Fb. In. Tw.

Afrizal Malna, Hujan, dan Taksi (Bagian 1)

Suatu pagi pada tahun 2004, pada ranjang susun dalam ruangan  di lantai tiga model barak tentara di Gedung Generasi Muda (GGM) Bandung. Saya dikejutkan oleh suara Indriawan yang membangunkan. Saat itu kami memang menginap di salah satu ruang paling atas di gedung yang berada di Jalan Merdeka, Bandung tersebut, karena saat itu kami mengadakan acara sastra yang bertema “Reformasi Mati Suri dalam Sastra Indonesia”. Malam sebelumnya saya tidur agak larut, karena saya dan teman-teman seperti Lukman A Sya, Indriawan, dan Eddi Koben bercakap-cakap dengan sastrawan yang jadi pembicara pada hari itu, yaitu Ahmad Syubbanuddin Alwy (alm.) dari Cirebon. Perbincangan bergizi yang sayang kalau kami lewatkan.

Singkat cerita Indriawan membangunkan saya. Saya baru ingat kalau Afrizal Malna datang hari itu dari Solo. Karena rekan-rekan lain sedang sibuk untuk menyiapkan agenda acara hari itu, maka saya diminta untuk menjemput Afrizal, sepagi itu. Pilihan rekan-rekan agar saya menjemput Afrizal tampaknya bukan tanpa alasan. Itu karena setahun sebelumnya saya menyelesaikan skripsi tentang puisi-puisi Afrizal Malna.

Karena tidak ada kendaraan mobil operasional untuk panitia saat itu, ditambah pula tidak mungkin saya membonceng Afrizal Malna yang saat itu membawa entah istri atau pacar, saya kurang tahu. Akhirnya saya mencegat taksi dan meluncurlah saya. Ternyata Afrizal menunggu di depan hotel dekat viaduct. Dia dan—entah pacar atau istrinya—itu tengah menunggu di depan hotel yang penuh itu. Afrizal tidak mengenal saya, tentu, tapi pasti saya dapat dengan mudah mengenali perawakannya. Kepalanya yang botak seperti sebuah identitasnya. Hari itu dia mengenakan sebuah sweater hoody. 

Tentu sayalah yang menyapanya duluan. Meminta mereka naik taksi yang sudah saya pesan. Dan dalam taksi itu pulalah percakapan singkat terjadi. Saya selalu penasaran dengan buku puisinya Afrizal yang paling fenomenal berjudul Arsitektur Hujan. Sebuah buku puisi yang pernah nyasar di rak arsitektur sebuah toko buku besar. Mungkin karena judulnya ada kata arsitekturnya. Kalau saya tak salah ingat, kejadian ini mirip bukunya Fyodor Dostoyevski berjudul “Kejahatan dan Hukuman” malah disimpan di rak buku hukum di toko buku.

Kembali ke buku puisi Arsitektur Hujan, buku puisi yang mulai saya baca pada tahun 1997 itu memang berbeda pada buku puisi pada zamannya yang masih berdiri pada jalur lirisisme. Puisi-puisi Afrizal ini berani keluar dari gaya lirisisme 90-an. Jika anda teliti, buku Arsitektur Hujan ini muncul dalam sebuah adegan pada sinetron “Dewi Selebriti” tahun 90-an yang dimainkan oleh Ine Febrianti, juga muncul pada film indie “Novel tanpa huruf R” karya sutradara Aria Kusumadewa.

Mengapa pakai judul dengan diksi hujan? Tanya saya dalam taksi itu. Sebab tahun 90-an itu diksi hujan paling kentara digunakan oleh Sapardi Djoko Damono dalam Hujan Bulan Juni. Jika dalam puisi Sapardi, makna hujan lebih kentara pada sisi romantisme dan filosofis, ternyata pada Afrizal, makna hujan yang ia maksud sedikit berbeda.

Masih dalam taksi itu Afrizal menjelaskan bahwa hujan adalah perubahan. Kala hujan turun semua menjadi berubah. Misalnya cara berjalan orang, ketergesaan orang, lalu lalang orang yang riuh terhenti, berubah oleh saling berteduh di halte, dan sebagainya.

Banyak hal yang masih ingin saya tanyakan dalam taksi itu, misalnya mengapa kemudian Afrizal memilih profesi penyair, bagaimana masa remaja dia, mengapa setelah lulus SMA tidak melanjutkan kuliah, mengapa setelah beberapa tahun baru memutuskan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat, mengapa tidak tamat kuliah, bagaimana proses kreatif bersama Oewik Sanuri Emwe, dan masih banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab.

Namun taksi sudah tiba di sebuah hotel di jalan Riau. Kami pun turun. Saya membayar taksi kemudian mengantarkan penyair kosmopolis dan –entah istri atau pacarnya—itu memesan hotel dan menuju kamar mereka. Karena saya lihat mereka masih terlihat kelelahan dan butuh istirahat, saya pun segera pamit dan akan menjemput kembali ketika acara diskusi akan dimulai.

Penyuka sastra dan musik folk. Buku puisi tunggalnya "Aligator Merangkak Sajak" diterbitkan asasupi pada bulan Oktober 2016.

Comments
  • Eddi Koben

    saya lupa tanggal pasti kegiatan itu. kalau tak salah itu di september 2003 ji… pas saya lagi jeda nunggu wisuda setelah sidang. wisuda kan oktober 2003.

    13 Maret 2016
    • ujianto sadewa

      Bisa duluan jadi ya? ada 2 kegiatan kita di GGM itu. Reformasi Mati Suri dan Sastra Bangkit dan Bergerak.Mana yang duluan mana yang terakhir?

      16 Maret 2016

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register