Namaku Alam: Peran Sejarah dan Potret Pendidikan Kita
Setidaknya ada dua hal yang terasa dominan setelah membaca novel Namaku Alam (KPG, 2022) karya Leila S. Chudori. Pertama, bagaimana keluarga tahanan politik PKI menjalani hidup di bawah represi Orde Baru dari tahun 1965-1980an, lebih khusus mengudar apa yang teringat dan bergulat pada diri anak-anak mereka. Kedua, soal kritik pada dunia sekolah dan sistem pendidikan yang mestinya aman dan adil bagi siswa belajar dan mengembangkan dirinya, bebas dari stigma, tidak diskriminatif, dan mewujudkan ekosistem ruang yang kritis dan membangun karakter.
Dua soal besar itu tergambar dalam novel setebal 424 halaman yang terbagi dua bagian bertema warna: Kuning Jingga dan Merah Kesumba. Dua corak warna ini cukup menggambarkan impresi suasana peristiwa yang diceritakan. Warna memang selalu punya tafsir terbuka, tetapi kanvas kosong pembaca itu seolah dengan tepat telah diberi warna dan peristiwa yang bergerak di dalamnya terasa saling menguatkan.
Pasca Gerakan 30 September (Gestapu) PKI meletus di Jakarta tahun ‘65, banyak orang yang dikenal aktif di Partai Komunis Indonesia ditangkap dan hilang tanpa pengadilan yang jelas. Peristiwa kemanusiaan terburuk sepanjang sejarah politik Indonesia modern itu juga menimpa keluarga Alam. Novel ini semacam arsip ingatan Alam mengingat segala yang terjadi pada hidupnya sebagai keluarga tahanan politik yang seumur hidup menjalani stigma negatif dan keterbatasan.
Dalam novel berlatar masalah konflik kekerasan tahun 65 ini, Leila membawa kita pada ruang lingkup yang sederhana, ruang hidup seorang anak remaja. Digambarkan kekerasan struktural yang dilakukan Orde Baru saat itu memang benar-benar merusak hajat hidup keluarga tapol, termasuk hidup remaja di masa pencarian identitas mereka. Tekanan represif masuk ke ruang-ruang tumbuh mereka, bahkan bilik ruang keluarga yang mestinya aman bagi mereka. Ruang hidup Alam seputar keluarga, lingkungan teman/remaja seusianya, dan sekolah SMA-nya.
Hal menarik lainnya, setiap bab novel (meski tidak semua) diberi judul nama-nama tokoh seperti Umayani, Bimo Nugroho, Bening Bulan, Dara Ariana, dll. Selainnya berupa nama sekolah Putra Nusa, Keluarga Sastowodjojo, dan Para Pencatat Sejarah. Judul-judul bab ini seperti catatan khusus dalam ingatan tokoh utama ketika bercerita pada pembaca. Nama orang, tempat dan kelompok ini punya peran kuat bagi tumbuhnya cara berpikir tokoh utama sehingga kemudian membangun dramatik penting keseluruhan cerita.
Masih perihal awalan bab novel ini, Leila juga memberi kutipan lirik lagu, puisi, dan kutipan menarik di bawah judul bab, semacam pembuka yang menggiring pembaca pada nuansa kisah yang hendak disampaikan. Lagu tentu memiliki suasana sekaligus pesan sehingga irisannya saling menguatkan peristiwa di dalam cerita semacam film dengan suatu latar musik. Mungkin juga lagu itu bisa diputar pembaca berulang-ulang saat membaca bab tersebut. Adapun kutipan dan puisi yang dihadirkan seperti simpulan pikiran atau persoalan yang mengikat tiap momen peristiwa di dalam bab novel tersebut.
