Fb. In. Tw.

Dari Paspor Kuning hingga Nyala Api, Dari Paradoks Eksistensial ke Refleksi Universal

Kedalaman refleksi terhadap tema-tema besar kehidupan manusia memantik ketertarikan saya untuk menghayati sebuah buku puisi karya penyair perempuan Bali. Melalui judulnya saja, Nyawa, Tinggallah Sejenak Lebih Lama, Pranita Dewi memberikan kesan pertama yang kuat dari pencarian makna dan perenungan yang ditawarkan. Apakah puisi-puisinya dapat tinggal lebih lama juga di kepala kita?

 

Pranita membawa pembaca menjelajahi berbagai kontradiksi yang membentuk pengalaman hidup: kebebasan dan keterikatan, kehidupan dan kematian, maupun eksistensi manusia. Melalui puisi-puisinya seperti “Orang Rantai”, “Ngaben”, dan puisi yang menjadi tajuk buku ini, Nyawa, Tinggallah Sejenak Lebih Lama, Pranita memperlihatkan kelihaiannya sebagai penyair yang mampu menangkap kompleksitas emosi dan perenungan dengan gaya bahasa yang meditatif, lembut, penuh repetisi, dan ritmis.

 

Mari kita mulai menengoknya dari sajak “Orang Rantai”. Di salah satu baitnya, Pranita menulis: Kini di hari pembebasanku/ mesti kutanggung kutuk paspor kuning — tiket satu arah/ ke pulau paling terpencil/ di samudra manusia yang gemuruh./. Puisi ini mengangkat paradoks kebebasan. Keterlepasan dari belenggu fisik tidak selalu membawa kebebasan jiwa. Apalagi puisi ini dibuka dengan baris: “Aku lepas, tetapi juga tak bebas,” menyeret pembaca langsung ke dalam persoalan eksistensial yang menggugah. Kebebasan fisik aku-puisi tidak serta-merta membebaskan jiwanya dari trauma, rasa sakit, dan reputasi buruk yang terus melekat.

 

Tak hanya menawarkan pengalaman ambiguitas nilai, Pranita menawarkan interteks yang tajam. Kehadiran tokoh M. Valjean dalam puisi “Orang Rantai” bukanlah sekadar rujukan superfisial pada novel klasik Les Misérables karya Victor Hugo. Sebagai mantan narapidana yang diburu oleh hukum dan masyarakat, Valjean adalah personifikasi keterikatan meskipun kebebasan fisik telah diraihnya. Dalam puisi Pranita, ia menjadi simbol dari manusia yang, meski telah terlepas dari ikatan rantai, tetap terikat pada masa lalunya: rasa bersalah dan perjuangan untuk menerima diri sendiri.

 

Simbol “paspor kuning” dalam puisi ini merujuk pada dokumen wajib bagi para mantan narapidana seperti Valjean, sebuah penanda sosial yang membuat mereka terisolasi dari masyarakat. Alegori ini, dalam konteks modern, bisa dilihat sebagai kritik terhadap stigma yang masih menghantui individu tertentu, bahkan setelah ia dianggap bebas. Pranita mencerminkan ketidakadilan ini dengan indah dan getir melalui frasa seperti: Ah. Kurasakan siksaan pertama bagi seorang merdeka:/ Peluru-peluru putih musim dingin yang mendesing,/ mendesau, mengamuk padaku dan membugili semua pepohonan.

Kekuatan puisi ini terletak pada kemampuannya mengolah metafora menjadi pengalaman yang visceral. Ketika Pranita menulis: “Aku tak akan pernah/ Mengerti tentang selimut dan pediangan: hanya dingin, dan gigil—gigil senantiasa, pembaca tidak sekadar membaca tentang dingin, tetapi merasakan alienasi yang menusuk hingga ke tulang. Dingin di sini menjadi lebih dari sekadar kondisi fisik; ia adalah manifestasi dari keterasingan sosial yang mencekam.

