Fb. In. Tw.

Puisi-Puisi Wawan Kurniawan

Siapa Lagi yang Akan Berdiri di Dermaga?
(untuk Helmud Hontong)

di sana, orang-orang terdiam berdiri
melihat dua bayang-bayang
dari dirinya sendiri

cahaya tertangkap waktu dalam senyap
hingga gelap lepas menuju lenyap
sebab segala bergantung pada dirinya
kecuali kau yang ingin jadi nyala

di suatu pagi, kala kau kenang kembali
suara kicau burung-burung merayakan
bentang hutan di sekitar Gunung Sahendaruman
saat itu juga rindumu pada sungai muncul berkali-kali

saat kau menuju atau pulang ke kota M?
di udara: arah tampak samar dan kematian seperti
surat kuasa yang bebas menentukan takdirnya
tapi mengapa kau pasrah begitu saja

tidak, barangkali kau bersiasat kepada hidup
seperti para penimbun emas rindu menambang
di tubuh bumi yang selalu kau peluk dengan doa
kau pergi mencari cara lain bercerita kepada tuhan

sebelum bersaksi di antara pertanyaan masa depan
yang runtuh dan hancur diamuk gelombang penyesalan

di Tahuna,
yang akan kau kenang dengan panjang

dermaga tiada henti diserang ombak
yang setia bercita-cita menemukanmu sekali lagi.

 

 

Imaji yang Lari

barangkali harapan hanyalah
milik orang-orang tertentu:

kesukaan pemerintah di negara kita yang rentan
doa lapuk pengemis jalan di bawah tol layang,
langit mengambil semua dan menukarnya
dengan terik yang tak berkesudahan hingga nanti.

aku yang bukan aku mengajari diri sendiri, melawan
ketidakmampuan memahami sadar dan ketidaksadaran

tapi teriakan dalam diriku membentak tanpa henti
seolah tak ada tanda koma, titik, dan lain-lain
dalam segala yang kutulis
untuk aku yang belum aku.

sore hari selepas matahari menenggelamkan
bayang-bayang masa silam dan yang akan datang
kerap kali kukenang awal mula pagi saat masih kecil dulu:
awan dan biru – putih dan bentuk – aku dan imaji yang lari
masing-masing bercakap dengan bahasa sendiri
tanpa perlu paham mengapa harapan
selalu asing dalam hidupku?

Aku mengajari diriku sendiri berani melamun
memikirkan pesawat kertas jadi puisi yang dibaca anggota dpr
atau sekadar dimainkan mereka yang terperangkap waktu:
lalu manusia sepertiku mulai berbicara kepada yang tak menentu
setelah orang-orang berlari menanggalkan kedua kakinya
dan memilih terbang dengan cita-cita yang terlanjur jatuh
menuju angka-angka ganjil, hingga seorang memilih melukis
mekar bunga matahari dalam ledak bom bunuh diri
di depan rumah ibadah kota sekian.

 

 

 

Batas Pertanyaan

i/

ii/

iii/

iv/

di pusara, hari masih berjalan lepas dari batas waktu
semua suara menyeruak seperti aroma bunga lily putih
angin pedih berembus menjatuhkan dedaunan kamboja
apakah racun adalah pintu terbaik menemukan kehidupan?

di matamu, langit dihuni kesendirian dalam badai mimpi
pada jantung yang menampung seluruh beban yang ada
kau berkelana melawan dirimu sendiri yang penuh sepi
apakah tanah yang menutup dirimu menutup mata orang lain?

di negara, hari seperti siput kesakitan
diam dalam cangkang tak peduli apa yang terjadi di luar
arah pulang seperti jalan mendaki berkabut di bukit
apakah hidup hanya ritual duka panjang trauma?

di antara kesedihan atau kebahagiaan, pengakuan atau penolakan
terdengar atau terabaikan, lengang atau ramai, tertawa atau menangis
hening atau bising, bening atau keruh, malam atau pagi, silam atau kini
kebenaran hanya terkubur dalam banyak pertanyaan

 

 

Nanti Adalah Penyesalan

sudah puluhan tahun
kita berjalan di rimbun
ingatan berbiak
dan beranak-pinak: sebebas mungkin
jika tidak ada cara menyimpan rahasia,
dunia punya cara lain
meski harus menipu diri sendiri sekalipun

masihkah manusia setia
berjalan menuju ujung waktu
dan bergerak lebih cepat
seakan tubuhnya adalah roda mesin
yang hidup dari tumpukan keinginan
Sartre tertawa melihat kita
yang kehilangan pertanyaan
sejak pagi hingga malam tiba
dan seterusnya – kita setia –
kepada apa?

KOMENTAR

Lahir 4 Maret 1992. Menulis puisi, cerpen, esai dan menerjemahkan beberapa karya. Beberapa karya yang telah terbit diantaranya, Kumpulan Puisi: Persinggahan Perangai Sepi (2013), Kumpulan Puisi: Sajak Penghuni Surga (2017), Kumpulan Esai: Sepi Manusia Topeng (2017), Kumpulan Puisi: Museum Kehilangan (2020) dan Kumcer: Aku Mengeong (2021).

You don't have permission to register