
Perkakas Penyimpan Kenangan dan Perasaan
Hélène Cixous menjelaskan bahwa dunia tulis-menulis telah dikuasai oleh laki-laki. Tulisan laki-laki dianggap mampu menguasai dunia. Dengan demikian, laki-laki mampu mendefinisikan segala sesuatu. Sementara itu, dalam tulisan dan pemikiran maskulin, perempuan adalah the other bagi laki-laki. Ia mengatakan bahwa perempuan seharusnya berperan dengan cara menulis. Menulis merupakan salah satu cara untuk keluar dari dunia yang didefinisikan oleh laki-laki.
Kemunculan Kelenjar Nira (2016) karya Dian Hartati adalah sesuatu yang diharapkan oleh Cixous. Dian Hartati masuk ke dalam dunia yang telah dikuasai laki-laki. Ia telah mengambil wilayah di dunia laki-laki itu. Lebih jauh, Ia telah (sekurang-kurangnya) mendefinisikan tentang dirinya dalam puisi-puisinya—bukan laki-laki yang mendefinisikan dirinya.
Namun, sejujurnya, pikiran Cixous adalah pikiran lama. Sekarang, banyak perempuan sudah menulis. Dunia tulis-menulis bukan lagi dunia laki-laki. Oleh sebab itu, jika ada penulis feminis yang masih memersuasi perempuan untuk menulis, itu adalah kampanye yang ketinggalan zaman. Perempuan dengan seluruh kesadaran dan keberaniannya telah menulis, bahkan melebihi laki-laki. Untuk sekarang, hal yang paling penting adalah bagaimana perempuan mampu menyampaikan ide-idenya tentang dunia dalam tulisannya; bagaimana perempuan mengetengahkan persoalan yang dialaminya ke dalam tulisannya; bagaimana perempuan mengadvokasi dan berjuang untuk dirinya.
Ketika membaca puisi dari penyair perempuan, sebagian pembaca akan berharap mendapatkan opini tentang problematika perempuan dalam koteks wacana feminisme. Mereka ingin melihat bagaimana wacana tentang perempuan diangkat ke dalam sebuah tulisan. Bagi sebagian pembaca, inilah hal yang lebih menarik daripada membaca hal-hal pribadi tentang perempuan (perasaan cinta, rindu, kenangan, dll.). Ini menjadi kata kunci.
Penyair perempuan pada umumnya (jika saya tidak salah), kerap mengangkat persoalan-persoalan yang mereka hadapi sebagai perempuan. Avianti Armand, Dorothea Rosa Herliany, Oka Rusmini, Toeti Herarti, Anis Sayidah, Wida Waridah, Pradewi Chatami, dll. adalah penyair perempuan yang kerap mengangkat persoalan perempuan dalam puisinya. Namun, menariknya, wacana feminisme tidak menjadi subject matter ‘pokok’ dalam puisi-puisi Dian Hartati–sekurang-kurangnya untuk kumpulan puisi ini. Hanya ada beberapa puisi yang mengangkat persoalan perempuan. Misalnya puisi “Sampur” dan “Kelenjar Nira”.
//selepas matahari terbit/kami berbondong-bondong menuju/setapak jalan//ada segaris cahaya /kebahagiaan yang mengukir wajah//di depan sana/kami memeriksa setiap pokok/rasa senang memeluk diri//kaki-kaki menjejak bambu titian/menampung curahan manis bumi/inilah bagian dari kisah leluhur/perempuan yang memberikan raga/untuk keluarga/dan bersedia mengorbankan seluruh bagian tubuh//setiap pagi dan sore/air mata perempuan itu menjelma berkah/rambut-rambut kuatnya/menjadi ijuk/guratan lain yang membahagiakan bagian rumah// (“Kelenjar Nira”, hlm. 84)
Puisi ini bagus sekali. Puisi ini menceritakan sekelompok perempuan penyadap nira. Seperti yang kita ketahui, biasanya nira disadap oleh laki-laki. Kalau pernah membaca novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, kita akan melihat bahwa profesi ini adalah milik laki-laki. Namun, di dalam puisi Dian Hartati, itu tidak terjadi. Entah, di mana penyair melihat peristiwa ini? Atau penyadap nira adalah metafora dan representasi dari perempuan yang bekerja? Entahlah.
Hal yang perlu ditekankan ialah, dalam puisi ini, penyair tidak mengoposisikan antara perempuan dan laki-laki atau perempuan dan budaya patriarkat. Ia hanya menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk bekerja. Perempuan memiliki daya hidup yang besar.
