Fb. In. Tw.

Menjadi Karman dalam Agama dan Sejarah 1965

“Tidak mudah bagi seorang lelaki untuk mendapatkan kembali tempatnya di masyarakat setelah 12 tahun tinggal dalam pengasingan di Pulau B. Apalagi hati masyarakat memang pernah dilukainya. Karman, lelaki itu, juga telah kehilangan orang-orang yang dulu selalu hadir dalam jiwanya. Istrinya telah menikah dengan lelaki lain, anaknya ada yang meninggal, dan yang tersisa tak lagi begitu mengenalnya. Karman memikul dosa sejarah yang amat berat dan dia hampir tak sanggup menanggungnya. Namun di tengah kehidupan yang hampir tertutup baginya, Karman masih bisa menemukan seberkas sinar kasih sayang. Dia dipercayai oleh Pak Haji, orang terkemuka di desanya yang pernah dikhianatinya karena dia sendiri berpaling dari Tuhan, untuk membangun kubah mesjid di desa itu. Karman merasakan menemukan dirinya kembali, menemukan martabat hidupnya.”

Novel Berlatar Sejarah
Kutipan di atas adalah pengantar penerbit di sampul belakang novel Kubah (2001) karya Ahmad Tohari. Novel ini terbit pertama kali oleh Pustaka Jaya tahun 1980.  Mendapat penghargaan dari Yayasan Buku Utama tahun 1981. Kemudian diterbitkan Gramedia Pustaka Utama tahun 1995.

Kepengarangan Ahmad Tohari sebenarnya dimulai dengan Di Kaki Bukit Cibalak. Diterbitkan sebagai cerita bersambung di harian Kompas tahun 1979. Novel itu sekaligus sebagai tonggak kepengarangan Ahmad Tohari di kancah kesusastraan Indonesia.

Cetakan kelima Kubah terbitan Gramedia (2015) di tangan saya ini mengalami perubahan dari cetakan kedua (2011). Perubahan itu berupa dimensi buku yang berpengaruh pada jumlah halaman. Kutipan novel di atas, tampaknya sengaja dimunculkan untuk menggiring persepsi pembaca kepada tokoh Karman yang ingin kembali ke masyarakat. Ia adalah korban pengasingan dan mencoba menemukan kehidupannya kembali. Namun, setelah membaca isinya, pembaca akan menemukan nilai-nilai kehidupan berharga, yang masih relevan sebagai autokritik bagi kehidupan beragama dan bernegara di Indonesia.

Sebelum membahas agama, sejarah, dan relevansinya dalam realitas hari ini, mari kembali melihat isi dari novel ini. Menceritakan seorang pemuda sepulang dari pengasingannya sebagai tahanan politik. Dihinggapi keragu-raguan—lebih tepatnya ketakutan—untuk pulang ke kampung halamannya, Pegaten. Pemuda itu adalah Karman.

Tokoh Karman, pemuda tamatan SMP yang dimanfaatkan Margo dan Triman untuk menjadi kader partai komunis. Sebelumnya, Karman bekerja pada Haji Bakir sebagai pengangkut kelapa. Kemudian, Karman kecewa terhadap Haji Bakir karena kegagalannya melamar Rifah. Rifah adalah teman kecil Karman sekaligus cucu Haji Bakir. Kekecewaan itu menjadi pintu masuk Margo dan Triman untuk menanamkan ideologi komunis dalam pikiran Karman.

Dipekerjakanlah Karman sebagai pegawai kantor kecamatan, sambil terus memupuk kebencian terhadap Haji Bakir. Karman diangkat menjadi sekretaris Partindo, sebuah partai kedok komunis. Kemudian, pecahlah tragedi 30 September 1965. Orang-orang yang dianggap berkaitan dengan PKI, ditangkap dan dibunuh. Tanpa diadili.

Karman yang tidak tertangkap bersama Margo dan Triman, meninggalkan istri dan anak-anaknya. Karman akhirnya tertangkap dalam keadaan yang payah. Dia pun dipenjarakan sebagai tahanan politik di Pulau B1.

Selama masa pengasingan, istrinya, Marni, terpaksa menikah lagi dengan Parta lantaran kesulitan ekonomi yang dideritanya. Karman yang mendengar kabar itu begitu terpuruk, kehilangan tujuan hidup. Maka, hadirlah tokoh Kapten Somad, yang menuntunnya kepada cahaya terang, memberinya harapan dan semangat.

