
Tarung dan Magis Melunasi Dendam Ajo Kawir
Suara sirine meraung-raung. Bocah-bocah dengan seragam putih-merah berlari ke dua arah. Ada yang mengikuti ke mana mobil pembawa suara itu pergi, ada yang justru terbirit ke arah berlawanan. Ibuku hanya diam saat itu. Tapi setelah mobil itu pergi, ia menghampiri ke tempat yang ia dan teman-temannya ketahui, tempat pembuangan karung-karung berisi mayat. Ibuku yang lahir pada tahun 70an itu bercerita, bahwa mayat di dalam karung-karung itu ialah korban Petrus (penembak misterius).
“Dari dalam karung itu, terkadang keluar telapak kaki, atau jari-jari tangan,” saya masih ingat benar bagaimana Ibu menceritakan itu saat saya kecil. Sekolah Dasar Ibuku di Cianjur, tak jauh dari kota, tetapi masih banyak tanah merah yang lapang. Kata Ibu, Petrus dititah untuk menembaki orang-orang bertato, preman-preman, para pembuat onar, dan kriminal lainnya. Saat itu, katanya kondisi sosial memang lebih aman, sekaligus mencekam. Dilema konsep keamanan sosial dan peran aparat a la petrus kemudian kadang melintas di pikiranku saat terjadi kekacuaan, meski tak pernah saya mengamininya. Apalagi, setelah menonton cerita Ajo Kawir asal Bojong Soang. Saya benar-benar tidak menyepakatinya.
Ajo Kawir (diperankan Marthino Lio) ialah tokoh utama dalam film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Edwin. Burung Ajo Kawir yang tak bisa ngaceng, tampaknya menjadi hal nyeleneh dan sederhana dalam adegan pembuka film. Ia berusaha keras membuat burungnya berdiri tegak. Ngocok dengan sabun berkali-kali, tetapi tetap tidak ngaceng. Datang ke dukun, tetap tidak ngaceng. Padahal, di dalam kebudayaan yang patriarkis ini, burung laki-laki seringkali berubah menjadi tongkat komando kekuasaan.
Mungkin karena Ajo butuh simbol lain untuk menunjukkan dan menyalurkan sisi kejantanannya, sekaligus memendam kelemahan dan rasa malunya, ia senang menghajar orang. “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” katanya. Maka Ajo Kawir bertarung sampai akhir.
Suatu kali, Ajo Kawir adu jotos dengan seorang perempuan bernama Iteung (Ladya Cheryl). Pertarungan sengit di areal tambang pasir menjadi adegan sangat epik, seperti film-film silat yang dulu kulihat di tivi tabung. Pukulan tangan yang berdebu, tubuh yang terbanting ke pecahan batu, lalu-lalang truk yang menjadi medan laga, seketika membiusku untuk terus duduk khusyuk. Penyutradaraan yang apik!
Pertarungan Ajo dan Iteung selesai, tetapi kisah cinta dan asmara mereka baru dimulai. Cinta pula yang mendorong mereka berkelahi dengan urusan-urusan yang jauh lebih rumit lagi, terutama soal trauma. “Aku mencintaimu, Iteung. Tapi apa yang akan kau lakukan kepada laki-laki yang tak bisa ngaceng?” tanya Ajo. “Aku akan mengawininya.” Iteung yakin.
Iteung dan Ajo sama-sama memiliki trauma. Itu yang membuat cinta mereka terasa manis bagi saya, cinta yang saling menyembuhkan, meneguhkan. Iteung selalu bertindak berani tapi gegabah jika teringat kekerasan seksual di masa kecilnya. Itu pula yang kemudian membuatnya terpelanting dalam hubungannya dengan Ajo. Burung Ajo yang tak bisa ngaceng juga simbol bahwa hal-hal penting dari hidupnya sudah sejak lama tak mampu berdiri lagi sejak ia menonton dan mengalami kejadian biadab para aparat saat ia bocah. Dan karena soal burung itu jugalah Ajo dapat ditaklukan oleh Budi Baik (Reza Rahardian). Sebab kekalahan itu, Ajo mencari seseorang untuk dibunuh.
