
Riwayat Panjang Gedung Rumentang Siang
Bangku bertumpuk, menolak orang untuk duduk. Besi penyangga telah membantu pekerja untuk membongkar dinding yang jadi saksi pementasan-pementasan penting. Meskipun keadaan dalam gedung semerawut karena sedang direnovasi, tapi masih tergambar suasana lampu menyorot ke latar, suara gamelan menggelegar, aktor dan aktris berakting penuh kelakar, dan tentu seniman yang menghidupkan Gedung Kesenian Rumentang Siang dengan sangat sabar. Salah satu seniman itu adalah Moel M.G.E, yang kini duduk menghayati bagaimana perjalanan tubuh-tubuh para seniman yang menghidupi Rumentang Siang ini.
Moel adalah saksi hidup bagaimana di Rumentang Siang kesenian terus berdegup. Sejak tahun 1970, Moel aktif berkegiatan di Teater Sunda Kiwari. Banyak seniman lebih mengenalnya sebagai penata cahaya yang membuat pementasan lebih terlihat memesona mata.
Rumentang Siang berdiri sejak 16 Januari 1975. Meskipun sudah tua, Moel menyebut bahwa gedung kesenian di manapun tidak boleh hilang selagi masih ada seniman dan budayawan. “Tetapi, ketika kehidupan terus berlangsung, seni dan budaya tidak mungkin hilang,” tegasnya sambil membenarkan posisi gelang kayu di tangan.
Banyak sudut Rumentang Siang berdebu, tetapi kegiatan keseniannya masih menggebu. Nama “Rumentang Siang” memberi ruh semangat tersendiri bagi seniman di dalamnya. Wahyu Wibisana, penyair yang menamai gedung itu, seperti terus berteriak menantang para seniman untuk menjadi “siang”, kata bahasa sunda yang artinya “tampak jelas”. Alasan historisnya, sebelum gedung ini didirikan, para seniman lebih banyak menggarap pementasan di sanggar masing-masing atau gedung milik pemerintah untuk memudahkan kontrol, sehingga eksistensi keberkaryaan para seniman Bandung terlihat remang, atau dalam basa sundanya “rumentang”.
Tahun 1975, Gubernur Jawa Barat Solihin G.P melalui Surat Keputusan Gubernur Jabar No. 13/A.1/2/SK/Kesra/75 menetapkan bahwa gedung bergaya art deco ini sebagai gedung kesenian. Sebelumnya, gedung yang terletak di Jalan Yun Liong (sekarang Jalan Baranang Siang) adalah gedung bioskop, mulai dari masa pemerintahan Belanda yang bernama “Rivoli”, kemudian berganti nama setelah Indonesia Merdeka tahun 1945 menjadi bioskop “Fajar”.
Iman Soleh, saat ditemui di sanggar Celah-celah Langit, dengan semangat menjelaskan bahwa Gedung Rumentang Siang adalah salah satu hasil dari kebijakan pengelolaan kebudayaan oleh pemerintah dulu. Sejak zaman kolonial Indonesia, pengelolaan gedung kesenian dikotak-kotakan sesuai bidang garapan utamanya. Contohnya, Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) merupakan pusat kegiatan seni tradisi, Taman Riang di daerah Cicadas dijadikan tempat hanya untuk bioskop terbuka, Sinar Muda sebagai tempat teater tradisional sunda berlokasi di daerah Tegalega, sandiwara sunda di daerah Kosambi, serta Gang Koper sebagai pusat Ketoprak Jawa. Rumentang Siang, dihadirkan oleh pemerintah untuk gedung kesenian kontemporer, terutama teater. “Dulu itu sudah dijalurkan oleh pemerintah. Bahkan pemerintah Jerman, Jepang, Prancis masih memelihara pengelolaan yang terkotak-kotak itu hingga saat ini,” tuturnya sambil bernostalgia menyebutkan satu per satu tempat pertunjukan di luar negeri yang pernah dikunjungi.
Studi Klub Teater Bandung (STB) sebagai klub tertua di Bandung yang berdiri pada tahun 1958 menginisiasi kegiatan awal di Rumentang Siang. Begitupun dengan kelompok Teater Sunda Kiwari, berdiri bertepatan ketika Rumentang Siang diresmikan, 16 Januari 1975. Berbagai rangkaian proses teater dilakukan; diskusi naskah, reading course, belajar filsafat, psikologi, kebudayaan, latihan akting, dan lain sebagainya. Kedua kelompok ini masih menghidupi Rumentang Siang secara ideologis hingga saat ini. Selain itu, kelompok teater lain diantaranya, Laskar Panggung pimpinan Yusep Muldiyana, dan Teater Bel.
