
“Uterus”, Peta Perjalanan, dan Kehidupan
Kebiasaan saya membaca buku dan koran sastra di hari Minggu banyak mempertemukan saya dengan puisi, cerpen serta novel dari dalam maupun dari luar negeri. Kedung salah satunya. Kedung Darma Romansha adalah nama yang sudah tidak asing lagi di khazanah sastra Indonesia.
Lelaki romantis kelahiran Indramayu ini pernah mengenyam pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kedung banyak menulis puisi yang dipublikasikan di media lokal maupun nasional, karya-karyanya juga tergabung dalam beberapa antologi bersama.
Selain menulis puisi, Kedung juga menulis novel. Novel pertamanya yang perjudul Kelir Slindet diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Sebagai penyair, Kedung terus berproses menemukan bahasa yang nyaman dalam menulis puisi. Alhasil, Kedung berhasil membuat formula bahasa dari akulturasi budaya yang dia alami selama menempuh peta perjalanannya. Akulturasi budaya yang saya maksudkan adalah percampuran antara tradisi-tradisi yang terjadi pada masa kecilnya di Indramayu dengan masa dewasanya di Yogyakarta.
Selain itu, Kedung juga mengalami masa pendidikan di pondok pesantren dan universitas. Akulturasi budaya yang dialami Kedung bukan dari segi kedaerahan saja, melainkan dari segi pendidikan pun dialaminya. Terlihat cara Kedung memainkan kritik lewat bahasa yang dianggap nyaman olehnya:
rasakan perasan keringatku
di gelas teh hangat
sambil duduk manis
nonton gosip selebritis,
iklan coca-cola, pepsi,
dan berita korupsi
yang tak pernah mati.
di sebuah pagi yang cerah
april yang basah
(Penggalan puisi “Tebu”)
Sebagai individu, Kedung masih mengingat tebu yang sering dijumpainya sewaktu masih kanak-kanak maupun beranjak remaja. Tebu yang selalu dirayakan ketika akan digiling menjadi gula serta es tebu yang mungkin selalu ia minum bersama kekasihnya. Sebagai seorang mahasiswa, Kedung mendapatkan kecemasan serta kegelisahan tentang realitas sosial. Puisi yang berjudul “Tebu” dapat mewakili perasaan Kedung dari akulturasi budaya yang ia alami.
Kumpulan puisi yang berjudul Uterus (Penerbit Gambang, 2015) telah mewakili keseluruhan puisi yang ada pada buku ini. Uterus menjadi wadah proses kehidupan. Oleh karena itu, perempuan banyak diangkat dalam puisi-puisi Kedung pada antologi ini.
Sebagai filosifi, perempuan ditempatkan di wilayah paling tinggi oleh sang penyair. Sebagai ironi realitas sosial, perempuan ditempatkan di wilayah yang abu-abu. Kedung menulisnya pada puisi yang berjudul “Telembuk”, sedangkan pencarian filosofi perempuan sampai pada wilayah imajiner terlihat pada puisi “Namaku Sumbi”.
“mak, lihatlah tubuhku
banyak laki-laki yang ingin mengunyahnya.
apakah bukan ini musim manga, mak?
bukankah manga kita yang terbaik?”
(Penggalan “Telembuk”)
“Perbangkara ayahku,
sampai kapan kutukan
memperkosa usiaku
setiap malam anjing itu menyalak
menagih sunyi dalam rahimku”
(Penggalan puisi “Namaku Sumbi”)
Seperti yang saya tuliskan di atas, Uterus adalah wadah proses kehidupan. Dalam kehidupan, tentunya ada kebahagiaan ada pula penderitaan. Pada wilayah ini, Uterus menjelma sebagai rahim makro kosmos. Rahim yang menumbuhkan kebudayaan masyarakat dunia. Rahim yang mencipta benar dan salah. Rahim yang membuat manusia berpikir. Rahim yang menjadikan kuat dan lemah. Rahim yang menjadikan laki-laki dan perempuan.
Kedung Darma Romansha menghimpun 43 puisi pada buku kumpulan puisi pertamanya. Kesegaran bahasa serta keunikan cara pandang Kedung dalam mengamati simtom-simtom pada masyarakat membuat kumpulan puisi Uterus ini segar untuk dibaca kapan saja. Tidak perlu menunggu hari Minggu.[]
Judul: Uterus
Penulis: Kedung Darma Romansha
Penerbit: Penerbit Gambang
ISBN: 978-602-72157-5-7
Cetakan: I, 2015
Harga: Rp40.000,-