berbeda dengan cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA. Navis. Tokoh Kakek dalam cerpen diceritakan dengan sangat baik oleh AA. Navis. Seorang Kakek yang mengabdi di surau desanya dan sangat taat beribadah dapat terjelaskan melalui peristiwa-peristiwa kecil dalam cerita. Seperti saat tokoh Aku bercerita bahwa setiap datang ke surau desa, kita akan melihat kakek sedang mengasah pisau di sudut surau atau kegiatan sehari-hari Kakek yang kerap menolong warga desa. Pun saat Kakek tersebut murung karena cerita Ajo Aji yang berhasil mengakalinya. AA. Navis apik membangun karakter tokoh Kakek melalui sikap dan perilakunya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek bergembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk dipikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, “Pisau siapa, kek?”

Mendengar Kakek Bercerita
Saya kira kita pernah mendengar cerita dari kakek kita. Seberapa seringkah kakek kita mengulang-ulang cerita yang sama hingga kita hapal bagaimana detailnya? Hingga kita merasa bosan dan tidak tahan mendengar cerita yang tak kunjung berhenti. Jika iya, memang begitulah adanya. Mereka hanya ingin kita mendengarkannya.

Baca juga:
Menikmati Hidangan Slerok
Menghirup Aroma Doa Bilal Jawad

Cerpen karya Ranang Aji SP ini menggunakan sudut pandang orang pertama dengan tokoh Aku sebagai seorang kakek. Seperti yang dinyatakan di atas tokoh Aku seolah memaksa kita untuk terus mendengar ceritanya walau kita bosan dan merasa ceritanya mengada-ada. Seperti, ketika istri tokoh Aku memintanya untuk memakai kacamata agar bisa membaca koran seperti Kerto, tetangga mereka. Tidak jelas alasan sang istri meminta tokoh Aku untuk memakai kacamata selain untuk membaca koran. Padahal tidak diceritakan sebelumnya bahwa tokoh Aku suka membaca koran.

Suatu ketika, istriku memintaku memakai kacamata seperti suami Jumiyem. Katanya, “Pak, besok kamu harus pakai kacamata, biar bisa baca koran seperti Kerto.”
“Besok kalau dapat tagihan, aku belikan dulu saja. Tapi diganti, jangan lupa, Pak.” Tapi kacamata itu tak pernah sempat ia belikan. Istriku mungkin lupa selama itu, dan akhirnya keburu meninggal karena darah tinggi.

Kemudian, motif yang tidak jelas muncul ketika cucu dari kerabat jauh istrinya datang untuk memberikan tokoh Aku kacamata.

Hingga kemudian, suatu waktu, aku bertemu dengan anak dari cucu luar jauh istriku di depan balai desa. Anak muda itu langsung mengenaliku, meskipun aku merasa belum pernah bertemu. Tapi aku juga tak yakin. Aku mungkin pernah mampir di rumah orangtuanya, atau dia mampir ke rumahku bersama orangtuanya. Ia mengingatku dan aku melupakannya. Itu bisa saja terjadi. Usianya menurutku sekitar 30 tahun. Bisa lebih bisa kurang. Kulitnya agak gelap seperti istriku. Rambutnya hitam berombak. Matanya awas di atas hidungnya yang bersila. Tapi ia sungguh baik terhadap orang tua sepertiku. Katanya, ia akan mengirimku sebuah kacamata agar aku bisa membaca. Karena ia baik, aku bilang padanya agar segera mengirim kacamata itu.

Selain motif yang tidak jelas, pengambaran tokoh pun masih tidak jelas. Seperti sosok Kerto yang hanya suka membaca koran dan tidak ada cerita lebih lanjut dari penulis. Sama halnya dengan tokoh cucu. Mengapa bisa cucu tersebut datang lalu tiba-tiba ingin memberikan kacamata begitu saja kepada sang kakek. Dan setelah itu, cucu tersebut hilang begitu saja dan tidak ikut campur lagi dalam cerita. Sama halnya dengan tokoh Kerto dalam cerita. Tidak ada penceritaan lanjut mengenai sosok Kerto. Sebagai pembaca, saya gereget untuk bertanya kepada tokoh Aku soal tokoh-tokohnya. Siapa sih Kerto? Kok, istrimu pingin banget kamu kaya Kerto? Lalu, Kok cucumu tiba-tiba datang kasih kacamata?

Sampai pada akhir cerita. Cerita ditutup dengan kondisi tokoh Aku yang berada di pemakaman istrinya dan meminta Tuhan untuk segera mengambil nyawanya. Lalu, warga desa datang dan memaksa tokoh Aku untuk segera kembali ke rumah. Konflik batin yang dibangun dari awal hingga akhir terasa berjalan datar. Tidak ada klimaks atau penyelesaian konflik.

Malam itu aku tak mau meninggalkan di mana istriku berada. Aku hanya ingin tenang bersamanya. Mendengarkan suaranya bersama desah angin, ringkik jangkrik, derik ular, dan kabut menjelang subuh yang datang. Di samping pusaranya, aku hanya berbaring dan berharap segera datang ajal bersama istriku, menjemputku. Tapi, kemudian orang-orang kampung pada datang. Memaksaku pulang untuk hidup menerima keadaan. Mereka mengira diri mereka punya rasa kasihan. Betapa sia-sianya mereka tak paham yang aku rasa, dan betapa malangnya aku harus menunggu waktu ajal yang membosankan. Tanpa jeda.

Terlepas dari motif dan tokoh yang tidak jelas konflik batin yang dihadirkan oleh penulis, cerpen ini cukup memberikan gambaran tentang seorang kakek yang kesepian dan tidak berdaya. Ia merasa jenuh akan dunia. Sebuah kondisi yang kemungkinan besar akan kita rasakan juga.[]

1. Santrock, John. W. “Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup”. Jakarta: Erlangga, 2012.

Pendidik dan penulis. Anggota ASAS UPI. Menetap di Bangka Belitung.

You don't have permission to register