Karman akhirnya dibebaskan setelah dua belas tahun masa tahanan dan kembali ke Dusun Pegaten. Dalam perjalanannya kembali, Karman dilanda keraguan dan kekhawatiran akan diasingkan kembali oleh masyarakat. Simaklah kutipan berikut.

Dari depan gedung Kodim, Karman berjalan ke barat mengikuti iring-iringan orang banyak. Karman, meski ukuran tubuhnya kecil, saat itu merasa menjadi rayap yang berjalan di antara barisan lembu. Ia selalu merasa dirinya tak berarti, bahkan tiada. Demikian, pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Waktu berjalan ke barat sepanjang gili-gili itu Karman sebenarnya amat tersiksa. Tatapan mata sekilas orang-orang yang kebetulan berpapasan terasa sangat menyiksa. Oh, andaikan ada secuil tempat untuk bersembunyi, mungkin Karman akan menyelinap ke sana. Karman akan menyembunyikan diri karena pembebasan dirinya belum mampu mengembalikan dia dari keterasingan. (hlm. 9).

Keterasingan yang dirasakan Karman sebenarnya sangat wajar. Mengingat stigma yang melekat pada dirinya sebagai bekas tahanan politik. Namun, kenyataannya, masyarakat sudah melupakan dan menerima kehadirannya kembali. Karman, akhirnya membuat kubah masjid sebagai tanda dirinya kembali ke masyarakat. Kehidupan yang tenteram. Kembali ke jalan yang lurus.

Novel ini bisa dikatakan sebuah kesaksian atas tragedi kemanusiaan yang terjadi dalam sejarah kehidupan berbangsa kita. Mengingat dunia dan peristiwa dalam karya sastra merupakan tiruan dari realitas yang terjadi dalam kehidupan di lingkungan pengarang.

Ahmad Tohari merekamnya dan menjadikannya sebuah novel dengan latar sejarah yang kental. Selain itu, novel ini juga mengandung nilai-nilai agama sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam setiap sendi kehidupan. Dan, kita mesti memahami bahwa kubah bukan sekadar simbol agama, tetapi juga sikap pengarang terhadap realitas politik dan sejarah.

Seolah mempertentangkan agama, ideologi, dan politik, melalui tokoh Karman, ada nilai-nilai yang bisa dipetik sebagai pengetahuan dan perenungan pembaca berupa representasi sejarah, ideologi yang menginfiltrasi kehidupan politik, serta representasi agama.

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia memiliki sejarah kelam selama masa penjajahan dan sesudahnya. Terlebih pada masa pascakemerdekaan yang mengguratkan tragedi kemanusiaan dalam sejarah politik di negeri ini. Latar belakang sejarah itu yang kemudian menjadi warna novel-novel Ahmad Tohari. Termasuk novel yang berada di tangan saya ini.

Selain trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986), juga Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), novel Kubah (KBH, 2001) ini menghadirkan fakta-fakta sejarah yang terjadi di Indonesia, khususnya geger politik 1965.

Representasi  Fakta Sejarah
Representasi sejarah dalam novel Kubah merujuk pada peristiwa kolonialisme Belanda, masa pendudukan Jepang, dan peristiwa 30 September 1965. Sejarah-sejarah itu kemudian tidak bisa dilepaskan dari fakta-fakta yang membentuknya. Sebagai teks sastra, tentunya berbeda dengan teks sejarah pada umumnya, yang disajikan secara kronologis: awal sampai akhir. Teks sastra dimungkinkan untuk menghadirkan fakta sejarah secara acak.

Dalam novel Kubah, fakta-fakta sejarah yang bisa ditemukan adalah peristiwa pemberontakan di Madiun tahun 1948. Faktanya, memang ada peristiwa tersebut. Peristiwa Madiun ini adalah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur pada bulan September-Desember 19482. Peristiwa ini menjadi cikal bakal kehadiran tokoh Margo dalam novel Kubah.

Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar. Makar itu dikobarkan untuk merobohkan Republik yang baru berusia tiga tahun, dan menggantinya dengan sebuah pemerintahan komunis. Namun makar yang meminta ribuan korban itu gagal. Para pelaku yang tertangkap diadili dan dihukum mati.

Banyak yang kurang menaruh perhatian terhadap pelaku makar yang bisa lolos dari Madiun. Orang juga kurang memperhitungkan bahwa Muso, tokoh komunis penggerak makar itu, telah berhasil menanamkan pengaruh terhadap sementara kaum terpelajar.

