Fb. In. Tw.

Museum Multatuli: “Mengembalikan” Multatuli ke Lebak

Museum-Multatuli

Kabupaten Lebak tengah berbenah. Di sela gencarnya pembangunan infrastuktur seperti jalan dan jembatan, Pemerintah Daerah (Pemda) Lebak juga membangun  infrastuktur lain berupa museum dan perpustakaan. Awal Juni lalu, saya berkunjung ke Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Dalam kunjungan itu, saya menyempatkan diri melongok kesibukan Ubaidilah Muchtar mempersiapkan konten dan peresmian Museum Multatuli.

Ubai, demikian sapaan akrab ahli Multatuli ini, didapuk Pemda Lebak menjadi Kepala Seksi Cagar Budaya dan Museum, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak. Lebih dari lima tahun sebelumnya, Ubai terlebih dulu bekerja sebagai pengajar Sekolah Satu Atap (Satap) Sobang, salah satu kecamatan terpencil di Kabupaten Lebak. Di sela rutinitas sebagai pengajar itulah Ubai kemudian merintis dan mengelola reading group Max Havelaar di Taman Baca Multatuli, Ciseel, Sobang.

Museum Multatuli dikelola di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak. Ke depan, dengan memposisikan diri sebagai museum antikolonial pertama di Indonesia, museum ini diharapkan dapat menjadi destinasi wisata unggulan Kabupaten Lebak.

Berikut petikan perbicangan saya dengan Kang Ubai, yang notabene merupakan Kepala Museum Multatuli.

Bisa diceritakan bagaimana gagasan membangun Museum Multatuli ini bermula?
Gagasan membuat museum ini muncul dari pertemuan-pertemuan kecil antara saya, Bonnie Triyana (Majalah Historia), Mas Bambang IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia), dan Mbak Kurie Suditomo eks reporter Majalah Tempo.

Gagasan itu muncul sejak tahun 2009. Beberapa kali kita bertemu di Jakarta, membicarakan gagasan membuat Museum Multatuli. Kebetulan saya punya komunitas, yakni Reading Group Multatuli. Ide itu bergulir, tapi kemudian lama menghilang. Barulah pada 2015, setelah beberapa kali bertemu dengan pihak Pemda dan gagasan itu ditawarkan, ide Museum Multatuli mendapat respon—dalam arti, orang Pemda bilang ayo kita bikin itu museum.

Nah, setelah Pemda memberikan lampu hijau, dan konsep membangun museum diperkuat dengan dasar ingin melestarikan cagar budaya atau sejarah yang berkaitan dengan Kabupaten Lebak, maka dilakukanlah berbagai riset dan Focus Group Discussion (FGD) untuk menunjang pembangunan museum ini.

Beberapa FGD yang dilakukan sebelum museum ini diresmikan menampilkan hasil-hasil riset sejumlah pakar mengenai konten dan desain interior Museum Multatuli. Terlibat dalam riset tersebut antara lain Peter Carey, Sri Margana, Bondan Kanumoyoso, dan Arian dari Belanda, dia  wartawan senior di sana.

Alasan dipilihnya bangunan eks Kantor Wedana ini sebagai museum?
Setelah riset selesai, pertanyaannya memang demikian: di mana lokasi paling pas untuk mendirikan museum? Bagaimanapun, rumah tinggal Multatuli selama 84 hari bertugas di Rangkasbitung masih kontroversi. Apakah di dekat RSUD Rangkasbitung atau di tempat lain. Katakanlah rumah Multatuli itu memang benar di dekat RSUD, tapi kini lokasinya untuk dijadikan museum tidaklah strategis karena sudah dikepung bangunan rumah sakit.

Lantaran begitu, dipilihlah ini, eks gedung kewadanaan Rangkasbitung, yang sempat digunakan sebagai kantor Marwil Hansip (Markas Wilayah Pertahanan Sipil) dan terakhir digunakan oleh Badan Kepegawaian Daerah. Gedung ini dianggap paling strategis karena lokasinya berada di pusat kota (tepat di seberang timur Alun-alun Multatuli, tak jauh dari kantor bupati). Pemugaran pun dilakukan. Pada 2 Desember 2016, pemugaran fisik gedung ini (revitalisasi) selesai, barulah kemudian difungsikan sebagai Museum Multatuli.

Apa rencana paling dekat terkait peresmian Museum Multatuli?
Targetnya, untuk tahun 2017 ini konten museum sudah terisi dan kemudian ada pembukaan, lounching museum. Rencananya, dengan tujuh ruangan, museum ini bakal dibagi ke dalam empat sesi, yakni 1) Kolonialisme, 2) Multatuli dan Karyanya, 3) Banten dan Lebak dari Zaman Prasejarah, dan terakhir 4) Rangkasbitung Masa Kini.

Nah, gambaran isi/konten materi ke depan seperti apa?
Rencananya, di sesi satu bakal ada film dokumenter tentang kolonialisme dan sejarah Lebak. Kemudian ada labirin tentang sejarah kolonialisme. Kami juga akan membuat display dan materi yang seinteraktif mungkin, dan semudah mungkin dipahami sehingga pengunjung tidak berpikir bahwa kolonialisme adalah materi yang berat. Mudah-mudahan nanti tampilan/display konten materinya demikian segar, interaktif, dan ya itu tadi, mudah dipahami.

