
Perbedaan
Gadis kecil itu berlari menerjang kertas putih polos. Rambut panjangnya berkibar. Berombak dan melambai-lambai. Kaki kecilnya terus berusaha meraih jengkal demi jengkal agar bisa lolos dari kejaran dua ekor singa kelaparan di belakangnya. Napasnya tersengal dan kakinya terasa mau patah, tapi ia tahu ia tidak boleh berhenti atau ia akan dimakan. Tepat saat gadis kecil itu benar-benar putus asa, ia menangkap sosok pria dewasa berdiri di hadapannya. Kemudian terdengar bunyi tembakan beberapa kali. Gadis kecil itu berhenti. Selain karena kakinya sudah menolak untuk bergerak lagi, sesuatu dalam kepalanya memberitahu untuk tak perlu berlari lagi.
Pria dewasa itu menatap gadis kecil tepat di bola matanya. Mata dingin yang masih memiliki belas kasih beradu dengan mata polos yang telah melihat banyak kekejaman dalam satu jam terakhir. Pria dewasa itu tak ingin terlibat terlalu jauh. Ia membalik badannya.
“Ikut…” Gadis kecil itu tahu ia tidak boleh kehilangan pria dewasa ini atau ia akan berhadapan dengan kekejaman yang sama.
Pria dewasa itu mematung di tempatnya.
Pelukis menggigit bibir bawahnya. Ia ingin membuat gambarnya terlihat lebih putus asa. Matanya memicing di balik kacamata bulatnya. Keningnya berkerut. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam. Memenuhkan paru-parunya dengan asap rokok. Suasana gudang itu tenang, hening, dan khidmat. Pelukis menghela napas panjang. Untuk sesaat kertasnya dilingkupi kepulan asap. Pelukis kembali menggerakkan pensilnya. Satu tarikan pelan ia tarik di sudut kertas, kemudian ia menggeleng. Lama sekali hingga ia meremas kertas gambarnya, lalu melemparnya ke sembarang arah.
Gadis kecil itu kembali berlari menerjang kertas putih polos. Rambut panjangnya kembali berkibar. Berombak dan melambai-lambai. Kaki kecilnya yang sudah sangat lelah terus berusaha meraih jengkal demi jengkal agar bisa lolos dari kejaran dua ekor singa kelaparan di belakangnya. Napasnya tersengal dan kakinya terasa mau patah, tapi ia tahu ia tidak boleh berhenti atau ia akan dimakan. Tepat saat rasa putus asa menghampiri hatinya, ia menangkap sosok pria dewasa berdiri di hadapannya. Kemudian terdengar bunyi tembakan beberapa kali. Gadis kecil itu berhenti. Selain karena kakinya sudah menolak untuk bergerak lagi, sesuatu dalam kepalanya memberitahu untuk tak perlu berlari lagi.
Pria dewasa itu menatap gadis kecil tepat di bola matanya. Cukup lama hingga akhirnya ia membalik badannya.
“Ikut…” Gadis kecil itu tahu ia tidak boleh kehilangan pria dewasa ini atau ia akan berhadapan dengan kekejaman yang sama.
Pria dewasa itu mematung di tempatnya.
Pelukis kembali memicingkan matanya. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Menggerak-gerakkan bibirnya tidak puas. Membuat kumisnya yang sudah beruban menari-nari gemas. Sesuatu terasa kurang dan ia tidak bisa menerka apa itu. Pelukis meraih rokoknya. Menyadari bahwa ia harus menyalakan batang berikutnya. Pelukis meletakkan rokoknya di atas asbak. Ia memperbaiki posisi duduknya. Berdeham beberapa kali sebelum kembali meremas kertas gambarnya dan melemparnya ke sembarang arah di gudang itu.
Gadis kecil itu sekali lagi berlari menerjang kertas putih polos. Rambut panjangnya kembali berkibar. Berombak dan melambai-lambai. Kaki kecilnya benar-benar sangat lelah, namun ia harus lolos dari kejaran dua ekor singa kelaparan di belakangnya. Napasnya tersengal dan kakinya terasa mau patah, tapi ia tahu ia tidak boleh berhenti atau riwayatnya akan tamat. Tepat saat rasa putus asa menghampirinya, sesuatu dalam kepalanya memberitahu bahwa ia sudah sangat lelah dan ia harus keluar dari situasi ini.
Gadis kecil itu menghardik sesuatu di dalam kepalanya itu, “Aku tahu, tapi bagaimana caranya?!”
Pandangan gadis kecil itu memburam. Ada air yang menggenang di pelupuk matanya. Gadis kecil tak kuasa untuk menahan tangisnya.
“Kau harus membuat perbedaan,” sesuatu dalam kepalanya bersuara. Berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, kali ini suara itu sangat jelas. “Atau pria tua itu akan membuatmu berada di situasi yang sama lagi dan lagi.”
Gadis kecil mengerutkan kening. Ia tidak mengerti. Di tengah kebingungannya, sebuah batu yang cukup besar menyandung kakinya. Gadis kecil jatuh tersungkur. Kali ini ia tidak akan berlari lagi.
Pelukis menarik mundur wajahnya, menjauh dari kertas. Ia mengerutkan kening. Menelengkan kepalanya ke kiri dan kanan berkali-kali. Ia menarik sudut bibirnya ke belakang, kemudian mengangkat bahu. Ia memilih menerima takdirnya. Sepertinya ia sudah terlalu tua untuk membuat gambar yang sempurna. Pelukis meletakkan pensilnya. Berdiri dari duduknya. Gelas kopi yang tinggal tersisa ampasnya ia angkat. Pelukis melangkah keluar dari gudang pengap itu. Sementara di atas meja, tinta merah memenuhi separuh kertas gambar.