Segara Alam dan Keluarganya
Novel ini memiliki prolog yang cukup singkat, bergaris miring seolah monolog atau surat, tentang sebuah eksekusi mati pada ayah si pencerita pada tahun 1970. Penggambarannya cukup dramatis dan puitis, dan ingatan saya langsung melambung pada eksekusi mati seorang pemberontak yang getir. Melihat titimangsanya, pasti berkaitan dengan pemberontakan PKI tahun 1965. Tetapi diksi “burung nasar” itu cukup menahan asumsi saya. Berkali-kali saya pastikan, apakah ada burung semacam itu di negeri ini? Di manakah sebenarnya latar sosial novel ini? Barulah pada bab-bab berikutnya saya tahu burung nasar itu hanya citra mimpi/bayangan tokoh utama belaka. Prolog novel ini setidaknya berusaha merangkum novel ini dalam beberapa kata kunci, seperti hubungan anak dengan ayahnya (keluarganya), tentara (struktur negara), dan kegelisahan (mimpi).
Namanya Segara Alam. Ketika peristiwa 65 meletus dia masih berumur 3 bulan. Ketika tentara menggeledah dan mencari ayahnya ke rumah dan menodongkan sepucuk pistol ke arahnya dia masih berumur 3 tahun. Kemampuan photographic memory yang dimiliki Alam membuatnya bisa menggambarkan peristiwa itu dengan jelas. Alam menulisnya menjadi tulisan komposisi berjudul “Pertemuan dengan Kelam” yang dibacakan di depan teman-teman sekolah barunya. Setelah berbagi pengalaman paling buruk di depan kelas, teman-teman Alam terdiam, mereka rupanya punya teman baru dengan cerita hidup yang sangat kelam.
Alam punya teman Bimo Nugroho. Ayah mereka sama-sama simpatisan PKI dan telah meninggalkan mereka sejak mereka masih bayi. Bedanya, ayah Bimo masih hidup dan tidak bisa pulang karena eksil di luar negeri, sementara ayah Alam sudah wafat dieksekusi tentara. Keduanya tak pernah tahu wajah ayah mereka dan karena kesamaan latar belakang ini mereka berteman dan saling mendukung satu sama lain. Dua remaja ini menjadi kontras tokoh yang mewarnai gerak peristiwa dari awal sampai akhir novel ini.
Bagian Kuning Jingga sebenarnya adalah bagian tentang siapa itu Alam dan bagaimana keluarganya tumbuh. Pada bagian ini kita bisa merasakan bagaimana anak sekecil itu berada dalam situasi yang serba tidak mengenakan dan penuh tekanan. Beruntung, Alam dibesarkan oleh ibu yang bertanggung jawab dan dua kakak perempuan yang berkarakter. Kakaknya punya minat serius terhadap sastra dan musik. Meski keseriusan kedua kakaknya itu memiliki corak yang berlainan tema. Misalnya Yu Kenanga lebih suka yang vintage dan rock keras, sementara Yu Bulan lebih suka sesuatu yang pop dan glam rock yang enerjik. Kedunya menjadi khazanah yang membesarkan sikap kritis dan wawasan Alam. Sejumlah judul buku, musik, film, yang diceritakan membesarkan sikap kritis Alam. Menariknya, Leila mengurai bacaan Alam seperti siasat mengenalkan bacaan penting pada pembaca, disertai alasan kenapa judul-judul itu menarik diapresiasi.
Kita akan mendengar Alam menceritakan memorinya tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya membentuk pribadinya. Perhatian Alam pada Bimo kerap menjadi motif peristiwa cerita bergerak dan memuncak. Mungkin karena ini sebuah kisah dalam sudut pandang anak SMA, sehingga perhatian Alam hanya sekitar hidup keluarganya, teman baiknya, dan keadaan sekolahnya. Konfliknya pun seputar geng anak sekolah dan saudara sepupunya yang sering merundung dia.
Dalam novel berlatar masalah konflik kekerasan tahun 65 ini, Leila membawa kita pada ruang lingkup yang sederhana, ruang hidup seorang anak remaja. Tetapi kekerasan struktural yang dilakukan Orde Baru saat itu memang benar-benar merusak hajat hidup keluarga tapol, termasuk hidup remaja seperti Alam dan Bimo di masa pencarian identitas mereka. Tekanan represif masuk ke ruang-ruang tumbuh mereka, bahkan bilik ruang keluarga yang mestinya aman bagi mereka.
