
Erotika Kosmologis Adam dan Hawa
Manusia pertama adalah manusia dengan kegelisahan tak terkira: ketidaktahuan akan keganjilan yang begitu melimpah. Karena segalanya telanjur baru di sini: di dunia bumi.
Firdaus—sebelum mereka memakan buah ara dan terusir karenanya—hanya menyimpan nikmat dan kepolosan abadi, tanpa pengetahuan baik dan buruk, tanpa kontradiksi. Keduanya makan dari kelopak-kelopak bunga putih yang berguguran dari langit. Dan hewan-hewan buas bermanja-manja di kaki mereka. Dan kerikil tajam pun tak bisa melukai telapak kaki mereka. Di Taman Eden, Adam dan Hawa tak mengenal rasa sakit, rasa lapar, rasa haus, juga tentu saja: seks.
Apa yang dianggap mendasar sekaligus biasa-biasa saja bagi manusia saat ini, merupakan segugus pertanyaan eksistensial bagi dua manusia pertama, di mana setiap keputusan dihinggapi dilema, bayang-bayang risiko hidup-mati. Membunuh hewan—walau sekadar untuk makan—dirasa sebagai tindakan keji. Hewan-hewan tak lagi memiliki mata lembut; mereka pun harus saling membunuh demi bertahan hidup. Adam dan Hawa pun ragu, mana tanaman, juga buah, yang layak dimakan atau tidak. Mereka bimbang apakah air jernih yang mengalir bisa mengentaskan haus atau malah bisa menghancurkan tubuh mereka. Malam yang gelap gulita: apakah ini? Peristiwa haidnya Hawa: inikah bentuk hukuman selanjutnya dari Yang Lain?
Gioconda Belli, penulis asal Managua itu, berhasil mendulang pergulatan batin Adam dan Hawa dalam perjalanannya memulai sebuah sejarah besar umat manusia. Novelnya yang terbit pertama di Spanyol berjudul El infinito en la palma de la mano dan diterjemahkan dengan bagus ke Bahasa Indonesia oleh Fransiskus Pascaires menjadi Ketakberhinggaan Di Telapak Tangannya (Marjin Kiri: 2019). Belli mengakui bahwa kisah Adam dan Hawa dalam novel tersebut hanya sebentuk karya fiksi yang didasarkan pada banyak fiksi, tak lebih dari interpretasi dan reinterpretasi. Ia tidak sedang membuat kisah purba ini dalam wujud Kreasionisme ataupun Dariwinisme.
Sekalipun begitu, kisah Adam dan Hawa versi Belli tetap masuk akal. Penemuan Belli atas buku-buku kuno yang merupakan teks-teks apokratif dari Perjanjian Lama dan Baru, tetapi tersisih dari kanon gerejawi, membawanya pada penelusuran cerita-cerita alkitabiah yang hilang. Ia pergi ke perpustakaan Nag Hammadi, membaca Gulungan Laut mati, hingga ke Midras, menekuri komentar-komentar rabbi Yahudi terpelajar. Belli merangkai kisah.
Yang “wajar” dan yang indah, yang profan dan yang sakral saling kait-mengkait. Kisah yang sebetulnya sederhana, menjadi kolosal dan mendesak, terasa bulat-berdaging oleh pertanyaan-pertanyaan tajam yang bersifat perenial dan jawaban-jawaban filosofis yang subtil, juga autentik. Belli merekonstruksi kisah Adam dan Hawa dalam dua irisan sekaligus: evolusionistis dan sureal.
Ia mungkin sadar betul bahwa Adam dan Hawa, saat keduanya tiba di bumi, mau tak mau senantiasa menjadikan kehidupan surga sebagai perbandingan dan kehidupan alam liar di bumi sebagai nyaris sepenuhnya mimesis. Sebab tak ada kebudayaan yang bisa dijadikan cermin. Sebab kebudayaan belum ada. Sebab dalam keyakinan kita, Adam dan Hawa itulah peletak awal kebudayaan. Ingatan tentang surga dan gambaran alam liar di bumi: dua hal ini yang turut menggerakkan kesadaran Adam dan Hawa.
Demikian, segala yang dialami Adam dan Hawa di bumi, selalu terpaut dalam realitas dan imajinasi tentang alam dan Elokim—nama Tuhan dalam novel tersebut. Segala hal itu selalu terkait ke “yang lain”; menyiratkan kepada kita bahwa Adam dan Hawa merupakan patron pertama manusia sebagai makhluk ekologis. Alhasil, Ketakberhinggaan Di Telapak Tangannya berkelindan sebagai kisah yang manusiawi, sekaligus transenden.
Tak pelak, kita menemukan erotisme (yang manusiawi), tetapi digambarkan secara dramatis dan keramat. Erotisme yang hidup dalam arus kesadaran dan imajinasi non-biologis. Belli menciptakan bahasa erotis yang lekat dengan pelukisan pohon, batu gunung, bulan, buah, laut, ikan, dan lain-lain. Sebuah erotika kosmologis.
Misalnya, kejadian sesaat setelah buah ara dimakan, tepatnya saat Adam memandang dan menyentuh (dengan heran dan berdegupan) lekuk buah dada kekasihnya: Hawa ingin Adam berhenti menatapnya seolah-olah setelah menggigit buah itu Adam terpikir untuk menggigit Hawa, memakannya. Hawa menutupi buah dadanya dengan sepasang tangan.