 

Pranita juga menggunakan simbol rantai sebagai dualitas: di satu sisi, rantai mencerminkan keterikatan yang nyata; di sisi lain, ia menjadi alat introspeksi. Saat rantai itu lepas, aku-puisi mendapati dirinya tetap terbelenggu oleh luka batin dan ketakutan yang tidak terlihat. Dengan menggambarkan Valjean dan “orang rantai” lainnya, puisi ini menyampaikan pesan universal: kebebasan sejati hanya bisa diraih jika kita mampu melepaskan penilaian dan kenangan pahit yang membelenggu jiwa.

 

Memaknai Ulang Spiritualitas Tradisi
Berbeda dengan “Orang Rantai” yang fokus pada kebebasan individu, “Ngaben” membawa pembaca ke ranah spiritualitas dan tradisi. Pada puisi ini, Pranita tidak terjebak pada eksotisme dangkal ritual pembakaran jenazah dalam budaya Bali, melainkan memberikan lapisan interpretasi yang lebih luas dan filosofis.

 

Ia membuka dengan larik: “Hanya ada nyala, nyala, dan nyala,” yang menyiratkan api sebagai simbol transisi, bukan sekadar elemen fisik dalam ritual. Api di sini menjadi metafora kehidupan yang perlahan memudar, sekaligus energi yang mengantarkan ke dimensi baru. Dengan suasana senja yang karam perlahan, pembaca diajak merenungi kefanaan hidup, mengakui bahwa akhir adalah bagian tak terhindarkan dari siklus semesta.

 

Larik seperti, “Kini kubiarkan jasadku bermukim di semesta,/ dan kutinggalkan semua, wahai kalian kawan/ seperjalanan,” menghadirkan ketenangan dan kepasrahan dalam menghadapi kematian. Kematian tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan, tetapi sebagai gerbang menuju keberadaan yang lebih luas dan abadi. Dalam bingkai tradisi ngaben, tubuh fisik dipandang sebagai sesuatu yang sementara—pinjaman dari alam yang akhirnya dikembalikan kepada asalnya.

 

Kehadiran larik seperti “terberkatilah semua yang dikira orang mati” juga membuka interpretasi yang ambigu, tetapi menggugah. Kata “terberkatilah” mengimplikasikan bahwa kematian membawa anugerah yang justru sering luput dipahami oleh mereka yang masih hidup. Sosok “mayat yang terbahak” adalah citra paradoks yang kuat, menggambarkan kelegaan dan kebebasan saat terlepas dari belenggu duniawi. Bahkan tulang-belulang yang compang-camping diberi suara, seolah menjadi saksi atas perjalanan menuju kehampaan yang justru penuh makna.

 

Dengan gaya bahasa yang meditatif, puisi ini membawa pembaca pada suasana yang reflektif, hampir seperti melodi senja yang mengalun pelan-pelan ke dalam malam. Keindahan metafora dan ritme yang lembut mengiringi pembaca untuk merenungkan bukan hanya kematian fisik, tetapi juga berbagai kematian lain: ego, ambisi, dan keterikatan yang kerap membelenggu. Dengan demikian, Pranita berhasil mengangkat tema ngaben dari sekadar ritual budaya menjadi ruang kontemplasi yang universal.

 

Membingkai Fana Manusia
Sementara “Orang Rantai” berbicara tentang paradoks kebebasan, dan “Ngaben” menyelami spiritualitas dalam kematian, “Nyawa, Tinggallah Sejenak Lebih Lama” mengeksplorasi kefanaan manusia di tengah dinamika kehidupan modern. Puisi ini dibuka dengan baris: Aku berjalan di kota yang berubah/ lebih cepat daripada hati manusia./ Aku sering mencium lagu di tiap tikungan,/ tersandung oleh kata-kata di trotoar, menghadirkan kerinduan akan keheningan di tengah perubahan yang terus-menerus. Kota dalam puisi ini menjadi metafora bagi kontradiksi kehidupan modern—kecepatan yang merenggut kedamaian, serta modernitas yang menciptakan kehampaan spiritual.

