Fb. In. Tw.

Puisi-puisi Mohamad Baihaqi Alkawy

penenges tiba di depan menara

penenges merasa dirinya seperti uang  yang disimpan dalam kutang.
tapi tidak sergahnya, segala telah selesai dan masa lalu hanya debu
yang melayang-layang. ia menginjak bayangan diri yang miring ke selatan

penenges ingin berada di tempat yang semestinya
bila perlu seperti batu-batu yang dilempar dari langit.

ia mengenang suara koper dan aroma minyak wangi
mengingat bagaimana bunyi ditingggalkan dan meninggalkan
aku sudah terlatih untuk melupakan segala yang patut dilupakan
penenges menarik napas pelan-pelan seperti suara kebosanan

ia tegak menghadap menara masjid di sudut kampungnya
di sana hanya bunyi terompah kuda,  suara dari pasar belaka.

2017

 

penenges membangun rumah

angin berputar merasuk ke sebelah badan
“tanah adalah penderitaan”
penenges melapangkan setiap gundukan di perutnya
membangun rumah yang tak bakal roboh

ada yang menjerit dari utara membawa segumpal batu
membumbung ke setiap lumbung
“setiap ada yang lapang akan selalu dikejar-kejar”

angin menyisir kaum capung yang terasing.
di sepetak sawah setimbun gabah anak-anak memerhatikan
pernyataan orang tua saat keringat tak lagi asin

dalam sejarah, tanah yang ditempati selalu terberkati
tak ada wabah fitnah dan angan sewarna merah mata

2017

 

buakar yang menyelam di telaga

buakar menyelam
ia tak tahu mana dangkal dan dalam
kakinya menopang tubuh yang tambun

buakar seorang pekebun yang tekun
ia menghapal aroma angin dan musim dingin

di dalam air, buakar mengenal
apa yang di luar dan dalam
dingin air dan aroma lumut dan bagaimana
segala memengaruhi tubuhnya

buakar menyelam
ia tak tahu mana dalam dan dangkal

air bertemu dalam dirinya
dalam kegelisahan yang berwarna telaga

buakar menyelam
ia merasa dirinya telah tiada

2017

 

sayyid ali singgah di nyatok

di bukit seorang penggembala tiba di selatan
membawa senjata yang disembunyikan dalam dada
berangkat dengan purwa membawa sekumpulan  anak domba

bunyi jangkrik berjentik di daun telinganya
ia merasa telah terdampar di sebuah pulau api

sayyid ali mendonga ke arah malam yang dipenuhi rimbun
bunut dan ketapang yang disilang-silang

rumah bala masih tabah dengan pagar bambu
yang disematkan dari ujung ke ujung

“apakah sayyid mendengar bunyi jangkrik”
tanya seorang membelakangi.
sayyid sengaja tak mendengar
sebab perjalanan penggembalaan lebih mulia dari jawaban

tapi sayyid ingat dan meralat pikirannya
sejenak, jangkrik lebih nyaring
dari kaum kambing di depannya

2017

 

sarang inen timbal

di tubuh yang luas sayap burung berjentik
di ujung daun belia. dipanggilkan pawang mengusirnya

bilamana tangan terlalu dingin benamkan di kantung
biar tak menyentuh daun yang tengah tumbuh
sekali lagi,
lagi sekali kau menyentuh ujung daun ini
semua akan tumpas dan inen timbal galang serupa lapangan

tubuh kerapkali memipih di setiap batang padi
di kening pernah tergores belukar, dipatahkan
oleh pemuda yang menyeburkan diri ke sumur tetangga

inen timbal luas melebihi halaman sekolah dasar
orang-orang datang menumpahkan kesedihan dan kebahagiaan
memerhatikan kemana burung-burung yang terusir kembali ke sarang

dada merah tua kangen dengan  apa yang tak mesti ditinggalkannya

2017

Lahir Mei 1991 di Toro Penujak, Lombok. Menulis puisi dan esai di pelbagai Koran, majalah dan buku. Diundang dalam Makassar International Writers Festival (MIWF) 2018. Buku puisinya, Pembakaran Tenandun, akan segera terbit.

KOMENTAR
You don't have permission to register