Fb. In. Tw.

Perjalanan Menggali Imaji Mencatat Impresi

Bayangkan, jika jalan-jalan ke luar negeri semudah berlibur ke rumah nenek yang biasa dikunjungi setiap hari raya. Juga ingatan masa kanak-kanak tentang Prancis yang menyenangkan hati. Riang berswafoto di bawah kaki Eiffel. Pun ketika beranjak remaja, ingin berpelukan mesra di jembatan gembok cinta Sungai Seine dengan orang terkasih. Sungguh membahagiakan. Atau, pesona Museum Louvre, kincir angin di Kinderdijk-Elshout, Sungai Venice, bongkahan eksotik Antartika yang terpampang di lembar bekas almanak. Hingga hidangan Escargot terlihat lebih menggoda ketimbang kerang ijo-an yang bisa dinikmati setiap hari di muara.

Semua itu, seolah jadi cita-cita hampir kebanyakan anak-anak yang hingga masa tuanya tetap dikenang-impikan. Lalu, di kemudian hari, diabadikan dalam catatan harian atau dongeng ketika meninabobokan seseorang. Meski, sejurus kemudian saya sadar, keindahan itu ternyata hanya ada dalam puisi. Karena nyatanya, hingga detik ini saya belum kesampaian melawat ke sana.

Lupakan. Karena buku puisi Sebelas Hari Istimewa (Penerbit JBS, 2019) yang ditulis Ratna Ayu Budhiarti jauh lebih konkret daripada mimpi muskil di atas.

Misalnya, tujuh negara di Eropa yang terangkum dalam buku ini terasa menyimpan beragam kesan khusus bagi penulisnya. Kurnia Effendi sebagai sesama traveler pun memberikan kalimat penguatan dalam pengantarnya, “Kumpulan puisi ini memang dirancang sebagai puisi perjalanan menjejak negeri empat musim terutama di dua kota yang memiliki ikatan batin. Sebagai penyair, perjalanan itu tidak mungkin disia-siakan. Apa yang dirasakan sang penyair—sebagaimana saya mengunjungi wilayah baru—bisa serupa, yakni sensasi”.

Kegembiraan, harapan, kenangan, dan doa-doa tak berkesudahan seperti saling berkelindan dengan riwayat hidup sang penyair. Ada semacam kekuatan dan keyakinan yang terus mendorong untuk menaklukkan apa yang disebut sebagai mimpi-mimpi. Maka, disambutlah itu dengan suka cita:

…Kemarilah!/Telah kusiapkan gaun satin imajinasi dalam koper merah hati/ Kita rayakan petualangan dengan debar paling meriah//Menarilah!/Hingga keringat yang sembunyi di balik suhu rendah menyerah kalah pada gairah//Masukkan di ingatan paling dalam/sejak matahari tenggelam atau pagi yang terasa malam:/Di kota-kota di Eropa, aku menemukan jejak tubuh paling pualam/// (Penanda Kota, hlm 21).

Kau yang Istimewa
Meski, tidak seluruh puisi mengungkapkan peristiwa unik dan menarik yang berlangsung sepanjang perjalanan. Ada pula ungkapan hasrat tersirat yang tak terikat oleh ruang dan waktu. Ke mana pun pergi selalu ada, dekat, dan memeluk. Rasa-rasanya, puisi Penanda Kota seperti kode pembuka gerbang perjalanan antara aku (penyair) dan kau (seseorang yang abadi dalam ingatan). Ada seikat kisah yang tak pernah padam. Menjelma benci sekaligus rindu yang membatu. Waktu dibiarkan terus berlalu, padahal pertemuan selalu berlangsung. Situasi ini, diwakili demikian intim oleh puisi Rindu Masih Menderu:

Di dada ini rindu masih menderu/Seperti kanak-kanak yang bandel tak juga mau berlalu/ Kau bertanya, apakah jemu menunggu?/ Jemu itu sudah dibekukan salju Danau Titisee, mungkin ia abadi di puncak gunung Alpen, mungkin cair mengalir menuju Bendungan Amsterdam/yang tak juga bosan menanti kaki kita berkecipak atau menggoreskan nama di pasir Pantai Volendam/Setelah ribuan mil perjalanan rahasia ke Barat: Didera rindu adalah siksa paling candu/// (hlm 35).