Lantas, bagaimana jika Dian Hartati tidak mengangkat semangat feminis dalam puisinya? Hal ini bukanlah suatu kekurangan. Hal ini mengindikasikan bahwa penyair tidak memiliki ketertarikan dengan wacana feminisme. Barangkali, penyair menganggap bahwa puisi sebagai hardisk untuk menyimpan kenangan dan perasaan, bukan sebagai alat perjuangan. Selain itu, barangkali penyair tidak mengalami atau menyadari hambatan-hambatan dalam hidupnya sebagai perempuan dalam konteks wacana feminisme. Ia tidak melihat patriarkat sebagai masalah besar.
Di Tiongkok, dalam konteks wacana feminisme, perempuan tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Meski Tiongkok menganut budaya patriarkat, perempuan-perempuan Tiongkok tidak menganggap itu sebagai masalah besar. Mereka merasa bahwa hidup sudah demikian bisa dinikmati. Feminisme hanya menambah-nambah persoalan.
Hal ini seperti apa yang dikatakan Leela Gandhi bahwa feminisme sebenarnya adalah pikiran dari Barat. Dalam kacamata pascakolonial, feminisme adalah bentuk “penjajah” juga. Lebih jauh, Leela Gandhi menyatakan bahwa perempuan mendapatkan penjajahan yang berlapis, baik dari laki-laki maupun perempuan (Barat). Pikiran feminisme Barat hanya menambah-nambah persoalan saja.
Saya bercuriga, jangan-jangan wacana perempuan atau feminisme—yang ditulis penulis perempuan—adalah akal-akalan penulis saja untuk membuat tulisannya menjadi laku; untuk memuaskan horison harapan pembaca. Jangan-jangan wacana feminisme telah dikomodifikasi, bukan wacana yang secara alamiah muncul dari dalam pikiran perempuan. Pikiran ini tentu saja berbahaya dan akan digugat oleh feminis-feminis. Saya akan dituduh misoginis.
Baiklah, anggap bahwa persoalan ini sudah selesai. Kita berlanjut ke persoalan berikutnya.
Seorang kawan, Heru Joni Putra, pernah bertanya kepada saya, “Mengapa penyair-penyair Jawa Barat (Bandung) tidak mengambil spirit kreativitas dan urbanitas dari Bandung dalam puisi-puisinya?” Saya tidak mengerti harus seperti apa puisi penyair Jawa Barat dalam bayangan kawan saya itu; mungkin puisi-puisi embeling Remy Sylado—yang menurut saya mewakili kreativitas dan urbanitas Bandung—dapat memuaskan pertanyaan teman saya itu.
Sejujurnya, saya belum bisa menjawab pertanyaan itu secara pasti. Namun, saya berasumsi bahwa sebagai orang Sunda, penyair Jawa Barat lebih menerima alam daripada kehidupan urban dalam puisinya. Jakob Sumardjo pernah mengatakan bahwa orang Sunda sangat dekat dengan alam. Menurutnya, lalapan adalah suatu bukti bahwa orang Sunda dekat dengan alam; mereka tahu tumbuhan yang bisa dimakan dan tumbuhan yang tidak bisa dimakan.
Ian Campbell pernah membuat penelitian tentang puisi penyair-penyair Jawa Barat. Kesimpulannya ialah bahwa puisi penyair Jawa Barat cenderung mengangkat alam sebagai metafora dan spirit puisinya. Aliran romantik sangat berpengaruh dalam puisi-puisi penyair Jawa Barat.
Hal ini pula yang terjadi pada Dian Hartati. Puisi-puisi Dian Hartati masih menggunakan elemen alam sebagai metafora dan sebagai subject matter puisinya. Tema urban dan kehidupan modern, kalau saya tidak salah hitung dan interprestasi, hanya ada dua sampai tiga puisi. Malahan, ada kesan bahwa Dian Hartati menolak kenyataan urban.
//dikatakan dekat/padahal ruang rapat penuh sinyal/mereka duduk menunduk tekun dengan segala aplikasi/juga pesanan makanan yang datang/beberapa menit lalu//suara-suara mengalir jernih/daftar lagu tak pernah/memutar ulang dirinya sendiri/juga berita langsung dikirimkan satelit//…//tak ada yang beranjak dari kursi/komunikasi terkoneksi perubahan/jadi simbol kejayaan/masa-masa penuh liburan//tak ada lagi yang diperlukan/selain sejumlah daya dan hati nurani// (“Generasi C”, hlm. 103).
Saya merasa, puisi di atas menunjukkan tanggapan (bisa jadi kritik) penyair pada kenyataan modernitas. Semua orang sibuk dengan gawainya masing-masing. Dengan hanya duduk, seseorang mampu terkoneksi dengan apapun dan siapapun. Manusia tidak lagi membutuhkan apa-apa selain daya dan hati nurani. Saya sepakat!
