Fb. In. Tw.

Spiritualitas Kaum Urban: Membaca Puisi Beni Satryo

Karena lalai, atau bahkan mungkin tolol, kunci kamar kos saya di bilangan Jakarta Barat tertinggal di rumah orang tua di Cianjur. Maka, menginaplah saya di kamar kos wartawan cum cerpenis, M. Aden Maruf. Di sana tergeletak buku kumpulan puisi Antarkota Antarpuisi (2019) karangan Beni Satryo. Di halaman pertama, tertera: “Buat Pak Zul, pembuat mantra, dukun Gabon (ttd) (Pak Beni)”. Tanpa permisi, saya membaca buku ini hingga tamat.

Saya tidak pernah berkenalan dengan Beni Satryo, termasuk lewat buku puisi pertamanya, Pendidikan Jasmani dan Kesunyian (2016). Sehingga, saat membaca halaman demi halaman buku keduanya, saya lempeng-lempeng saja, tak ada pretensi membandingkan buku yang satu dengan yang lainnya. Saya cengengesan dan hanyut dalam puisi Beni, hingga mendapati puisi ini:

Selepas Azan

Kau tak akan murtad
karena sebuah perjalanan.

Pada jeda istirahat
selepas azan, sandarkan
punggung lelah
di tiang-tiang agama.

Datanglah kepadaku.
Jiwaku penuh debu,
kau bisa bertayamum di situ.

Seperti bunyi beker yang jatuh menghardik kantuk, saya tersentak membaca puisi di atas. Larik kau tak akan murtad/ karena sebuah perjalanan// tampaknya semakin sulit ditemukan dalam laku spiritualitas sehari-hari. Saat seseorang berbelok memilih jalan alternatif, ia sering kali langsung dituduh sesat menjangkau tujuan.

Ketika main Twitter dan menulis resensi ini, saya menemukan video sebuah mobil dihadang sekelompok orang saat membagikan makanan kepada warga tidak mampu. Sang perekam mencaci dan menuduh bahwa orang-orang di dalam mobil tengah melakukan kristenisasi. Nilai-nilai spiritual yang kebanyakan hanya dipandang dan ditafsirkan lewat jalan agama, kian hari sungguh kian angkuh, seperti tiang pancang. Padahal, bisa jadi, seperti kata Bung Karno, “Tuhan bersemayam di gubuk si miskin”. Gubuk-gubuk yang mudah roboh disentuh angin dan banjir.

Pada jeda istirahat/ selepas azan, sandarkan/ punggung lelah//di tiang-tiang agama//.

Larik-larik puisi “Selepas Azan” itu mengingatkan saya pada perilaku sederhana. Ketika jenuh dan lelah bekerja, saya suka tidur di masjid kantor selepas sembahyang jemaah. Tak hanya saya, ternyata orang lain pun melakukannya. Kami tidur berjajar seperti jajaran ikan pindang. Dalam kondisi demikian, di tengah deru ibu kota yang gila kerja, aktivitas ritual agama memang punya fungsi menenangkan.

Meski demikian, di saat bersamaan, larik-larik puisi “Selepas Azan” di atas juga membuka tafsir lain dalam diri saya: agama kerap kali menjadi topeng atas keputus-asaan manusia di dunia. Alih-alih berdarah-darah kuliah, misalnya, marilah nikah muda demi menyempurnakan separuh agama. Saat kesempatan bekerja di pabrik sukar digapai, ayo gabung ormas keagamaan agar bisa dititipkan. Dan jika kau tak kuasa menjadi pemimpin, cukuplah raih suara umat yang banyak, sebanyak biji tasbih di Pasar Tanah Abang. Tak jadi soal jika urusan kerja jadi urusan ke-sekian, sepanjang kemasan agama diutamakan.