Rambut putih Moel, merekam jejak betapa mengasyikannya kegiatan di Rumentang Siang. Mengenang kebahagiaannya, Moel menceritakan setiap malam, Rumentang Siang selalu hidup oleh kesenian dan kehangatan masyarakat. Kelompok seni sandiwara sunda melakukan pementasan satu bulan dua kali setiap malam sabtu. Kelompok yang lama mengisi adalah Sri Murni, berlokasi di belakang pasar Kosambi. “Karena dinamika berkesenian, kelompok Sri Murni itu pecah, jadi dua. Ada Dwi Murni, dan Sri Mukti. Masing-masing ngambil satu nama dari Sri Murni,” Moel menceritakan sambil tangannya menunjuk ke arah seberang Rumentang Siang. Moel tampaknya hapal betul jalan menuju tempat Sri Murni. Di malam minggu, giliran wayang golek yang membuat masyarakat memenuhi gedung ini. Mereka berbahagia sambil menikmati bajigur, bandrek, hui, dan lainnya. Selain tradisi yang mengasyikkan, ballet pun sering pentas di sini. “Pokoknya mah, Rumentang Siang jaman dulu sangat membuat saya bahagia, mungkin masyarakat lainnya juga.”
Tangan Moel yang dihiasi batu akik hitam di jari manisnya menunjuk lagi ke lain arah, ke lorong di Rumentang Siang. Ia memutar kembali ingatan yang membuatnya bahagia. Di lorong itulah, seringkali para seniman mendiskusikan perihal kebudayaan. “Dulu kami sering berdiskusi tentang berbagai hal; puisi, teater, tari, sagala rupa,” kenang Moel. Tak heran, dari Rumentang Siang inilah lahir seniman tersohor. Kelompok 10 namanya, yang seringkali giat berdiskusi itu. Diantaranya adalah Dani Danusubrata, Hidayat Suryalega, Acep Zam-zam Noor, Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, Beni R. Budiman, Cecep Syamsul Hari, Arthur S. Nalan, Yusep Muldiyana, Yoseph Iskandar, dan seniman lainnya. “Kini mereka telah menempuh jalan hebat masing-masing. Saya masih menikmati Rumentang Siang ini sebagai pengelola. Sambil mengingat ke masa jadul, meski gaji suka datang telat,” tegas Moel menikmati pekerjaannya saat ini.
Bagi Moel, inti dari berkesenian adalah mewariskan tubuh pada kebahagiaan dan kebersamaan. Karenanya, raut senyum di wajah Moel akan semakin melebar ketika membantu pementasan orang lain, dan pementasannya itu berhasil, memberikan kesan, apresiasi tinggi, bahkan prestasi. “Tapi saya juga suka sedih, melihat orang lain gagal pementasannya. Padahal, itu bukan tanggung jawab saya. Tapi itulah seni. Merasakan hati orang lain,” ujar Moel dengan raut wajah yang ikut mengkerut.
Sejarah pun telah membuat jejak dalam kegiatan yang paling dibanggakan Rumentang Siang. Salah satunya adalah Festival Drama Basa Sunda, yang dimulai sejak tahun 1990. Ratusan orang dididik secara tidak langsung oleh Teater Sunda Kiwari. Festival ini pun berguna untuk menjaga kegiatan kebudayaan para seniornya. Misalkan saja, untuk naskah festival, biasanya Teater Sunda Kiwari memesannya pada Arthur S. Nalan, Rosyid E. Abby, Nazarudin Azhar, Yoseph Iskandar, serta Dadan Sutisna.
Hingga saat ini, Rumentang Siang sebenarnya masih bernyawa. Meskipun pembangunan di kota Bandung yang sedemikian cepat perlahan terus membunuhnya. Rumentang Siang kini dikelola oleh Taman Budaya, di bawah Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Kegiatannya rutinnya, antara lain: jaipong setiap Rabu dan Jumat, tari klasik setiap Minggu dan Selasa, Teater Sunda Kiwari setiap Selasa dan Jumat, serta Ballet setiap Senin dan Kamis. Terkait pengelolaan, Iman Soleh dengan nada menekan, menyatakan bahwa para seniman dan pengelola gedung kesenian harus mampu meminta jatah pajak dari kapital. Yaitu meminta satu persen dari tiap harga untuk pendanaan kegiatan kebudayaan. “Kapital itu pasti konsumtif, pasti pragmatis,” tegas Iman sambil membetulkan ikat kepala batik merahnya seperti siap berdemontrasi. Tapi, jangankan demikian, janji Ridwan Kamil untuk menjadikan Pasar Kosambi sebagai pasar produk kesenian pun masih belum terealisasi.
Rumentang Siang berada di depan pasar Kosambi yang sering dilewati orang, tapi semakin sedikit yang tertarik datang, apalagi berkegiatan dan membuatnya kembali “rumentang”. Di tengah gempuran pasar bebas, dan mondernitas, Rumentang Siang masih menjadi ruang penjaga akal sehat kebudayaan. Seperti bordiran di saku kemeja Moel yang merupakan tulisan Prasasti Kawali: “Gawè rahayu pikeun heubeul jaya di Buana”, artinya “Bekerja untuk kebaikan, agar kekal di alam dunia”.[]