Lalu, diam-diam, kau-lirik terselip di antara gigil dingin, monumen, kafe, segelas cokelat panas, dan salju. Mungkin, dengan perjalanan, seseorang mendapatkan obat terbaik untuk segala gundah. Melepaskan penat sebelum kembali menghadapi realita yang rumit dan memuakkan. Tetapi, bukankah sejauh-jauh burung terbang akan kembali ke sarang? Mungkin tidak untuk memperbaiki keadaan karena impian tentang rumah sudah lama koyak.

Atau, simak baris Bagaimana Kelak Kuceritakan (hlm 79) berikut.

Siang yang menggigil di Titisee:
Matahari singgah sekejap
lalu hujan salju jatuh tiba-tiba 

Kita bergantian menebak
kemiringan angin menerbangkan butir putih,
mendarat di tumpukan kayu, membuat rumput sembunyi malu-malu 

Jika di ujung jalan sana
ada gerbang untuk pergi dan
kembali kapan saja,
aku ingin hanya tanganmu yang menggamitku 

Sebab bertualang sendirian
menumbuhkan pertanyaan:
Bagaimana kelak kuceritakan rasa rindu yang sama
sepanjang usia? 

#RAB, 2018

Juga dalam sajak Victorinox:

Pisau terbaik ini bisa mencongkel isi dadamu, mengeluarkan kebusukan yang bercokol di sana terlalu lama/Apakah sumbat di otakmu perlu kubuka juga?/Dalam lipatan ini aku masih punya persediaan/ pembuka untuk kaleng-kaleng berisi kenangan basi yang harus dikeluarkan/demi menyelamatkan hidupmu di masa depan//

Kuberi tahu satu hal, sebuah obeng mungil siap merekatkan rindu kita yang nyaris renggang/sekaligus menjauhkan masa lalu ke belakang//Mari kita tanya kepada pemilik toko/Apakah mereka juga menjual pisau lipat untuk memotong dosa-dosa?/// (hlm 71).

Lantas, siapa sebenarnya ‘kau’ yang selalu disebut dalam puisi-puisi itu?

Kecenderungan impresi tentang rindu yang tak terjelaskan, rasanya, sudah dimulai sejak antologi puisi Dusta Cinta (2008), Surat Menjelang Lepas Lajang (2011), Dada yang Tebelah (2013), Bintang di Air Hujan (2014), dan Magma (2017). Sedikit saja bedanya, di buku Sebelas Hari Istimewa, RAB seperti mendapat dorongan lebih kuat dan intens dari seseorang yang ditahbiskan sebagai anonim, seperti yang dituliskan dalam lembar pembuka: Terima kasih untuk “My Lava” yang mengultimatum deadline, memberi masukan, mendiskusikan setiap detail, hingga menjaga mood saya dengan baik sekalipun kami jadi sering ribut kecil di antara kasih sayangnya yang mengalir.

Apakah ‘kau’ adalah ‘My Lava’?

Buku setebal 129 halaman dengan sampul ala post card ini seperti memberikan petunjuk-petunjuk kecil di setiap bait terakhirnya. Semacam key word atas kisah roman yang sangat personal dan tidak pernah selesai.

Saya percaya, setiap penyair akan terus mengajukan pertanyaan atas segala sesuatu yang sudah dipahaminya sekalipun. Tapi, sialnya, selalu saja ia berkelit dan berusaha menyembunyikan diri. Sebagaimana penyair Bode Riswandi pernah menegaskan: ada yang lekat dalam penantian dan harapan/Ada yang sungsang di puncak takdir/Dan jurang nasib yang mengambang//Aku tak tahu/Ke mana tubuhku dijaring bayangannya//Ia takkan/Bertanya di simpang tubuhku melepas bayangannya/// (Sepasang Tubuh, 2015).

Begitulah.***

KOMENTAR

Pegiat sastra Lingkar Jenar. Pecinta Kopi

You don't have permission to register