Seorang terpelajar yang sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Muso lolos dari Madiun dan menjadi guru di Pegaten. Kawan Margo, demikian ia dipanggil oleh teman-teman separtai, adalah kader pilihan. … (hlm. 83-84)

Selain fakta peristiwa Madiun, fakta sejarah yang berkaitan dengan kehadiran tokoh dalam novel Kubah lainnya yaitu Hasyim, paman Karman. Ia adalah bagian dari Laskar Hisbullah. Walaupun tidak digambarkan secara detail kehadiran Kesatuan Sukarela Islam3 yang terdiri dari kiai dan santri itu, tapi menjadi penanda bahwa adanya peranan agama dalam perjuangan kemerdekaan.

Fakta sejarah selanjutnya adalah peristiwa G30S 1965 atau yang kita kenal sebagai “Geger 1965”. Peristiwa politik ini menjadi latar belakang permasalahan tokoh Karman hingga membawanya kepada sebuah pengalaman diasingkan.

Novel ini menghadirkan kembali aktivitas politik sebelum dan setelah G30S 1965. Tentunya melibatkan tokoh Karman dan tokoh-tokoh lainnya. Sebelum pecah peristiwa G30S 1965, partai komunis merekrut anggota. Sesuai catatan sejarah, Serikat Islam (SI) terbagi menjadi dua kubu: SI Merah dan SI Putih. SI Merah berhaluan kiri karena pengaruh Alimin dan Darsono (Kubah, 2015: 84). Dalam sejarah juga tercatat, Alimin dan Darsono–walaupun tidak disebutkan Semaoen—memang  bagian dari organisasi yang pernah hidup di Indonesia.

Secara diam-diam, Margo melakukan infiltrasi politik melalui partai Partindo, partai nasionalis yang diketuai Triman. Paham Margo bersembunyi di balik organisasi itu. Infiltrasi ini bertujuan menyembunyikan gerakan bawah tanah kelompok kecil komunis. Untuk menambah kekuatan partai, maka diperlukan kader-kader terbaik. Termasuk Karman.

Dengan pendekatan sosial dan kultural, kelompok Triman dan Margo ini melancarkan rencananya. Perekrutan secara halus dan tersembunyi ini dilakukan PKI untuk menambah kekuatannya. Maka, partai harus menemukan kader yang cerdas dan selektif.

Margo sangat aktif menambah jumlah anggota partainya. Teman-teman sejawat mulai dipengaruhinya, juga tetangga kiri kanan, terutama para pemuda. Margo ingin menemukan bibit unggul di antara para pemuda itu untuk dimatangkan menjadi kader pilihan seperti dirinya. Bibit itu memang harus berusia muda, cerdas, dan yang terpenting anak muda itu punya sejarah demikian rupa sehingga mudah dipengaruhi dan dibina menjadi kader pilihan. (hlm. 85).

Begitu pentingnya Karman dalam perekrutan itu karena dia memiliki faktor-faktor yang krusial. Faktor kemiskinan, misalnya, dijadikan landasan sebagai pertentangan kelas yang dijejalkan kepada Karman. Bahkan kehidupan pribadi Karman yang rapuh.

Fakta sejarah lain yang menyangkut tokoh Karman adalah dihadirkannya organisasi keturunan Tionghoa. Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia atau Baperki yang didirikan oleh beberapa keturunan Tionghoa untuk memuluskan integrasi keturunan Tionghoa kepada Republik Indonesia. Meskipun Baperki tidak berafiliasi dengan PKI, tetapi pengaruh yang kuat, lambat laun organisasi itu dalam cengkeraman PKI. Dalam novel dihadirkan sebagai penanda bahwa komunitas keturunan Tionghoa pernah menjadi bagian dari politik Indonesia.

Kemiskinan bukan hal yang terjadi begitu saja. Hal ini bisa kita dapatkan dalam novel Kubah. Kemiskinan ini dikarenakan adanya fakta sejarah pergolakan pada masa pendudukan Jepang yang menyengsarakan rakyat. Sulastomo menyebutkan bahwa jauh sebelum tragedi 1965 terjadi, masa pendudukan Jepang membuat sengsara rakyat Indonesia4. Fakta sejarah ini kemudian membuahkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, sehingga lahirlah laskar-laskar perjuangan, salah satunya adalah Laskar Hisbullah yang sudah disebutkan sebelumnya.