Bentuk “alih-alih” lewat model agama yang demikian, justru bisa jadi membuat kita lalai dalam menyelesaikan persoalan sebenarnya. Dalam hal itulah, saya kira larik-larik puisi “Selepas Azan” yang dikutip terakhir tadi menjadi penting, sebab ia mengajak pembaca untuk memaknai peran agama dan Tuhan: berserah pada keduanya boleh-boleh saja, dan perlu, asalkan kau sudah lebih dulu berpayah-payah berjuang berlumur darah.

Sementara itu, pada larik-larik penutup puisi ini, terkesan memiliki pesan yang lebih berani lagi dan disampaikan dalam gaya bahasa khas penyair Beni. Kalimatnya sederhana, namun menghunjam: Datanglah kepadaku// Jiwaku penuh debu,/kau bisa bertayamum di situ//.

Larik-larik di atas saya kira punya potensi membuat indekos atau tempat kerja Beni digerebek ormas agama. Dalam pembacaan saya, ungkapan itu seperti ingin menyatakan bahwa agama, institusi yang sering kali dielu-elukan para pengikutnya itu, sebenarnya tak suci-suci amat: jiwaku penuh debu. Tengoklah kekerasan yang berlangsung dari abad ke abad, kau akan menemukan unsur agama beririsan di dalamnya.

Walau begitu, justru di tengah agama yang berdebu itulah sesungguhnya kita dapat membersihkan diri, “bertayamum”. Ajaran dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap agama, menempatkan cinta sebagai jantungnya. Di situlah kita bisa memandang dunia dengan lebih adil, tanpa merasa lebih atau paling suci ketimbang orang lain. Ketimbang ajaran agama lain.

Lewat puisi “Selepas Azan”, saya curiga, tema-tema urban yang diangkat dalam Antarkota Antarpuisi (2019) adalah perayaan momen spiritual masyarakat urban. Saya kembali membuka buku puisi Beni dari bagian awal, dan menemukan puisi pertama di bukunya tersebut, “Bertamu ke Kuburan Ayah”. Puisi itu memberi pemaknaan lain soal kematian.

Ketimbang menceritakan nasib ayah saat ditanya malaikat di kuburan, aku-lirik lebih memilih mengisahkan nasib ibu setelah menyandang status janda. “Kemarin kemiskinan datang ke rumah,”/ kataku/ “Ia melamar Ibu.”//.

Sementara dalam puisi “Astrea”, Beni memaknai mudik sebagai momen untuk meredakan diri dari nafsu dunia, sambil memotret pernak-pernik perjalanan panjang menuju kampung halaman. Ia menulis, gema takbir dan senjakala cita-cita/kaubawa serta berbonceng bertiga//.

Puisi “Anakonda” mempertanyakan tafsir soal surga di bawah telapak kaki ibu, dan puisi “Kacang Panjang” seolah memberikan jawaban tentang surga macam apa yang sebetulnya dihidangkan mereka:

Doanya seperti kacang panjang.
Ia tak pernah memendek
meski sudah dipotong-potong
menjadi sarapan kami setiap hari.

Momen puitik Beni tak cuma lahir dari penafsiran-penafsiran ulang atas spiritual agama, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari. Dunia yang ingin ditampilkan Beni dalam kebanyakan puisinya, saya kira, adalah dunia orang-orang miskin yang getir namun romantik. Simak satu pusinya berikut, yang saya baca berulang-ulang:

Masuk Angin

Ketika kau masuk angin,
kau akan menemukan diriku
menjelma gumpalan daki bercampur balsam
di ujung uang koinmu. 

Dan pada jeda-jeda sendawa
kita akan membangun lintasan-lintasan senja
pada cinta kita yang mulai renta.

­Pada puisi di atas, Beni dengan apik memilih kata-kata yang memang jadi representasi langsung kaum menengah bawah: masuk angin, gumpalan daki, dan sendawa. Dilihat dari struktur puisinya, tak banyak ditemukan metafora atau majas lain yang lazim digunakan kebanyakan penyair. Beni, secara langsung menampilkan impresi puitiknya terhadap kondisi psikologis lingkungannya melalui benda-benda konkret dan kalimat-kalimat sederhana. Saat memilah momen puitik mana yang hendak dituliskan, kerja puitik Beni tampaknya lebih banyak dilakukan dalam pikiran dan perasaan—alih-alih olah kata di atas papan ketik.