Saat Hawa terpesona pada tubuh Adam pun, Belli membuat deskripsi berikut: Laki-laki itu tinggi besar, garis tubuhnya sederhana, lurus, tanpa lekuk-lekuk; hanya sembulan ototnya yang menyerupai kebulatan yang mendominasi tubuh perempuan. Ia bertanya-tanya apakah Elokim mengukirnya dari bongkahan batu gunung…
Fenomena kosmologis dalam erotika pada novel Belli ini bukanlah tempelan. Ia memiliki konteks. Ia menyejarah. Pasalnya, ketubuhan saat itu belum menjadi subjek superior yang merasa merajai, sekaligus bagian yang terpisah dan berdiri di atas alam raya yang diletakan semata-mata sebagai objek. Antroposentrisme belum berkuasa pada saat itu. Tubuh manusia masih menjadi “bagian” dari tubuh alam. Tubuh manusia “terpecah-pecah”, “berhamburan” pada laut, pada batu, pada ikan, pada pohon, maupun pada bulan.
Bahasa puitik Belli, selain bentuk kesengajaan teknik bertutur, juga ejawantah dari kenyataan sebuah konteks cerita, terkhusus faktor psikologis tokohnya. Maka mafhum: Belli tidak memperlakukan fenomena ketubuhan sebagai sesuatu yang seutuhnya berdiri sendiri. Persenggamaan pun dilukiskannya tidak secara gamblang.
Oleh Belli, tubuh saat berhubungan seks tidaklah eksis secara total. Pada jeda-jeda tertentu, Belli seakan selalu menghindari kejelasan, ketotalitasan geliat tubuh, dan sesekali berpaling dengan mencerap tubuh alam. Keindahan tubuh manusia, di titik ini, mesti rela berbagi dengan keindahan tubuh alam. Mungkin ia merasa, bahwa justru dengan menghindari ketotalitasan tersebut, erotika mengandung seninya tersendiri, seperti ada denyar-denyar misteri pada cela-cela yang tak konkret itu:
Segera, di lantai gua, mereka menjadi bola dari kaki, lengan, dan mulut yang saling berkejaran antara erangan dan tawa, berusaha untuk saling mengenal dan mengagumi tanpa tergesa apa yang mendadak dikuak oleh tubuh mereka, kelembaban tersembunyi dan ereksi tak biasa, efek magnetik bertautnya mulut dan lidah mereka sebagai jalur penghubung rahasia di mana lautan yang satu meledak di pantai yang lain. Tak peduli sebanyak apa mereka bersentuhan, hasrat untuk itu tak kunjung terpuaskan. Mereka sudah bermandi keringat ketika Adam merasakan dorongan tak terbendung untuk menabur arus yang menggelegak ke pusat tubuhnya ke dalam tubuh Hawa, dan perempuan itu, yang dibekali pengetahuan, tahu bahwa ia harus membuka jalan ke dalam dirinya, di tempat yang ditunjuk oleh anggota tubuh mengejutkan yang muncul tiba-tiba pada Adam di antara kaki-kakinya. Akhirnya satu di dalam yang lain, mereka mengalami keriangan kembali menjadi satu tubuh.
Mungkin Belli merasa bahwa dirinya bukan juru potret. Ketelanjangan tubuh maupun hubungan seks yang dipertontonkan secara terang-terangan barangkali bisa mendesakralisasi tubuh atau hubungan seks itu sendiri. Ujungnya: fenomena ketubuhan jadi sekadar kegenitan. Ia tidak lagi hadir sebagai suatu kewajaran yang menenangkan. Ia tidak menjadi ruang sublimasi, tetapi ruang euforia yang menggelisahkan. Belli seakan mempertahankan kewajaran semacam itu. Dirinya mengetengahkan fenomena ketubuhan itu sebagai medan perenungan, bukan semata-mata pelampiasan berahi.
Boleh dikatakan, cinta dan percintaan adalah salah satu tema sentral kisah Adam dan Hawa. Cinta dan percintaan turut andil atas lahirnya dua babak atau dua konflik besar: terusirnya Adam dan Hawa ke bumi dan pembunuhan pertama umat manusia yang dilakukan Kain terhadap Habel. Sepanjang kisah itulah, mau tak mau, deskripsi erotis atau hubungan seks mesti ada. Ia mutlak ada. Tanpa itu, Adam dan Hawa hanya akan jadi sosok yang berjarak dengan kita. Akan jadi semacam malaikat yang tak punya libido seks, yang tak perlu sanggama. Atau akan jadi sosok mitologis. Dan karena keberjarakan itulah, kita tak menemukan kedekatan emosional terhadap dua sosok yang oleh sebagian kita, dianggap Sang Nenek Moyang. Keduanya begitu jauh…
Dan Belli tak menanggalkan erotisme itu, hubungan seks itu. Malahan Belli menggali sisi psikologis maupun filosofis dari fenomena ketubuhan tersebut. Erotisme nyaris mengisi novel Ketakberhinggaan Di Telapak Tangannya dari awal hingga akhir kisah. Namun, erotika kosmologis Belli jauh dari kesan banalitas. Dengan caranya, ketelanjangan tubuh manusia, juga hubungan seks, justru terasa sangat spiritual.