Alam misal memiliki musuh sejak kecil yang tak lain adalah sepupunya sendiri bernama Irwan. Irwan yang anak tentara ini mencibirnya sejak kecil, tapi persaingan diantara keduanya tidak terjadi karena wawasan mereka terhadap PKI begitu dalam, dalam batin mereka sebagai anak, konflik ini hanya ihwal cemburu karena lingkungan keluarga selalu membanding-bandingkan mereka. Ini satu portet yang menarik tentang bagaimana lingkungan sosial rupanya bisa menjadi sistem dukung, sekaligus ruang tumbuhnya konflik.
Sepanjang novel kita akan dibawa pada latar kehidupan Jakarta tahun 80-an dengan segala atribusi kulturnya yang digambarkan secara terperinci. Seperti berupaya menggambarkan sosiologi tahun 70-80 secara mendetil. Terutama tentang apa saja alam pikir dan minat anak SMA zaman itu. Untuk menunjukkan waktu misalnya, Leila sampai menulis nama pembawa berita di TVRI secara lengkap beserta kebiasaan mendengarkannya sebagai penunjuk waktu, seolah saat itu ada ingatan kolektif yang kuat terhadap waktu hanya dari suara pembaca berita terdengar di dalam rumah. Membaca uraiannya kita seperti dibawa pada semesta zaman yang lengkap dan layak disusuri.
Masalah lain yang tak kalah penting dalam bagian Kuning Jingga ini adalah bagaimana hubungan Alam dan Bimo menghadapi dunia mereka. Seperti disebut di awal, Alam dan Bimo serupa Aidit dan Njoto secara tampilan luar seolah modifikasi dari dua tokoh besar PKI itu. Alam yang cerdas, berani, dan tempramental, sementara Bimo berbakat dalam urusan seni, pendiam, dan cenderung lemah secara fisik. Dari mulai konflik Bimo mendapat ayah baru (seorang tentara) yang abusive sampai puncaknya perundungan teman sekolahnya yang tak lain adalah anak orang kaya terhormat dan berkuasa, seperti potret kecil bagaimana minoritas tidak berdaya, kutu politik, berjuang melawan itu semua. Akhir perlawanan pada bagian ini terasa seperti kisah Minke ketika Nyai Ontosoroh mengatakan meski mereka kalah, mereka telah melawan sehormat-hormatnya.
Sejarah & Sekolah yang Ideal
Novel ini seperti sebuah kisah yang berlapis-lapis dengan pengaluran yang maju mundur. Bagian pertama novel ini seperti sebuah latar keadaan, betapa sulitnya hidup keluarga tahanan politik saat Orde Baru. Bagaimana kekuasaan dalam hal ini militer bisa begitu sewenang-wenang memperlakukan istri yang bapaknya telah mereka bunuh, menyiksa keluarga mereka hanya untuk menelusuri keberadaan para simpatisa PKI yang nyatanya dalam kondisi tidak berkuasa. Manusia diberangus, bahkan ilmu pengetahuan tentang komunisme juga diberangus sampai ke akar-akarnya. Dalam hal ini buku, dan lebih luas lagi sistem pengajaran.
Ada fase Alam dan Bimo kalah di ruang pengajaran yang tidak melindungi dan begitu diskriminatif terhadap mereka. Tetapi sebagian cerita lainnya yang Leila S. Chudori namai sebagai bagian Merah Kesumba adalah fase lain yang serupa surga dan sempat singgah dalam kehidupan mereka. Fase itu adalah ketika mereka bersekolah di Putra Nusa.
Putra Nusa bisa diibayangkan sebagai sekolah yang ideal dan sangat serius menerapkan paradigma pendidikan yang inklusif dan progresif. Didirikan oleh orang-orang yang saat itu cukup kritis juga menyikapi beragam kebijakan Orde Baru terutama dalam hal pendidikan. Keseriusan sekolah ini benar-benar dijelaskan secara khusus dalam novel ini. Bagaimana Putra Nusa menjadi ruang aman bagi siapa saja (inklusif) dan membangun siswa yang kritis dan berkarakter. Bahkan pendidikan demokrasi hadir di sekolah ini dengan diadakannya musyawarah rutin di auditorium untuk membicarakan masalah-masalah di sekolah itu bersama-sama.