//aku pergi lagi/meninggalkan puncak gedung/kota-kota penuh air/suara bising menenggelamkan kenangan//kepergian kali ini membawa duka/aku dan kepala yang lain melangkah/diiringi dengung telepon/kabar keluarga yang tak pernah sampai/hanya suara berisik/entah kehilangan sinyal atau pulsa terbatas/aku dan mereka meninggalkan koper/tanda kenangan dan jejak busana/musik jazz mengalun/di kafe orang-orang menutup telinga/kebosanan membuat buntu/tak ada yang dapat meninggalkan ruang itu/aku melihat seseorang membuka pintu/: tertutup/salah satu kemalangan orang-orang malas//Ketika Dian Hartati mengangkat topik atau/…// (“Rumah Kaca”, hlm. 14).
Puisi “Rumah Kaca” di atas mengesankan penolakan atau opini negatif penyair mengenai urbanitas. Nampaknya, sebagai sebuah wilayah geografis, penyair menolak urban/kota. Hal ini bertolak belakang dengan desa. Penyair memandang bahwa perdesaan adalah tempat yang nyaman dan penuh kenangan, meski kemarau tengah melanda.
//bersua denganmu/seolah berjumpa kenangan/dusun kecil wilayah batang-batang/masa lalu di rumah kayu/sempit dan kuyu//seddung masih tanah/air dialirkan dari sungai berbatu/matahari terik/dan penjual siwalan tak kunjung datang/berjarak tiga rumah/masjid selalu ramai/siang malam orang-orang berganti/menebar doa memanggil hujan/setiap jam lonceng berdentang/segera ke ladang/beranjak ke langgar/mencari air/membasuh diri/menghirup udaramu/aku merasakan kemarau masih panjang/persediaan nasi jagung membuat tenang/datang ke batas desa/masih ada matahari yang sama/angin bergeliat/melagukan perjumpaan// (“Seddung, Geliat Ketenangan”, hlm. 29)
Kehikmatan penyair pada alam terlihat juga ketika ia mengambil spirit atau elemen alam dalam puisinya.
//pantai-pantai begitu lirih/pertama kali berkenalan, dia diam/bahagia sendiri dengan gerak ikan-ikan/sibuk bersama kawanan angin/tak mengacuhkan pendatang//pantai-pantai begitu sunyi/hitam menghampar biru mengambang/kali kedua bertemu, dia begitu angkuh/kami memang tak saling kenal/tapi, mengapa aku selalu rindu?// (“Mata Pantai”, hlm. 12).
Puisi “Mata Pantai” cukup merepresentasikan puisi-puisi lainnya yang berkaitan dengan alam. Saya merasa, dalam puisi ini, penyair mampu menyatu dengan alam. Alam dapat mewakili perasaan dan jiwanya. Hal ini membuat metafora atau simile yang dibuat kerap atau bahkan melulu menggunakan elemen alam. Anda bisa melihat puisi-puisi bagus lainnya seperti “Menjelma Pupa”, “Jangkar, Kesunyian Orang Asing”, “Rumah Pasir”, “Cerita Pantai”, “Kelenjar Kaldera”, dll.
Dua hal yang saya paparkan di atas (ketidakpedulian penyair dengan wacana feminisme dan urban), bagi saya, menjadi perlawanan terhadap arus utama. Bagi Dian Hartati, puisi—sekali lagi—bukanlah alat utama untuk menyampaikan opininya tentang problematika perempuan dalam konteks wacana feminisme dan problematika urban dalam konteks wacana modernisme.
Puisi, barangkali bagi Dian Hartati, adalah hardisk untuk menyimpan kenangan, ingatan, dan masa lalu serta perasaan-perasaan yang ada di dalamnya. Jika Anda mencari kata kenang atau kenangan, Anda akan mendapat 20 temuan. Jika Anda mencari frasa masa lalu dan memori, Anda akan mendapat masing-masing 6 dan 1 temuan saja. Jika Anda mencari kata ingat, mengingat, atau ingatan, Anda akan mendapat 11 temuan. Ini tidak membuktikan apa-apa. Saya hanya iseng saja. Namun, hal yang ditekankan oleh saya, puisi-puisi Dian Hartati merupakan perkakas penyimpan kenangan dan perasaan yang baik.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
lukman a sya
mengapa pusi mesti diahas.ya mungkin ada yang kalau-kalau belum puas membaca. boleh jadi memerluka sedikit panduan. termasuk yang saya baca juga puisipuisi dian hartati ini. tapi saya lebih sering baca puisi oka rusmini dan toety herati