
Telinga yang Beruntung
Minggu pagi, 19 Juli 2020. Langit Yogyakarta sangat cerah. Siapa yang mengira di bawah langit seperti itu bakal menerima kabar duka.
Ketika matahari belum lagi tinggi. Langit yang biru ceria seketika menjadi murung kelabu. Disebabkan oleh satu pesan di sebuah grup Whatsapp.
Pesan itu menyampaikan berita duka. Sapardi Djoko Damono, sastrawan Indonesia, meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Tangerang.
Selanjutnya, sepanjang hari Minggu kemarin semua yang saya lihat dan saya dengar adalah puisi-puisi Sapardi. Terutama puisi-puisi yang pernah dinyanyikan oleh Ari Malibu & Reda Gaudiamo.
Melihat kebun jati dan sengon di depan rumah, seolah melihat “Hutan Kelabu dalam Hujan” salah satu puisi yang ditulis Sapardi.
hutan kelabu dalam hujan
lalu kembali kusebut kau pun kekasihku
langit dimana berakhir setiap pandangan
bermula keperihan, rindu itu
temaram temasa padaku semata
memutih dari seribu warna
hujan senandung dalam hutan
lalu kelabu, mengabut nyanyian
Puisi-puisi Sapardi memang datang kepada saya pertama kali melalui bunyi. Setelah mendengarkannya baru saya menemuinya lewat aksara.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 2003, ketika saya dibawa ke Gedung Pentagon untuk mengikuti perkenalan Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Hima Satrasia) UPI. Di situlah, pertama kali saya mendengar puisi dan nama Sapardi.
Mereka mengajak saya belajar menyanyikan sebuah lagu dari puisi Sapardi yang berjudul “Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco”.
Kabut yang likat
dan kabut yang pupur
lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan
Matahari menggeliat dan kembali gugur
tak lagi di langit
berpusing di perih lautan
Sepulang dari Gedung Pentagon, puisi dan Sapardi terngiang di kepala. Singkat cerita, setelah aktif kuliah, mulailah saya menyalin data mp3 puisi-puisi Sapardi yang dinyanyikan—di kemudian hari baru saya tahu yang menyanyikannya adalah Ari & Reda—dari komputer seorang kawan di kampus.
Girang mendapatkan data musikalisasi puisi Sapardi, hampir setiap hari saya mendengarkannya. Begitu pula jika sedang berada di Gedung Pentagon, hampir setiap hari pula puisi Sapardi menjadi salah satu daftar lagu yang dinyanyikan mahasiswa yang sekadar nongkrong bermain gitar di lantai tiga.
Mereka yang bisa bermain gitar dan sedang jatuh cinta, pasti selalu menyanyikan lagu Sapardi. Yang tak dapat bermain gitar pun, turut menyanyi. Apalagi kalau bukan puisi Sapardi yang akan abadi menjadi puisi cinta sepanjang masa, “Aku Ingin”.
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
Bertahun-tahun, hingga kini, tradisi memperkenalkan puisi Sapardi melalui musikalisasi di Hima Satrasia sepertinya masih berlanjut. Meski Gedung Pentagon sudah terbakar pada 19 Juni 2008, kemudian dirubuhkan.
Setelah cukup sering mendengarkan, kemudian baru dilanjutkan membaca puisi Sapardi dari bukunya. Kumpulan puisi Perahu Kertas merupakan buku pertama Sapardi yang saya baca. Buku tersebut terdapat dalam satu bendel fotokopian yang berisi buku-buku penyair lainnya, di antaranya Subagyo Sastrowardoyo, W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Toeti Heraty, D. Zawawi Imron, dan Afrizal Malna.
Puisi Sapardi ditulis dengan diksi yang akrab dalam keseharian. Meski begitu, puisinya kaya dengan imaji yang mudah ditangkap oleh indera. Telinga saya sangat beruntung menjadi yang pertama kali menikmati setiap getar bunyi puisi Sapardi.
Ketika burung-burung masih berkicau di dahan pohon, penyair Sapardi yang fana mangkat. 80 tahun (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020) di dunia barangkali sesaat. Tapi, bukankah sesaat adalah abadi?