Fakta lain setelah meletusnya peristiwa G30S 1965 adalah adanya aktivitas penangkapan orang-orang yang terkait dengan partai komunis. Peristiwa ini menghasilkan ketegangan. Siapa pun yang diduga bagian dari PKI dan pendukung ideologinya ditangkap, bahkan dieksekusi. Perihal eksekusi tanpa pengadilan itu pun sampai sekarang masih menjadi polemik, menjadi lembaran hitam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini.

Penangkapan anggota dan simpatisan PKI dalam novel Kubah digambarkan sekilas melalui penangkapan kelompok Margo dan Triman.  Dari peristiwa penangkapan tersebut menyebabkan adanya usaha pelarian. Kenyataannya, sebagaimana diungkap Departemen Penerangan RI bahwa anggota komunis yang melarikan diri, hidup secara berpindah-pindah dalam upaya menyelamatkan diri dari tangkapan aparat kepolisian5.

Bagi mereka yang ditangkap, tentunya berakhir di penjara dan sebagian diasingkan ke Pulau Buru sebagai tahanan politik. Tiga fakta pascatragedi 1965 itu menjadi kekuatan kisah pada novel yang menitikberatkan penceritaannya pada tokoh Karman.

Dalam novel, penangkapan anggota komunis dan simpatisannya digambarkan dengan suasana mencekam. Begitu pun dengan kisah pelarian Karman. Mencekam sekaligus menyedihkan. Sampai akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru.

Marni berpikir, memang sudah banyak orang yang ditangkap. Bahkan ia mendengar ada pula yang dibunuh. Margo dan tiga orang lainnya dikubur dekat jembatan kali benda. “Lalu mengapa suamiku begitu ketakutan?” pikir Marni. (hlm. 150). Marni tidak menyadari bahwa Karman adalah bagian dari partai komunis. Ia mencoba memahami situasi dan tekanan yang dihadapi Karman.

Dan, tamat sudah kisah pelariannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu, beberapa orang pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah, orang tidak tega menghabisi nyawanya. (hlm. 184-185).

Karman tertangkap dan pelariannya itu berakhir. Namun, selama masa-masa pelarian itu, Karman mendapati banyak hal, termasuk kekecewaannya pada dirinya sendiri. Ia telah lari dari agama, jauh dari masyarakat, dan menanggung dosa politik itu sendirian.

Dua belas tahun yang lalu, suasana tak seramai itu. Mobil-mobil, sepeda motor, dan kendaraan lain saling berlari serabutan. Anak-anak sekolah membentuk kelompok-kelompok di atas sepeda masing-masing. Mereka bergurau sambil mengayuh sepeda. Dan semua bersepatu serta berpakaian baik, sangat berbeda dengan keadaan ketika Karman belum terbuang selama dua belas tahun di Pulau Buru. (hlm. 6).

Ada yang menarik dari pengasingan tahanan politik ini. Ketakutan, kekhawatiran, dan kegamangan Karman, boleh jadi mewakili perasaan orang-orang yang pernah diasingkan dan menjadi tahanan penjara sedemikian lamanya. Melalui novel ini, dihadirkan sikap masyarakat yang mampu menerima kembali kehadiran Karman di tengah mereka. Itulah sebabnya menjadi logis dalam penilaian Abdurrahman Wahid terhadap novel ini yang menyebutkan adanya upaya rekonsiliasi atau pemulihan tatanan masyarakat pascatragedi 1965. Gagasan besar itu bukan tidak mungkin dibuat berlandaskan agama.

Representasi Nilai Agama
Kubah secara harfiah berkaitan dengan arsitektur bangunan masjid. Karenanya, kubah bisa dijadikan simbol agama Islam. Dalam novel ini, simbol tersebut hadir menjadi pesan-pesan agama. Dalam karya sastra, seperti disebutkan Maman S. Mahayana, ketika sastra menyinggung soal agama, ia dapat menimbulkan masalah atau justru sengaja dijadikan alat berdakwah6.

Masalah yang timbul bergantung pada cara penyajiannya. Simbol-simbol agama tidak seharusnya disajikan secara eksplisit dan artifisial. Penyajian secara eksplisit dan artifisial itu nyaris tidak ditemukan dalam sebagian besar teks novel Kubah. Karenanya, dapat dikatakan bahwa Ahmad Tohari berhasil menggunakan sastra sebagai alat dakwahnya. Bahkan, dikuatkan dengan pernyataan pengarang yang percaya dan yakin bahwa karya sastra merupakan pilihan lain untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan7.

