Tomas Najoan: Kabur, Ikhtiar Melawan Ketidakwarasan
Pemerintah Indonesia sepertinya melupakan tokoh-tokoh awal pergerakan perintis kemerdekaan Republik Indonesia, terutama mereka yang memiliki garis politik sosialisme dan komunisme. Pemerintah bukan saja seolah ingin melupakan peran mereka, melainkan menghapusnya dari ‘sejarah resmi’ yang diwariskan kepada generasi penerus, hingga hari ini. Sehingga ada lubang yang menganga dalam sejarah kita.
Buktinya, hanya sedikit orang yang mengenal nama Thomas Najoan, aktivis radikal yang tak kenal kompromi. Ia juga salah seorang buangan angkatan pertama di Boven Digoel, Papua.
Boven Digoel adalah kamp konsentrasi yang dibikin oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda bagi para aktivis perintis kemerdekaan Republik Indonesia. Kamp ini sengaja dibikin setelah pemberontakan yang dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada November 1926 pecah. Alam Digoel yang ganas dipilih agar para pemberontak radikal ini merasa kapok dan setahap demi setahap kehilangan iman terhadap ideologi mereka.
Tokoh nasional termasyur seperti Mas Marko, Hatta, dan Sjahrir pernah merasakan ganasnya alam Digoel. Mas Marko bahkan tutup usia di sana. Sementara Hatta dan Sjahrir hanya merasakan satu tahun di sana, sebelum dipindahkan ke Banda Neira.
Thomas Najoan sendiri merupakan salah satu tokoh penting pada pergerakan nasional. Ia anggota PKI sejak namanya masih ISDV. Ia dekat dengan Semaun dan Sneevlit. Ia juga bagian dari pimpinan PKI meski bukan pucuk pimpinannya. Iman komunisnya ia dapat bukan dari latar belakang sosialnya. Ia tergolong kaum yang sempat mengenyam pendidikan modern (Eropa). Barangkali, kesadaran radikalnya ia dapat dari narasi sosialisme yang dibawa masuk ke Hindia.
Sebagaimana aktivis pergerakan lainnya, Najoan juga memadukan antara gerakan massa rakyat denggan literasi. Di samping memimpin serikat buruh trem dan kereta api, ia juga pernah memimpin redaksi Oetoesan Minahassa.
Tentu dengan aktivitasnya yang radikal ini mengantarkan Thomas Najoan menjadi salah satu penghuni kamp konsentrasi Boven Digoel. Sekalipun ia tak terlibat secara langsung dalam pemberontakan pertama rakyat Indonesia kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada November 1926. Ia ditangkap dan dipenjara pada Oktober 1926. Setelah menghabiskan masa tahanannya selama tiga bulan, ia dikapalkan menuju Boven Digoel.
Di kamp konsentrasi, Najoan melakukan percobaan kabur sebanyak tiga kali. Pada percobaan terakhir, ia hilang di tengah rimba Papua. Dengan demikian, ialah satu-satunya Digulis yang paling getol berusaha kabur.
Kisah dan biografi singkat Najoan ini terangkum dalam buku Thomas Najoan: Si Raja Pelarian dalam Pembuangan karya Petrik Matanasi (Ultimus, 2013). Buku ini menjadi penambal dari luasnya lubang sejarah bangsa ini, terutama tentang peran tokoh-tokoh komunis dalam pergerakan perintis kemerdekaan Republik Indonesia.
Buku ini, selain menceritakan sosok Najoan yang ceria dan tak mudah putus asa, juga menceritakan motivasinya untuk kabur dari kamp konsentrasi. Najoan yang periang sekaligus tak mau tunduk pada kehendak pemerintah kolonial merasa kesepian di Digoel. Sekalipun begitu, ia dinilai sebagai pribadi yang periang. Ia lebih memilih mengolok-olok kehidupan daripada ikut terlibat dalam permusuhan di antara para buangan yang frustrasi dengan kondisi mereka di Digoel.
Kabur juga merupakan salah satu upayanya dalam melawan kesepian dan ketakwarasan di Digoel. Ia lebih memilih untuk terus berupaya membebaskan dirinya daripada harus berpangku tangan di kamp konsentrasi. Baginya, “usaha lari adalah perjuangan.” Kabur adalah salah satu ikhtiarnya menolak tunduk pada kehendak kekuasaan kolonialisme.
Dengan upaya kabur, Najoan dapat menjaga kewarasannya. Menatap cita-cita hari depan, kemerdekaan Republik Indonesia. Ia seperti kawan-kawan seperjuangannya di Digoel yang pernah frustrasi. Ia sempat ingin mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangannya sebab tak sanggup menyaksikan perpecahan di antara para Digulis.
Rasa frustrasinya lahir bukan karena ingin menyerah dari tindasan kolonial, melainkan dari lunturnya semangat kawan-kawannya akibat perselisihan. Maka, upaya kabur menjadi api gairah hidup untuk membebaskan dirinya, kemudian bangsanya. Ironisnya, ia kabur dan tak lagi ditemukan setahun sebelum kamp itu ditutup.
Buku seperti ini sangat penting untuk mengisi kekosongan dalam ‘sejarah resmi’ republik ini. Juga untuk memancing kegelisahan kita untuk terus menggali wawasan, baik tokoh maupun peristiwa tentang asal mula dan lahirnya bangsa Indonesia.
Judul : Thomas Najoan: Si Raja Pelarian dalam Pembuangan
Penulis : Petrik Matanasi
Penerbit : Ultimus
ISBN : 978-602-8331-49-4
Cetakan : ke-1, November 2013
Harga : Rp. 35.000,-[]