Kurikulumnya juga menarik. Mereka tidak saja mengenyam kurikulum formal, tetapi juga menambahkan beberapa pengetahuan penting lainnya seperti antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan sastra (Indonesia & Dunia). Paradigma pengajarannya pun tidak didaktik dan teoretis. Siswa mendapat kesempatan banyak untuk belajar mandiri dan menumbuhkan inisiatifnya melakukan aktivitas pembelajaran nyata di masyarakat.
Bagi Alam dan Bimo, sekolah ini seperti ruang yang bertabur harapan, Indonesia rupanya tidak terlalu buruk, dan masa depan mereka sepertinya bisa hidup dari sana. Meski Alam masih sangsi, baginya sebuah sistem, bagaimanapun dihuni sekumpulan manusia yang marjin errornya tetap ada. Tantangan dari keberagaman adalah konfrontasi perbedaan. Meski sekolah telah melakukan seleksi yang menarik sehingga tahu dasar potensi dan visi terdalam siswanya untuk meminimalisir orang-orang bertindak diskriminatif. Tetapi kadang yang tertulis tidak seperti yang terjadi. Tes itu hanya bisa berdialog dengan mereka tapi mungkin saja ada yang memilih berbohong menghadapinya. Tapi, bukankah itu fungsi pendidikan? Mendidik! Dan dalam upaya itu, Putra Nusa cukup konsisten dan serius sehingga tampak upaya membangun ruang belajar yang menunjukkan visi dan misi yang mereka harapkan.
Misal, sekolah ini memberi ruang pada kebebasan berpendapat dan perdebatan, mengharapkan siswa bicara dan kalau perlu berdebat dengan aktif untuk mengurai masalah-masalah yang ada. Alam sampai melihat semua siswa di sekolah tersebut cerdas karena mereka mendapat tempat untuk kritis dan selalu bertanya. Selain itu ruang bertindak dan mewujudkan keinginannya pun difasilitasi. Sehingga siswa bukan mendapat ruang inisiatif, tetapi juga ruang dukung untuk mewujudkannya. Pembelajaran, sejatinya adalah proses berpikir dan berpraktik. Ruang praktik ini tidak Alam dapat di sekolahnya yang lama.
Perhatian Leila S. Chudori pada sejarah jelas menjadi marka khusus di dalam novel ini. Novel ini sudah dengan secara tendensius membuka masalahnya dengan pengajaran sejarah seorang guru asyik bernama Umayani. Dia bertanya, “Mengapa kita jarang percaya pada sejarah?” Pertanyaan itu jelas menampar sejarah Indonesia terutama sejak Orde Baru melakukan dokumentasi dan diplomasi sejarah yang tidak adil pada masyarakatnya. Ketika negara membuat versi sejarah yang memperpanjang siksa kelompok yang diposisikan salah. Alam dan Bimo mendengar pertanyaan gurunya itu seperti pintu untuk mereka keluar dari masalah sosial yang menimpa mereka dan keluarganya selama ini.
Sebab dari pengetahuan yang berbeda, mestinya paradigma bergerak atau berubah. Pendidikan sejarah dan ilmu-ilmu lain di Indonesia mestinya menjadi delik pertama yang mesti dibereskan. Di dalam Novel ini, Alam dan kawan-kawannya berusaha untuk mengoptimalkan ruang akademis sebagai upaya untuk melengkapi sejarah yang tidak mereka pahami, melengkapi sejarah tentang siapa ayahnya, sekaligus menambah entri sejarah alternatif yang jelas tidak bisa hidup di zaman itu (sekarang juga?). Kelompok mereka disebut sebagai Para Pencatat Sejarah, sebuah ekstrakulikuler yang mulanya tidak ada yang berminat, tetapi akhirnya berhasil Alam besarkan.