Orang yang dibunuh Ajo itu sebenarnya orang yang sudah lama ditargetkan oleh Paman Gembul. Ya, begitulah lelaki berkumis itu ingin dipanggil, “Jangan panggil saya Jenderal.” Sebab masalah itu, Ajo diasingkan. Sementara dalam kesendirian dan rasa bersalah dan penyesalan, Iteung menjadi petarung yang mengerikan.
Tokoh-tokoh bertarung sendiri untuk membayar rindu dan dendamnya. Dalam hidup, memang terkadang kekerasan adalah proses pengadilan terbaik di luar ruang sidang, dan tinju adalah palu hakim yang dianggap paling adil. Baik laki-laki dan perempuan, semuanya melunasi rindu dan dendamnya masing-masing dengan perkelahian.
Bahasa, Aktor, dan Realisme Magis
Tentu sulit sekali memerankan tokoh yang mengalami trauma masa lalu yang berat. Trauma yang sangat kompleks, trauma yang menyebar seperti kanker. Apalagi Marthino dan Ladya harus melakukan aksi-aksi perkelahian. Untuk menjiwai akting menjadi jagoan, mereka harus memiliki motif dendam yang kuat. Tetapi mereka berhasil memerankan itu dengan epik. Jika mereka tidak pernah memiliki kondisi trauma yang sama, mereka pasti susah payah riset terkait narasi-narsi masa lalu yang membentuk karakter cerita.
Selain dari pendalaman karakter yang baik, film ini memberi saya keunikan lain, yaitu pengalaman seperti menonton teater yang difilmkan. Dialog dengan dominasi bahasa Indonesia yang formal dan baku, membuat dialog-dialog dalam film ini seperti naskah drama yang diucapkan di gedung pertunjukkan. Nuansa bahasa tahun 80an pun bisa kita dapatkan. Selain itu, kadang menyembul dialog-dialog filosofis yang menarik dari tiap karakter yang berperan.
Di luar bahasa, proses pembuatan film dengan pita seluluoid 16mm juga saya kira memengaruhi bagaimana adegan per adegan dihasilkan. Dalam wawancaranya, Edwin menjelaskan bahwa satu rol film seluloid hanya cukup untuk merekam 10 menit adegan. Oleh karena itu, tampaknya para pemain sudah terbiasa berlatih dan menghapal adegan per adegan, hingga kemungkinan improvisasinya. Proses itu sepertinya lebih banyak dilakukan oleh para aktor teater, sebab pertunjukkan di atas panggung tidak bisa diulang. Akiko Ashizawa menyebutkan, proses ini membuat seluruh proses pembuatan film lebih disiplin. Akiko sebagai sinematografer pun mampu menghadirkan nuansa film 80an dalam warna gambar yang jadul dan memanjakan mata didukung dnegan set artistik yang detail. Édun pisan! kalau kata urang Bojong Soang mah.
Di bagian tengah film, saya kembali teringat soal Petrus yang diceritakan oleh Nenek. Sebagai suami dari seorang tentara, dulu ia mendengar cerita, bahwa petrus-petrus itu banyak yang akhirnya gila. Dalam kondisi psiko-sosial yang tersiksa, masyarakat kita biasa mengobati kondisi kegilaan dengan hal-hal yang lebih gila, salah satunya hal gaib yang dipercaya.
Film ini juga mencoba menghadirkan kondisi itu. Awalnya ialah cerita soal Rona Merah dan kelindannya dengan trauma Ajo di malam gerhana bersama lelaki-lelaki yang gila. Si Jelita kemudian muncul ke tengah cerita dan membuat penonton bertanya-tanya, apakah ia hantu atau bukan.
Sosok Jelita bagi saya menjadi penyempurna film ini dalam melakukan alih wahana terhadap novel Eka Kurniawan, penulis yang dikenal dengan pendekatan realisme magis dalam cerita-ceritanya. Melalui Jelita juga, film ini mampu memberi kita keyakinan, bahwa trauma yang berat paling layak semestinya diterima oleh para pelaku, bukan para korban. Semesta pun akan merestui sesiapa yang melawan untuk kebenaran. Bangun, Bajingan!
Sebab kesempurnaan alih wahana itu, saat tulisan TAMAT berwarna kuning muncul di penghujung film ini, saya tepuk tangan, kemudian membayangkan Dewi Ayu keluar dari layar kaca seraya berkata dalam dada, “Cantik Itu Luka, tinggal menunggu waktu saja!”