Fb. In. Tw.

Cinderamata Perjalanan Riki Dhamparan Putra

Sebagaimana cinta, tema perjalanan dapatlah dikatakan sebagai tema paling dominan dalam tradisi perpuisian kita. Kumpulan puisi yang ditulis para penyair dari angkatan Chairil Anwar hingga Acep Zamzam Noor, nyaris tak pernah sepi dari puisi-puisi perjalanan. Dan hari ini, kecenderungan demikian masih dapat kita temukan dalam kumpulan puisi terbaru penyair Riki Dhamparan Putra, Mencari Kubur Baridin.

Mencari Kubur Baridin menghimpun 55 puisi yang ditulis Riki pada rentang waktu 2004-2013. Puisi pembuka pada kumpulan ini, “Batas Rantau” (hal. 1), dapatlah dijadikan pintu masuk untuk menyelami puisi-puisi Riki lebih jauh.

Ingin kudengar darimu akhir cerita//Hingga sikilang aie bangih ombak mengombak/serupa ombak juga/Hingga durian ditekuk raja buah durian berduri juga/Di manakah ada buaya hitam dagu/Di manakah sirangkak nan tidak berdangkang?//Ingin kudengar darimu ketika pulang/

Larik Ingin kudengar darimu ketika pulang menegaskan posisi Riki sebagai seorang petualang. Puisi-puisi berikutnya seperti “Tiang-tiang” (hal. 2), “1 Muharam di Masjid Agung Kasepuhan” (hal. 14), “Aku di Jogja” (hal. 19), “Tetap Kecil di Batur” (hal. 29), “Dari Serambi” (hal. 41), “Di Kaki Merapi” (hal. 49), “Di Teluk Kupang” (hal. 74), “Jalan ke Tilong” (hal. 76), “Surga Matamera” (hal. 103), “Selat Solor” (hal. 115), “Tugu-tugu Kota Bau-bau” (hal. 125), “Meminang Pamakayo” (hal. 129), “Aroma Dendeng Kotoklema di Rantang Opu Sidiq” (hal. 132), dan “Mbata” (hal. 133) merupakan tanda bukti atau reportase dari setiap perjalanan fisik yang dilakukan penyair Riki.

Hanya, meski puisi-puisi tersebut di atas menjurus pada reportase, apa yang ditulis Riki tentu tidak semata reportase. Sebagai penyair, tulisan Riki dalam bentuk puisi pasti lebih banyak melibatkan intuisi ketimbang laporan panca indera. Dengan demikian, perjalanan fisik yang dicatat dan dilaporkan Riki pada pembaca, hakikatnya adalah laporan perjalanan batinnya juga.

Selain melakukan perjalanan fisik, penyair Riki pun melakukan perjalanan intelektual dengan merambahi berbagai khazanah kebudayaan. Puisi-puisi seperti “Lara Jongrang” (hal. 6), “Lahirnya Kama” (hal 12), “Kanji Asyura’” (hal 64), “Kisah-kisah di Kebun Pisang” (hal. 90), “Bagian dari Laut” (hal. 98), dan “Tuan Ma” (hal. 107) ditulis Riki secara interteks. Dengan kata lain, lewat puisi-puisi tersebut penyair Riki berupaya memberi tanggapan dan pemaknaan baru atas berbagai teks—legenda, mitos, dongeng, hingga produk kapitalisme—yang selama ini dianggap mapan tak terbantahkan.

Membaca puisi-puisi demikian, idealnya memang mesti memiliki latar belakang pengetahuan mengenai teks hipogram yang menjadi rujukan cerita. Tapi, dengan gaya tutur Riki menulis puisi, secara pribadi saya sendiri tetap dapat menikmati puisi-puisi interteksnya, tanpa terlebih dulu mengetahui cerita yang melatarinya. “Mencari Kubur Baridin dan Suratminah” (hal. 16) juga “Misal Kau Dirah” (hal. 22) dapatlah dijadikan contoh untuk menegaskan pernyataan di atas.

Tentang puisi interteks, puisi “Memasak Daging Kurban” (hal. 59) saya kira adalah puisi terbaik yang ditulis Riki dalam Mencari Kubur Baridin. Pada puisi yang cukup panjang itu, tradisi kurban, hikayat para Nabi, pandangan hidup serta sikap Riki terhadap puisi berhasil diramu sebagai sebuah sajian yang memikat. Terasa ada kenikmatan sekaligus getir-haru membaca puisi itu.

Hari ini aku membaringkan sajak-sajakku/di antara hewan kurban/Sajak-sajak manis dan sedih/Sajak-sajak yang pilih kasih./Aku menjagalnya. Dengan ridha Tuhan/aku mengembalikan darahnya/kepada rumput dan sari tumbuhan/kepada tanah dan air/kepada cahaya//kepada-Mu yang memiliki semuanya/.

Selain puisi, adakah hal yang lebih berharga untuk diberikan seorang penyair kepada Tuhannya? Dalam konteks pertanyaan semacam itu, arti puisi tidak semata salah satu produk keterampilan berbahasa. Puisi mengandung muatan religiusitas dan spiritualitas. Puisi adalah Jalan Hidup (The Way of Life).

Saat seorang penyair sampai pada kesadaran bahwa puisi adalah Jalan (atau Thariqat dalam terminologi Mistik), menulis puisi akan dilakukan penuh kesungguhan. Kesungguhan semacam itulah yang sering tampak dalam puisi-puisi Riki. Meski gaya ucap puisi-puisinya cenderung sederhana, puisi-puisi Riki memendam muatan makna yang jujur dan bertenaga. Mendapati kenyataan demikian, dibanding puisi-puisi Riki pada kumpulan pertama Percakapan Lilin (AKY Press, 2004), puisi-puisi dalam Mencari Kubur Baridin terasa lebih padat dan sublim.

Mencari Kubur Baridin ditutup oleh puisi naratif “Cerita Petang” (hal. 135), yang tampaknya sengaja disimpan di halaman terakhir sebagai epilog dari seluruh perjalanan Riki. Tau-tau sudah petang di Jakarta/Apa mau dikata/Walau sedih baiklah diterima saja//.

Ya, Mencari Kubur Baridin memang sebaiknya diterima saja. Segala kisah yang dikabarkan di dalamnya tidak hanya menyuguhkan eksotisme perjalanan, tapi pula renungan hidup atau upaya penyadaran. Itulah cinderamata yang hendak diberikan penyair Riki Dhamparan Putra pada pembaca, cinderamata berharga yang akhir-akhir ini amat jarang ditemukan dalam perkembangan perpuisian kita.[]

Judul Buku: Mencari Kubur Baridin
Penulis: Riki Dhamparan Putra
Cetakan: Pertama, September 2014
Penerbit: Akar Indonesia
Tebal: x + 137 halaman
ISBN: 978-602-71421-0-7

KOMENTAR
Post tags:

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register