Tetapi kekhawatiran Alam masih terjadi. Ruang aman itu tidak bisa sekadar sekolahnya saja. Ruang di luar sekolah, tetap menjadi sistem keras yang sulit mereka terobos bahkan terus menekan mereka. Potret ini ada di akhir cerita, ketika Irwan sepupunya yang merupakan siswa sekolah lain, memengaruhi beberapa siswa Putra Nusa untuk bertindak diskriminatif dan membuatnya kembali terpuruk. Tetapi di sini kita bisa lihat, bagaimana cinta berhadapan dengan kuasa, dan bagaimana orang yang begitu tempramental seperti Alam, bisa tumbuh menjadi pribadi yang tegar dan lebih dewasa.
Perubahan gejolak anak muda, antara pengetahuan, pergaualan, dan nasib/identitas bawaan dirinya sebagai manusia menjadi hal penting yang berjalin dalam novel Namaku Alam bagian pertama ini. Sebagai spin off dari novel Pulang (2012), novel ini kiranya menambah khazanah novel mengenai 65 di Indonesia, dimana Leila dengan sangat detil dan halus menggambarkan kehidupan kecil sebuah keuarga tapol, dan ruang pikiran serta batin anak remaja di keluarga tersebut.
Tempo yang lambat seolah tanpa konflik yang bombastis itu, seperti tangga yang perlu disusuri dengan sabar sehingga kita bisa masuk lebih dalam pada lapisan-lapisan kompleksitas tokoh di dalamnya. Leila mampu menunjukkan lapis ingatan, pikiran, harapan, dan perilaku tokoh secara lengkap, meski lambat kita tetap merasa layak menyimaknya. Sebuah pengalaman membaca ingatan tokoh Alam yang menarik. Antara getir, miris, sampai kegembiraan dan romansa sederhana yang membuat kita terharu membacanya. Hal sederhana mengenai kasus pasca 65 ini jarang kita temui, dan novel ini memberi gambaran yang komprehensif terkait itu.
Selain itu, novel ini juga novel menambah bacaan remaja yang penting kaitannya dengan bagaimana menumbuhkan inisiatif dalam mencari pengetahuan, dan bersikap adil (meminjam Pram) sejak dalam pikiran dan perbuatan. Novel ini layak menjadi bacaan remaja di sekolah, selain menunjukkan bagaimana politik bisa memelintir sejarah dan mengorbankan masyarakatnya yang terus bertikai karena narasi yang ditinggalkannya, juga dapat menjadi ruang bagi seorang remaja mengenal dirinya, keluarganya, dan bagaimana menyikapi pencarian identitasnya, mengoptimasi ilmu dan pertemanan, untuk menghadapi hal-hal sulit mereka.
Namaku Alam
Judul ini, serupa statement terhadap sejarah. Dimana kita jarang melakukan upaya penelusuran tentang siapa diri kita, orang tua kita, bagaimana sejarah di masa lalu keluarga kita menjadi pelajaran dan membentuk sikap, lebih jauh lagi perubahan yang lebih baik. Alam mencatat dan mengenalkan dirinya sendiri pada teman dan lingkungannya. Alam menelusuri lagi apa yang tak tercatat atau apa yang tidak adil bagi sejarah keluarganya. Upaya mikro ini rupanya bukan hanya membantu penyelesaian sejarah modern Indonesia yang tidak adil, lebih dari itu membentuk identitas seseorang, membentuk misalnya Alam yang tempramental dan tidak menerima kondisi dirinya, menjadi dewasa dan berani hidup menghadapi stigma dengan dewasa.
Leila S. Chudori memberi judul novel ini dengan satu perkenalan singkat, Namaku Alam. Kemudian setelah membaca novel ini kita jadi bertanya, nama kita siapa? Kita dari mana dan apa semua masalah yang menimpa kita sekarang berkaitan dengan sejarah masa lalu kita yang kabur dan tak adil juga? Lantas dari mana kita mesti mulai mengurainya?
Mereka yang tidak mengingat masa lalu, dikutuk untuk mengulanginya (George Santayana)