Agama menjadi obat bagi orang-orang yang ‘tersesat’ seperti Karman. Representasi agama dalam novel ini adalah warna dasar kepengarangan Ahmad Tohari dengan latar belakang pesantrennya yang kuat. Dalam novel ini, digambarkan sebuah peristiwa menarik antara Karman dan Kapten Somad. Peristiwa ini adalah pencerahan atau upaya pengembalian harkat dan martabat Karman. Kapten Somad digambarkan menjadi juru selamat selama Karman menjalani tahanan di pulau buru.

“Ya, dengarlah apa yang kumaksud dengan syarat itu. Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu, kau harus memulainya dari kepercayaan. Ya, Kepercayaan.”

“kepercayaan?” sela Karman.

“Ya, kepercayaan bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu. …” (hlm. 25).

Dialog antara keduanya, merupakan gambaran upaya penghapusan ideologi komunis pada diri Karman yang menganggap bahwa segala kepercayaan atas segala sesuatu yang tidak membenda (hlm. 26) harus dijauhi, sebagaimana ajaran partainya.

“Kalau begitu, maafkanlah aku. Dan baiklah, mari kita mulai sekarang. Sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan; sulit mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. Yang kini sedang terjadi pada dirimu, saya kira, adalah gabungan ketiga cobaan hidup itu. Luar biasa memang. Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia. Jadi, hanya kepercayaan terhadap kasih sayang Tuhan-lah yang bisa membuat kamu tenang, tak merasa sia-sia. …” (hlm. 27).

Pesan-pesan agama dari kutipan di atas menunjukkan bahwa dakwah agama bisa masuk dalam karya sastra. Tanpa kesan menggurui dan memberikan tafsir lain kepada pembaca. Pada bagian-bagian cerita, terdapat pesan-pesan agama berupa ajaran agama Islam tentang memperlakukan orang baik yang sudah tiada maupun masih hidup.

Jangan menyalahkan orang lain bila sudah nyata ayahmulah yang bertanggung jawab. Kini ayahmu telah meninggal. Tuhan melarang kita mengungkit-ungkit perbuatan orang yang telah selesai melaksanakan tugasnya.” (hlm. 109).

Pada bagian ini, diceritakan pertengkaran antara Karman dan pamannya, Hasyim. Karman bersikukuh bahwa Haji Bakir sudah berbuat semena-mena terhadap keluarganya, dengan mengklaim tanah milik orang tuanya. Padahal, tanah yang dimaksud Karman adalah pengorbanan ayahnya demi menyelamatkan keluarganya dari kelaparan. Pesan agama yang dimaksud adalah adanya ajaran agama yang melarang kita menggunjing atau membicarakan keburukan orang yang sudah mati.

Pesan-pesan lain adalah adab bertamu dalam Islam. Novel ini menyampaikan pesan agamanya dengan halus ketika usaha Karman menemui Rifah di rumah Haji Bakir.

Masih dengan bantuan sinar seberkas, Karman membaca tulisan Rifah: Tuhan hanya menyuruhku menghormati tamu yang datang dengan cara baik-baik. Bertamulah besok pagi kepada Ayah. Insya Allah aku akan menemuimu juga. Sekarang jangan kau ganggu aku. Pulanglah, atau kubangunkan ayah! (hlm. 128).

Agama dengan jelas mengatur norma-norma kesopanan. Melalui cerita, pengarang memasukkan nilai-nila yang diatur dalam agama. Lalu, bagaimana dakwah yang menggunakan ayat-ayat Tuhan itu disampaikan dalam novel ini? Memang ada ayat-ayat dalam Al-quran yang secara langsung dimasukkan ke dalam cerita. Namun, hal itu tidak menjadi sebuah masalah karena tidak menimbulkan penafsiran lain, selain nilai-nilai keyakinan terhadap ayat itu sendiri. Terlebih ayat itu lahir dari kitab suci, bukan semata melihat latar belakang agama pengarangnya. Surat Al-Fajr ayat 27-30 dalam novel ini disampaikan dengan baik dalam bentuk narasi.

