Fb. In. Tw.

Berkunjung ke Kampung Leher Panjang

Ketika itu saya masih SD, entah dalam siaran Berita Malam atau Dunia Dalam Berita (program berita yang disiarkan TVRI), saya melihat sebuah liputan tentang sebuah kampung yang para perempuannya berleher panjang berkat kalung kuningan di leher mereka. Setiap tahun, menurut sang reporter, kalung kuningan di leher mereka bertambah satu.

Para perempuan di Kampung Leher Panjang yang mengenakan kalung dan gelang kaki kuningan di Kampung Leher Panjang Karen. (Foto: Zyad Rochmad Jaelani)

Para perempuan di Kampung Leher Panjang yang mengenakan kalung dan gelang kaki kuningan di Kampung Leher Panjang Karen. (Foto: Zyah Rochmad Jaelani)

Setelah dua dekade berlalu, akhirya saya mendapat kesempatan untuk  mengamati para perempuan tersebut dari dekat. Saya temui ternyata bukan hanya leher mereka yang memakai kalung/ring dari kuningan, tetapi bagian kaki mereka juga memakai gelang kaki/ring kuningan. Menurut pemandu wisata di kampung tersebut, ring tersebut dipakai guna menangkal serangan dari harimau.

Saya coba berpikir keras tentang kaitan harimau dan ring di leher dan kaki mereka. Lalu saya teringat acara Flora dan Fauna, juga masih salah satu tayangan di TVRI saat mereka jaya dulu, di mana ada satu adegan di mana singa atau harimau atau kucing “galak dan buas” sejenisnya menyerang mangsanya dengan menyerang leher atau sendi engsel mangsanya agar mangsanya bisa segera tidak berdaya. Dengan modal ingatan tersebut, sedikit banyak saya mulai melihat korelasi di antara keduanya, meski saya sendiri hanya mengandalkan intuisi.

Mari lupakan sejenak keterangan dari pemandu wisata tersebut, doakan saja saya segera melengkapi keterangan data dan informasi yang lebih sahih. Sekarang, mari fokus dulu ke lokasi di mana kampung tersebut berada.

Kampung Leher Panjang di Bukit Karen, Chiang Rai, Thailand. (Foto: Yussak Anugrah)

Kampung Leher Panjang di Bukit Karen, Chiang Rai, Thailand. (Foto: Yussak Anugrah)

Kampung  yang mayoritas perempuannya berkalung kuningan itu ternyata tidak jauh dari kampus Universitas Mae Fah Luang—kalau mengendarai sepeda hanya membutuhkan waktu tempuh tidak lebih dari enam puluh menit. Jadi, karena saat ini saya tinggal di Asrama Mae Fah Luang, saya akan memandu teman-teman yang hendak berkunjung ke “Kampung Leher Panjang” di bukit Karen dengan kampus Universitas Mae Fah Luang sebagai patokan.

Dari lampu lalu lintas di depan kampus Universitas Mae Fah Luang, kita tinggal mengambil arah menuju Mae Sai, terus lurus hingga lewat pom bensin, beberapa kafe dan rumah makan, lalu kita akan menemukan sebuah plang berwarna hijau di sebelah kiri dengan tulisan “Long Neck Karen”.

Segera belok kiri dan ikuti jalan kecil tersebut. Saya pastikan tidak berapa lama melalui jalan itu, kita akan tiba di lokasi di mana para perempuan berkalung kuningan sedang melakukan aktivitas semacam membuat syal atau memintal benang.

Aktivitas penduduk Kampung Leher Panjang Karen, memintal benang dan berfto untuk pengunjung. (Foto: Zyad Rochmad Jaelani)

Aktivitas penduduk Kampung Leher Panjang Karen, menenun dan berfoto untuk pengunjung. (Foto: Zyah Rochmad Jaelani)

Sebelum masuk ke lokasi, biasanya kita akan ditarik biaya 300 Baht. Jangan terlalu sayang dengan uang tersebut, karena setidaknya setelah membayar sejumlah uang tersebut, kita tidak akan merasa malu atau canggung ketika meminta atau mengajak para perempuan di kampung tersebut untuk jadi objek foto, atau malah berfoto bersama.

Menurut pendapat salah satu pengunjung, aktivitas warga kampung Leher Panjang di Chiang Rai kurang natural. Ia mengatakan bahwa di Myanmar atau Laos, aktivitas mereka lebih natural.

Entahlah, saya tidak terlalu ambil pusing dengan ocehannya. Yang pasti apa yang dahulu pernah saya lihat di TVRI, sekarang dapat saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Mungkin lain waktu saya bisa ngaprak bersama Si Jalu ke kampung tersebut di Myanmar atau Laos. Aamiin.

Saya juga menulis ini dengan harapan, kelak teman-teman dapat melihat sendiri Kampung Leher Panjang secara langsung.[]

Sumber foto: Yussak Anugrah & Zyah Rochmad Jaelani

Pernah mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Mae Fah Luang, Chiang Rai, Thailand. Saat ini dia sedang merintis sebuah ruang baca, seni, dan budaya bernama Rumah Baca Manyar di kampung Seuseupan, desa Sindangsari, Ciranjang-Cianjur.

Comments
  • Bahuy

    Jadi yang ditaksir penulis yang mana nih?

    11 Januari 2015
  • HERI

    maksudnya kampung leher panjang udah gak natural itu gimana, bro? apakah sudah ada polesan-polesan modernitas masuk ke sana. atau alat industri mereka membuat syal udah modern.

    oh ia, kampung itu termasuk kampung yang dilestarikan di sana, bro?

    5 Januari 2015
  • yussak

    kebetulan yang di kampung ini memang cantik-cantik, yang sudah tua pun masih terlihat jejak kecantikannya. barangkali minat.

    5 Januari 2015
  • heri

    mantap, bro. konon perempuan cantik lehernya panjang ya di sana.

    4 Januari 2015

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register