
Pesona Danau Ciharus
Dulu kemping hanya dilakukan oleh organisasi pramuka atau para pecinta alam saja, kini kemping sudah jadi gaya hidup masyarakat ketika liburan tiba. Begitupun kami, pemuda masjid Fathul Mubin Desa Bojong, Majalaya, Bandung.
Pada hari Minggu (19/7/2015), kami memilih kemping sebagai liburan hari raya. Tak jauh dari kota kami, ada satu danau yang cukup menantang untuk menjadi tempat kemping. Danau itu bernama Ciharus terletak di Gunung Kamojang, Garut. Danau tersebut terletak di perbatasan bagian selatan kota kami, tak jauh dari perusahaan BUMN Indonesia Power, yang dulu lebih dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Kamojang.
Sesuai namanya, danau Ciharus memang berarus atau bergelombang. Danau tersebut dikenal dengan berbagai mitos dan fakta menarik. Mulai dari adanya mitos ikan besar bernama Layung Sari hidup di sana, sampai disinyalir sebagai tempat Kartosuwiryo pimpinan gerombolan DI/TII bertahan hidup saat bersembunyi dari tentara Siliwangi. Di danau tersebut juga tumbuh bunga rawa yang memiliki keunikan sama dengan bunga edelweis, warga sekitar menamainya bunga abadi sebab bunga tersebut tidak pernah layu.
Kami pun memulai perjalanan pukul delapan pagi dari Majalaya menuju Paseh menggunakan angkutan umum. Perjalanan sekitar setengah jam kami tempuh hanya dengan mengeluarkan ongkos Rp5000/orang. Kami sampai di Paseh. Paseh adalah ibu kota kecamatan Ibun, kota yang menjadi sentra produksi makanan borondong ketan, atau orang-orang lebih familiar dengan sebutan borondong garing, makanan khas Majalaya.
Dari Paseh, kami lanjutkan perjalanan menuju Kamojang dengan menggunakan mobil pick up yang disulap menjadi angkutan umum. Tarif menuju Kamojang cukup mahal, yakni Rp10.000, karena jalur yang ditempuh pun bukan main ekstremnya. Kami melewati tanjakan yang cukup terjal, tanjakan Monteng namanya. Sepanjang tanjakan, banyak mobil dan motor mogok sehingga antrian untuk melewatinya cukup padat dan sempat menimbulkan kemacetan.
Kami pun sampai di kawasan Indonesia Power Kamojang, Garut. Kami berhenti di sebuah perempatan, tepat di depan cerobong uap Perusahaan BUMN yang mengelola gas bumi tersebut. Suasana di sana cukup ramai, sebab banyak yang menjadikan cerobong raksasa tersebut sebagai latar yang menarik untuk berfoto ria. Tepat di samping cerobong tersebut, belok ke sebelah kanan dari jalan Kamojang ada jalan kecil menuju kawasan proyek Indonesia Power, di jalan itu kami memulai perjalanan dengan berjalan kaki.
Kami menyusuri pipa-pipa besar di kawasan Indonesia Power, dan juga melewati jalan aspal sekitar setengah jam bersama para pendaki lain yang sama-sama menuju danau Ciharus. Hingga kami pun mulai masuk ke pintu hutan dengan plang perhutani terpampang di pinggir jalan. Perjalanan hutan kami tempuh sekitar satu jam.
Jalan yang kami tempuh adalah jalan yang sudah banyak digunakan oleh motor trail. Tentu saja jalan tersebut rusak dan sangat kami sesalkan. Beberapa orang malah menggunakan motor biasa menuju ke danau. Perjalanan kami pun banyak terganggu oleh gerombolan motor tersebut.
Kami sampai di mulut danau sekitar pukul 12 siang. Total waktu perjalanan kami dari Majalaya sampai lokasi sekitar empat Jam. Rasa lelah kami terpuaskan dengan sehampar danau dengan setengah punggungnya diliputi rawa. Di rawa itulah edelweis khas Ciharus tumbuh. Arus danau Ciharus saat itu pun tidak terlalu besar sebab kemarau membuat volume air tidak terlalu tinggi. Di sekelilingnya tampak tenda-tenda kemping ramai seperti dugaan kami. Kami pun kemping di sana selama satu malam dan pulang keesokan harinya pada pukul 12 siang.

Saya bersama Pemuda Masjid Fathul Mubin di tepi danau Ciharus. (Foto: Fadlan)
Ciharus secara geografis memang mendukung untuk kemping. Di sana terdapat beberapa mata air di sebelah barat, atau orang-orang menamainya lawang angin. Lawang angin adalah pintu danau yang mengalirkan air danau menjadi sungai. Celah dari gunung yang mengelilingi danau tersebut merupakan hulu sungai yang mengarah ke utara, hingga ke Majalaya. Belum jauh hulu sungai mengalir, sebuah tebing menjadikan air sungai tersebut menjadi air terjun kecil tempat para petualang mandi dan mencuci baju.
Di sana juga terdapat satu gubuk atau warung yang diisi oleh Abah, seorang kuncen danau tempat siapapun bertanya tentang danau dan tempat meminta pertolongan. Abah biasanya bercerita banyak tentang mitos-mitos dan cerita-cerita lucu tentang orang-orang yang kemping di Ciharus.
Abah menjual kopi, mie instan, dan gorengan, juga menyediakan kayu gratis bagi siapa saja yang kesulitan mencari kayu bakar. Saat itu Abah bercerita pada kami, bahwa tidak lama lagi Ciharus akan dikelola oleh orang luar negeri. Tidak jelas memang, apakah perusahaan asing atau perorangan, tapi pembicaraan Abah mengarah pada pengelolaan danau Ciharus menjadi tempat wisata oleh pihak swasta.
Pesona danau Ciharus memang menggiurkan untuk menjadi lahan pariwisata. Namun melihat fenomena pengelolaan pariwisata di Indonesia yang selalu menyerahkan potensi alam kita pada swasta, perorangan, dan asing, membuat kami merasa miris. Kita selalu saja “menjual” kekayaan alam kita seolah kita tak mampu mengelolanya untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Jika pun masyarakat terkena imbasnya hanya sebagai buih-buih kecil, yang terpinggirkan, yang meramaikan wana wisata tersebut saja. Bukan sebagai pengelola yang menjadi tuan rumah bagi sapapun pengunjung yang datang.
“Nanti mah ke sini tidak gratis lagi,” pungkas Abah kepada kami.
Miris, bukan?[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
Komunitas satubumikita
Mari dukung gerakan #SaveCiharus #SaveleuweungCiharus
Mari dukung untuk tidak berkunjung ke Kawasan danau Ciharus. Ciharus merupakan kawasan yang berada dalam wilayah konservasi alam tertinggi, dan tidak boleh dimasuki tanpa ijin, bisa dimasuki hanya untuk tujuan penelitian dan pendidikan.
Terima kasih.
y.kamil
Jadi untuk bulan agustus.pendakian di tutup?
ansory
Wah menantang banget….sampai sampai saya jadi tersesat hehe