Fb. In. Tw.

Pelajaran Berharga dari Emperan Jalan

Pelajaran hidup barangkali memang selalu didapat tanpa terduga. Dari emperan jalan sekalipun ternyata kita bisa menemukannya. Seperti yang terjadi pada saya.

Saya mendapatkan pelajaran yang berharga untuk direnungkan dari Pak Wiskam (60 thn lebih). Ia adalah warga Yogyakarta yang mencintai keluarga dan pekerjaannya. Menurutnya, kunci kebahagian itu adalah keluarga dan pekerjaannya.

Saya berjumpa dengannya tanpa sengaja di bilangan Jalan Solo, tepatnya di dekat Shelter Transjogja Jalan Solo (Janti).

Siang itu (11/11/2014) saya ada janji mengunjungi rumah kontrakan penyair Rozi Kembara. Karena saya belum pernah ke tempatnya sebelumnya, kami janjian jumpa di shelter Janti. Dia akan menjemput saya di sana.

Saya tiba lebih dulu di Janti. Turun dari Transjogja 1A, saya melihat ada bengkel sepeda. Waktu memerhatikan bengkel itu, seseorang menegur saya dari belakang. “Yang punyanya lagi tidur, dek!”

Saya menengok ke sumber suara, yang ternyata berasal dari seorang sepuh di samping becak merah. Saya menghampirinya lalu berbincang tentang bengkel itu dan sedikit tentang sepeda. Dari situ percakapan menjadi lebih jauh. Rozi belum tiba di Janti.

Ia menanyakan saya berasal dari mana. Saat saya jawab dari Bandung, ia lalu menerka, “Jualan burjo juga?”

Secara refleks saya menjawab, “Janjian ketemu kawan di Shelter Janti ini, mau dijemput di sini, pak.”

“Wah, hati-hati keliru, di sebelah sana juga, di bawah jalan layang sana ada shelter Janti,” sergahnya, sambil menunjuk ke arah shelter yang ia maksud.

“Tak apa-apa, kalau keliru, nanti kawan saya pasti nelpon, pak.” Jawab saya lagi dengan tenang.

Ia ngeloyor mendekati becak merah, dari laci di belakang tempat penumpang ia mengambil sebungkus rokok. Satu batang ditarik, dinikmatinya, lantas mendekat lagi pada saya. “Oh, rupanya itu becak miliknya,” dalam hati saya.

Ia pun bertanya apa pekerjaan saya, sudah berkeluarga atau belum, dan lain-lain, dan sebagainya. Saya menjawab antusias dan sejujurnya. “Saya kerja di Bandung, di penerbit buku. Istri saya di jogja, kerja di sini, pak” Kata saya.

“Wah, kenapa gak pindah ke sini. Kalau sudah bersama itu, hidup senang,” tanggapnya.

Tiba-tiba ia juga menceritakan tentang dirinya dan keluarganya. Menurut penuturannya, ia telah menarik becak sejak tahun 1972. Ia dikaruniai empat orang anak. Anak keempatnya kini bekerja di pelayaran. Dari anak keempatnya ia punya tiga orang cucu.

“Buat saya keluarga itu penting, saya narik becak dari tahun 72. Sekarang masih narik becak bukan buat apa-apa. Kalau tidak kerja, saya malu sama tetangga. Anak saya empat, sudah bekerja dan berkeluarga semua. Saya tidak minta uang sama mereka. Biar uangnya untuk istrinya saja. Kalau buat merokok, saya cukup dari narik becak,” tuturnya bangga.

Rokoknya tandas. Saya menanyakan namanya dan usianya, dan saya menyebut nama saya. Dari situlah saya tahu, bapak itu bernama Wiskam, usianya 60 tahun lebih.

Rozi masih belum datang juga. Bisa jadi keliru shelter dia, seperti dugaan Pak Wiskam.

Melihat penampakan lahiriahnya yang cukup sepuh, saya ujug-ujug bertanya, “Bapak sudah sepuh, tapi kelihatan masih semangat kerja seperti ini, pak?”

“Ya, hidup itu yang penting keluar keringat. Kalau setiap hari bisa keluar keringat, kita gak gampang sakit. Dengan bekerja kita tetap sehat,” jawabnya penuh keyakinan.

Tak lama kemudian, hp saya berbunyi. Rupanya Rozi memang menjemput di shelter yang disebut Pak Wiskam. Dan, yang menghubungi saya bukan Rozi, melainkan calon istrinya, karena dia tidak membawa hp saat menjemput.

Hampir satu jam saya menunggu, akhirnya Rozi tiba juga menjemput saya di Janti. Kata Rozi, dia balik lagi dulu ke rumah kontrakannya sebab saya tidak muncul-muncu, lantas dia dikasih tahu calon istrinya bahwa saya di shelter yang lain. Saya pun jadi berkunjung ke rumah kontrakannya.

Sebelum beranjak, tidak lupa saya pamit kepada Pak Wiskam dan minta foto bersama. Saya akan selalu terkenang akan percakapan dengannya. Percakapan yang sangat berharga untuk direnungkan. Semoga juga bermanfaat bagi teman-teman pembaca.[]

Post tags:

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

Comments
  • Setelah kutipan langsung, wajib koma jangan titik! “Wah, kenapa gak pindah ke sini. Kalau sudah bersama itu, hidup senang.” Tanggapnya. Seharusnya, “Wah, kenapa gak pindah ke sini. Kalau sudah bersama itu, hidup senang,” tanggapnya.

    14 November 2014
    • Siap, om. Terima kasih atas koreksinya 🙂

      15 November 2014

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register