 

Pranita juga menggunakan simbol seperti “terompet kesunyian” untuk menyampaikan kekosongan eksistensial yang menyelimuti kehidupan urban. Imaji “tikungan dan trotoar” mencerminkan dinamika kota yang tak pernah diam, menyaksikan sejarah spiritual yang lambat laun terkikis. Kehadiran simbol-simbol seperti “wangi dupa” dan “patung dewa” dalam puisi ini juga memperkuat ironi modernitas: di tengah hiruk-pikuk, sakralitas menjadi kehilangan maknanya, meninggalkan manusia dalam keterasingan.

 

Tema kegelisahan dalam puisi ini meluas menjadi refleksi universal. Melalui baris: “pembunuh yang, bagaikan seorang raja,/ tanpa pelayan dan mahkota,” Pranita menggambarkan manusia modern sebagai sosok yang memiliki kuasa besar, namun kehilangan arah dan tujuan. Kontradiksi ini menjadi pusat kekuatan puisi, menyajikan dualitas antara kebesaran dan kehampaan yang dirasakan manusia.

 

Pada bagian akhir, puisi ini mengarahkan pembaca pada perenungan tentang kematian. Permohonan: “O nyawa, tinggallah sejenak lebih lama,” menggugah pertanyaan yang mendalam, apakah waktu yang lebih panjang cukup untuk menemukan jawaban, ataukah sekadar ruang untuk memahami kehidupan yang rapuh? Melalui puisi ini, Pranita menawarkan refleksi tentang kefanaan dan kehampaan dalam modernitas, sekaligus pengingat akan pentingnya menemukan makna di tengah perubahan yang tak terhindarkan.

 

Kekuatan utama puisi Pranita Dewi terletak pada kemampuan metaforis dan kehadiran narasinya yang utuh. Setidaknya dalam tiga puisi ini, ia tidak hanya menampilkan gagasan, tetapi juga membangun suasana. Imajinasi visual yang ia hadirkan—dari peluru putih musim dingin hingga nyala api yang karam perlahan—menggugah indra pembaca sekaligus mengundang refleksi.

 

Selain itu, ia cermat dalam menggunakan simbol. Paspor kuning, nyala api, dan  wangi dupa bukan hanya sekadar elemen deskriptif, tetapi juga menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang tema kebebasan, eksistensi, dan kematian. Gaya bahasanya yang lembut, penuh repetisi, dan ritmis membuat puisi-puisinya terasa seperti mantra yang terus menggema di benak pembaca.

 

Meskipun kekuatan Pranita Dewi terletak pada kedalamannya dalam menggali tema-tema-tema besar dalam kehidupan manusia, gaya bahasanya yang meditatif dan penuh metafora mungkin menjadi tantangan bagi sebagian pembaca. Kepadatan simbol dan abstraksi dalam puisinya, seperti dalam “Orang Rantai” atau “Ngaben,” berisiko menciptakan jarak emosional, terutama bagi pembaca yang kurang akrab dengan konteks simbolis yang ia gunakan.

 

Selain itu, meskipun kekayaan emosi dan refleksi yang ditawarkan sangat memikat, ada kecenderungan karyanya ini menghindari resolusi atau jawaban konkret. Pendekatan ini, meskipun memperkaya pengalaman membaca bagi mereka yang menikmati perenungan tanpa akhir, mungkin meninggalkan kesan frustrasi pada pembaca yang menginginkan ide yang lebih tegas dan langsung. Jika mengingikan puisinya dapat tinggal lebih lama di spektrum pembaca yang lebih luas, Pranita perlu menyeimbangkan antara estetika meditatif dan aksesibilitas ide yang lugas.

 

 

 

Data Buku
Judul               : Nyawa, Tinggallah Sejenak Lebih Lama
Penulis            : Pranita Dewi
Penerbit           : Penerbit JBS
Cetakan           : Cetakan Pertama, Mei 2024
Tebal               : 87 Halaman
ISBN               : 978-623-7904-88-5

KOMENTAR

Lahir di Probolinggo, 12 Desember 1991, dan memulai proses kreatifnya di Bali dalam pergaulan sastra di Jatijagat Kampung Puisi. Kini ia menetap di Surabaya. Buku terbarunya yang akan terbit: Setelah Deru Paku dan Palu (Kumpulan Puisi).

You don't have permission to register