Maka, jika orang-orang membahas, dan senada dengan pengakuan Beni, bahwa Joko Pinurbo memengaruhi proses kreatifnya, saya kira yang paling berpengaruh adalah spirit puisi Joko Pinurbo. Jokpin, dalam beberapa kumpulan sajaknya sering kali memilih tema keagamaan, orang kecil, dan kaum urban. Sementara itu, untuk gaya berpuisi, saya kira berbeda. Beni sedikit menggunakan gaya liris, dan tak terlalu mengolah bahasa dengan tenaga besar seperti yang dilakukan Jokpin.

Dengan kata lain, meskipun kita makan sekaleng biskuit Khong Guan yang sama, tetapi tekstur fesesnya berbeda.

Eksplorasi bahasa Beni lebih pada menampilkan kata-kata urban, juga beberapa bahasa Jawa yang ditulis tanpa dimiringkan atau diberi catatan kaki. Misalnya njulungup, kegureman, mbabit, krucuk-krucuk, dan lain-lain. Saya kira teknik ini cukup berhasil: puisi-puisi Beni menyuguhkan lanskap kaum urban yang dilihat dari keluguan wong ndeso, yang diliputi kerinduan sekaligus kegetiran.

Gaya demikian membuat saya sebagai pembaca dapat merasakan langsung nuansa kebatinan kaum menengah ke bawah. Sajak “Masuk Angin” yang saya kutip di atas, misalnya, menampilkan betapa lirihnya aku-lirik menumbuhkan kesetiaan dalam kondisi hidup yang tidak mewah. Saat menulis ini dan dilanda demam, saya membayangkan, sanggupkah saya membersihkan gumpalan daki dari kulit keriput pasangan saya kelak?

Sebagai catatan, meski mengangkat tema urban, sayangnya Beni belum berani mengambil tema yang berkaitan dengan benda-benda teknologi di kota dan digandrungi kaum muda. Ia tidak membahas media sosial, internet, pro evolution soccer, atau lainnya. Mungkin hal itu tengah ia simpan untuk pertarungan berikutnya.

Seharian penuh menikmati puisi Beni Satryo membuat saya lekas-lekas mengingat dan memaknai ulang aktivitas sehari-hari. Tema masyarakat menengah ke bawah kaum urban yang banyak digarapnya, membuat saya sedikit lebih genah untuk meneguhkan diri setelah setahun merantau di Jakarta. Dari puisi-puisinya, saya belajar untuk tetap tinggal, meski sebuah kunci spiritual tertinggal di kampung halaman.

Philip Sheldrake, seorang Guru Besar Teologi Aplikatif mempublikasikan artikel Spirituality and the Urban pada 2006. Di situ, ia menulis, “Kita tidak hanya hidup di dunia; kita juga hidup dengan sebentuk perasaan, tersirat atau tersurat, tentang apa arti dunia.”

Saya kira ungkapan itu relevan untuk menggambarkan spirit Beni Satryo saat menyusun dengan apik buku Antarkota Antarpuisi (2019) ini. Ia merespon kota tidak hanya sebagai tempat, tapi laku perasaan.[]

Identitas Buku
Judul       : Antarkota Antarpuisi
Penerbit : BANANA
ISBN        : 978-979-1079-66-2
Dimensi : 14,5 x 21 cm, 90 halaman
Cetakan pertama, Agustus 2019

KOMENTAR
Post tags:

Seorang pekerja di Jakarta, pendengkur saat di Cianjur. Mengisi kejemuannya dengan bergiat dalam tim pengelolaan dan redaksional Buruan.co. Menulis puisi, resensi, dan esai.

You don't have permission to register