Maka Karman bekerja dengan sangat hati-hati. Ia menggabungkan kesempurnaan teknik, keindahan estetika, dan ketekunan. Hasilnya adalah sebuah mahkota masjid yang sempurna. Tidak ada kerutan-kerutan. Setiap sambungan terpatri rapi. Kerangkanya kokoh dengan pengelasan saksama. Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan teralis. Empat ayat terakhir dari Surat Al Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang tenteram, yang telah sampai pada kebenaran hakiki. Kembalilah engkau kepada Tuhan. Maka masuklah engkau kedalam barisan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah engkau ke dalam kedamaian abadi, di surga-Ku. (hlm. 210).

Kalaupun ada penafsiran dari pembaca, tidak akan jauh dari penafsiran terhadap isi novel itu sendiri dan pada kehidupan Karman. Kubah menjadi simbol agama sebagai obat bagi jiwa-jiwa yang tersesat, dan Tuhan maha memaafkan atas segala dosa.

Relevansi Agama dan Sejarah
Banyak sekali nilai-nilai religi dan fakta-fakta sejarah yang bisa kita dapatkan dari novel ini. Namun, perlu kita garis bawahi bahwa Kubah bukanlah teks dakwah ataupun teks sejarah. Novel ini tidak disajikan dengan sepenuhnya ayat-ayat suci. Ia juga tidak dibuat secara kronologis. Karenanya, disusun secara koheren, bersifat fiksional, dan tidak harus diverifikasi kesesuaian faktanya.

Baca juga:
Membaca Riwayat Halimunda, Melintasi Imajinasi Kolonial
Manusia, Politik, dan Korupsi Orang-orang Proyek

Representasi agama dan sejarah dalam novel ini, saya kira akan terus relevan dengan kenyataan kita hari ini. Di luar karya sastra, kaitannya dengan kehidupan beragama dan bernegara saat ini, agama seolah hanya dijadikan alat bagi kepentingan individu atau kelompok. Agama semata menjadi identitas yang membuat orang di dalamnya menjadi jauh dari ajaran-ajaran yang mulia; saling memusuhi dan membuat kekacauan mengatasnamakan agama.

Sementara, saat kita menjalankan kehidupan beragama ini, kita juga sedang membuat sejarah bagi masa depan. Sejarah yang sedang kita ciptakan ini semoga bukanlah tragedi kemanusiaan seperti yang sudah terjadi di masa lampau.

Kemarin adalah sejarah bagi kita. Dan hari ini adalah sejarah bagi kemudian hari. Sebagai bangsa yang besar yang tidak melupakan sejarah, sepatutnya kita juga menempatkan agama dengan sebaik-baiknya. Hubungan antara sejarah, agama, dan karya sastra ada pada nilai-nilai kemanusiaannya.

Kubah lahir dari keresahan pengarang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Pengarang menghadirkan kembali sejarah dan melesapkan nilai-nilai agama dengan mengangkat peristiwa individu Karman. Sejenak mari menjadi Karman dalam agama dan sejarah, sebagai catatan-catatan dalam menjalani kehidupan beragama dan bernegara.[]

1Pada cetakan sebelumnya, dituliskan pulau B. Pada terbitan Gramedia (2001) ditafsirkan menjadi pulau Buru. Pulau Buru merupakan sebuah pulau di wilayah Maluku yang identik dengan pengasingan tahanan politik  khususnya orang-orang yang terlibat dengan pengkhianatan PKI pada 30 September 1965 maupun yang dianggap simpatisan komunis.
2Lih. Zen RS. 2010. Risalah Jalan Baru Musso. Diakses dari radiobuku.com/2010/09/risalah-jalan-baru-musso/.
3Kesatuan sukarela Islam itu dinamakan Hizbullah atau “tentara Allah” dengan format sebagai korps cadangan untuk kesatuan peta. Para kiai yang tercatat sebagai perwira Peta mendapat tugas untuk melatih dasar-dasar latihan dan kemampuan militer terhadap anggota Hizbullah. Lih. Muhammad Zidni Nafi. 2015. Rekam Jejak Laskar (Kiai-Santri) Hizbullah. Diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/63108/rekam-jejak-laskar-kiai-santri-hizbullah/.
4Sulastomo. 2006. Di Balik Tragedi 1965. Jakarta: Yayasan Pustaka Ummat, hlm. 5.
5Lih. Departemen Penerangan RI. 1994. Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, hlm. 164.
6Mahayana, S. Maman. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing, hlm. 70.
7K.S, Yudiono. Ahmad Tohari: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo, 2003.

Penulis. Staf SDI Al-Azhar 30 Bandung.

You don't have permission to register