
“Menolak Tunduk”: Upaya Mengingat dan Mewariskan Gagasan
Apa yang Anda pikirkan saat menjumpai aksi buruh di depan gedung pemerintahan? Sekali waktu saya pernah bertanya iseng pada beberapa teman di kampus. Jawabannya cukup beragam. Ada yang merasa berempati dan berharap tuntutan buruh dikabulkan oleh penguasa. Ada pula yang merasa jengkel karena harus memutar arah demi menghindari kemacetan.
Bahkan, tak jarang ada yang berkomentar nyinyir seperti, “Sudah beruntung bisa bekerja. Cari kerja kan nggak gampang.” Atau coba saja buka sosial media saat jalanan macet akibat aksi buruh yang tumpah ruah ke jalan raya. Respons negatif lebih mudah dijumpai ketimbang dukungan terhadap tuntutan para buruh.
Hal tersebut bisa dimaklumi jika meninjau jauhnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap kondisi buruh. Bahkan lema buruh sendiri pernah hilang di Indonesia selama era orde Pak Harto. Sebabnya tak lain bahwa lema buruh sering diasosiasikan dengan organisasi buruh sayap Partai Komunis Indonesia. Sehingga masyarakat—termasuk kaum pekerja sendiri—lebih senang menggunakan istilah karyawan daripada buruh.
Pekan Literasi Kebangsaan pada hari Minggu (4/12/16) menyelenggarakan diskusi dan peluncuran buku Menolak Tunduk jilid 2 (2016). Maria Ulfa ditunjuk menjadi moderator bersama Adi Marsela (Aliansi Jurnalis Independen) dan Herry Sutrisna atau yang karib disapa Ucok Homicide sebagai penanggap. Hadir pula salah dua penulis buku ini, Herry Sofyan dan Tinah.
Buku ini disusun secara kolektif oleh tiga belas buruh. Buku ini juga sekaligus output atas pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS).
Tinah mengungkapkan bahwa latar belakang penulisan buku ini tak lain adalah harapan adanya pedoman dan pegangan untuk kaum buruh di masa yang akan datang. Bahwa selama ini, segala persoalan buruh selalu ditulis oleh kalangan di luar buruh seperti akademisi atau penguasa yang tak jarang digunakan sebagai pedoman untuk melemahkan posisi kaum buruh. Di buku ini, Tinah menuliskan cerita perjalanan hidupnya sebagai buruh dari yang mulanya anti organisasi buruh sampai keterlibatannya dalam organisasi buruh.
Herry Sofyan menambahkan bahwa, “menulis adalah upaya untuk mengingat kembal.” Hal ini ditengarai kehidupan di pabrik tak memungkinkan seorang buruh untuk terampil ihwal menulis. Lebih jauh, pria yang lahir dan besar di Aceh Utara ini menerangkan sistem kerja pabrik banyak memenjarakan kinerja otak dan pikiran. Apalagi ditambah keletihan bekerja delapan jam sehari plus jam lembur. Maka, menulis adalah upaya untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Dengan standar upah buruh yang tak sejalan dengan harga kebutuhan pokok, buruh acap kali terpaksa untuk lembur. Hal ini berimplikasi pada sulitnya buruh untuk berinteraksi baik sesama buruh maupun dengan masyarakat yang lebih luas. Hadirnya serikat buruh bukan sekadar menjadi kendaraan perjuangan untuk merebut hak atas kesejahteraan, juga bisa dijadikan wadah untuk berinteraksi dalam bertukar cerita dan gagasan.
Maka harapan bahwa buku ini dapat menjadi pedoman bagi generasi buruh di masa yang akan datang tidaklah muluk-muluk. Seperti yang diungkapkan Adi Marsela bahwa buku ini sangat penting untuk dibaca oleh kalangan buruh. Sebab tak sedikit buruh yang masih kurang paham akan hak-haknya. Semisal transparansi upah yang didapat buruh dan regulasi hukum tentang perburuhan. “Jangankan buruh, jurnalis yang nggak mau disebut buruh padahal mereka juga buruh masih banyak yang nggak ngerti pedoman dan etika jurnalistik,” kelakarnya.
Lebih jauh lagi, Adi berharap kelak akan lahir tulisan-tulisan buruh yang dapat dipublikasikan di media mainstream. Tujuannya, agar masyarakat luas lebih terbuka dalam melihat kondisi dan realita buruh.
Sejalan dengan hal itu, Herry alias Ucok menanggapi bahwa buku ini harus juga menjadi bacaan bagi kalangan di luar buruh. Terutama untuk membuka wawasan masyarakat lebih luas tentang kehidupan buruh di tengah kondisi yang tak memihak kaum buruh. Setidaknya dapat menjawab pernyataan nyinyir kelas menengah terhadap aksi-aksi buruh.
Selebihnya buku ini barangkali akan banyak menginspirasi baik untuk buruh maupun masyarakat lebih luas untuk berbagi gagasan dan ceritanya dalam tulisan. Dengan memanfaatkan komunikasi teknologi komunikasi dan informasi seharusnya juga membawa semangat dan geliat untuk menulis. Setidaknya dapat menjadi wahana untuk berbagi cerita dan gagasan. Lebih jauh lagi menulis dijadikan alat alternatif untuk melawan ketidakadilan.[]