Fb. In. Tw.

Sesaat di Museum Talaga Manggung

Bukan karena kita saling mencintai atau mengukur kembali kenangan, sejauh cerita yang dituturkan seorang kuncen kepada saya, tidak pernah ada sesuatu yang “kebetulan” terjadi. Ada mite ada pula legenda. Ada yang pergi ada juga yang lahir. Semua terjadi begitu alamiah.

Angin perlahan mengusik keringat. Mata saya terjutu pada pohon kaktus yang sepertinya sudah tumbuh puluhan bahkan ratusan tahun. Langkah saya perlahan menuju pintu museum, nyaris tidak mendapatkan apa-apa. Yang terlihat hanya dua batu panjang di kanan dan kiri saya. Konon batu tersebut adalah tempat seorang raja serta pengeran diambil sumpahnya.

Talaga Manggung, nama tersebut sering terdengar. Cerita tentang Ratu Simbar Kencana dan Darma Suci (Talaga Manggung) yang kerajaannya hilang menjadi Situ. Situ tersebut sekarang dikenal dengan nama Situ Sangiang. Singkatnya seperti itu. Saya bersama kawan-kawan Jalan Teater melakukan kunjungan ke Museum Talaga Manggung (27/07/2015) yang terletak di kecamatan Talaga, Majalengka.

Perjalanan yang cukup jauh dari Bandung menuju Majalengka, membuat saya sedikit lelah. Suasana yang nyaman, teduh serta senyum yang ramah dari kuncen menghilangkan penat lelah saya.

“Abah mah turunan ka 16,” Raden Mumu, kuncen Museum Talaga Manggung, memperkenalkan diri. Saya, khususnya kawan-kawan Jalan Teater mengorek informasi mengenai Talaga Manggung. Seperti yang saya sebutkan di atas, kedatangan kami adalah observasi untuk kepentingan pementasan Gaok yang sedang digarap oleh Jalan Teater. Lakon yang dimainkannya merupakan adaptasi dari folklor Talaga Manggung.

Raden Mumu sedang menjelaskan sejarah keturunan Talaga Manggung. (Foto: Opet)

Raden Mumu sedang menjelaskan sejarah keturunan Talaga Manggung. (Foto: Opet)

Pembicaraan kami menuju pada pokok persoalan, semakin asyik. Mungkin ada keterlibatan emosi serta imaji citraan yang terlintas pada percakapan yang bertempo lambat itu.

Setelah menghabiskan tiga batang rokok, kami diajak masuk ke dalam museum untuk melihat benda-benda yang terdokumentasikan. Sebagian benda tersebut masih utuh seperti suhunan, gelas dan piring, peti, gerabah, serta baju jirah dari logam. Namun, karena atap museum bocor dan sedang diperbaiki, sebagian koleksi disimpan di tempat lain.

Koleksi pusaka seperti tumbak dan keris, serta gamelan tersebut disimpan di Imah Gede. “Demi keamanan benda peninggalan ini, saya simpan di Imah Gede,” jelas H. Asep, pengelola Museum Talaga Manggung dan www.museumtalagamanggung.com.

H. Asep mengajak kami ke Imah Gede. Rumah tersebut tidak jauh dari museum, sekitar 20 meter dari depan museum. Ia dengan semangat menjelaskan satu per satu benda benda yang ada di Imah Gede.

Kami banyak mendapatkan penjelasan tentang benda-benda yang ada di sini. Kesahajaan Raden Mumu serta H. Asep sebenarnya membuat saya ingin lebih lama di museum serta mendengar kisah Talaga Manggung lebih banyak.

Namun, karena sudah sore, Sahlan Mujtaba, saya lebih senang manggilnya Bahuy, mengajak untuk segera ke Situ Sangiang. Kami memutuskan untuk berkemas serta pamit.

Bahuy vs Simbar Kancana
Pertemuan Bahuy dengan Gaok (kesenian khas Kulur, majalengka. Gaok adalah seni menembangkan cerita dengan langgam pupuh) serta Simbar Kancana bukan suatu kebetulan. Bahuy seorang sutradara teater tentunya selalu ingin membuat inovasi serta tantangan terhadap objek yang akan digarap. Perjumpaan itu adalah kehausan seorang sutradara terhadap mite juga legenda yang tersimpan dalam pikirannya.

Bahuy mengajak aktor, penari, pemusik, juga tim produksi pada mite serta legenda Simbar Kencana. Selain studi pustaka, mendatangi tempat-tempat yang ada pada teks Simbar Kencana akan membuat penghayatan aktor, penari, serta pemusik akan lebih matang. “Setidaknya ada spirit yang diambil dari perjalanan ini,” jelas sutradara kelahiran Cianjur tersebut.

Spirit yang ditularkan Bahuy melalui teks Simbar Kencana menurut saya patut diapresiasi. Teks foklor hampir hanya diketahui oleh kalangan akademisi saja, khususnya yang mempelajari bidang sastra. Sebenarnya, teks tersebut milik masyarakat, dan masyarakat harus mengetahuinya. Terutama masyarakat Majalengka yang lebih dekat dengan teks Simbar Kancana tersebut.

Bahuy serta teks Simbar Kancana adalah dua spirit yang dapat membuka pemikiran, terutama bagi kalangan anak muda sekarang yang mulai kehilangan penghayatan.[]

KOMENTAR

Sekretaris Redaksi buruan.co. Lahir di Majalengka 14 Januari 1986. Kumpulan puisinya yang telah terbit "Lambung Padi" (2013). Pengelola Rumah Baca Taman Sekar Bandung.

You don't have permission to register