Tak terkecuali patung. Patung-patung yang ada nanti—antara lain patung Multatuli, patung Saijah, dan patung buku—bakal kami tempatkan di sekitarnya bangku-bangku dan rak sehingga pengunjung bisa menggunakan area itu (area halaman museum) sebagai tempat berfoto yang tidak membosankan. Mudah-mudahan hal itu bisa memberikan pengalaman pengetahuan yang mengesankan bagi pengunjung.

Selain itu, buku Max Havelaar dalam berbagai bahasa akan kami tampilkan juga di sesi Multatuli dan Karyanya. Hanya, tidak semua karya itu ditampilkan bersamaan. Digilir saja, misalnya tiga bulan pertama versi bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis novel Max Havelaar dipajang. Beberapa bulan kemudian versi dari bahasa lain yang ditampilkan. Diketahui, sejak pertama kali terbit pada 1860, hingga saat ini Max Havelaar sudah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa.

Banten dan Lebak dari Zaman Prasejarah itu jelas ya. Berbagai artefak dan informasi mengenai kedua wilayah itu akan kami tampilkan di sesi tiga. Adapun soal Rangkasbitung Masa Kini, di dalamnya akan kami sajikan, misal, “Apa dan Siapa Orang Rangkasbitung”. Kami juga berencana menampilkan sosok-sosok yang pernah berkarya di—atau mengambil tema—Rangkasbitung. Antara lain Tan Malaka, W.S. Rendra, Misbach Yusa Biran, dan wanita menteri pertama Republik Indonesia: Maria Ulfah. Dua nama terakhir tercatat sebagai putera asli Rangkasbitung. Rumah dan keluarganya juga masih ada di Rangkas hingga sekarang.

Dengan luas ruangan yang terbatas—luas area 2000 m2 dan luas bangunan hanya 500m2—apakah semua sesi itu dapat memberikan pelayanan dan pengalaman maksimal kepada pengunjung?
Paradigma museum saat ini adalah paradigma museum yang tidak akan pernah selesai. Karenanya, konten itu dinamis selalu mengikuti perubahan zaman. Jadi, jangan berharap, misalnya, semua konten adalah diorama dan barang-barang statis. Sekarang banyak museum digital yang kontennya bisa diproduksi dan diperbarui terus menerus.

Target ke depan, ini menjadi museum antikolonial pertama di Indonesia. Kalau itu berhasil, sehingga mendorong lebih banyak konten yang bisa kita pamerkan, selanjutnya harus ada banyak program yang selain mengedukasi juga bisa menarik banyak pengunjung agar datang ke museum ini. Dan tak kalah penting dari itu semua, ide-ide Multatuli atau ide-ide tentang kemanusiaan bisa terus digulirkan lewat museum ini.

Apakah tema museum antikolonial pertama itu tidak terdengar berlebihan?
Begini, meski tema museum ini khusus, yakni Multatuli, namun secara isi tidak melulu Multatuli. Kami berangkat dari dua sisi. Pertama dari Sejarah Banten dan Lebak. Kedua dari sisi kolonialisme. Banten dan Lebak sebagai sebuah wilayah, dan kolonialisme sebagai sebuah sistem yang masuk ke daerah ini.

Nah, Multatuli hadir beririsan dengan keduanya. Di satu sisi dia bertugas sebagai asisten residen di Lebak yang kemudian malah justru menghajar kolonialisme, sedang di sisi lain dia juga membawa perubahan yang dampaknya tidak hanya buat Lebak, tapi juga buat dunia.

Setelah Multatuli bertugas di Lebak, dia menulis Max Havelaar, novel pertama di dunia yang membuka kebusukan sistem kolonialisme di Hindia Belanda. Itulah karya yang, dalam tanda petik, membawa pencerahan serta semangat antikolonial ke dunia. Dengan spirit dan kesadaran sejarah semacam itu, pada akhirnya Multatuli bukan hanya milik Lebak atau Indonesia, tapi sekaligus milik dunia. Itulah alasan mengapa kami memilih positioning “Museum Antikolonial” kepada museum ini. Kami berharap museum ini bisa kembali melambungkan nama Lebak di pentas dunia, baik sebagai wahana edukasi sekaligus rekreasi. Bagaimanapun, Multatuli punya peran sebagai jembatan. Dulu, dialah sosok pertama kali yang membawa nama Lebak ke pentas dunia.

Multatuli memang sebentar tinggal di Lebak, yakni sejak 21 Januari 1856 hingga 4 april 1856. Dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Hanya, yang dilihat bukan seberapa lama dia tinggal, tapi seberapa besar pengaruhnya pada dunia saat itu.

O iya, kapan museum ini bisa dibuka untuk umum?
Sekarang juga sudah bisa, setiap hari selalu ada anak-anak sekolah yang datang ke museum ini, tapi cuma untuk foto-foto karena memang museumnya sendiri masih kosong. Semoga Agustus tahun ini konten sudah masuk, sehingga Museum Multatuli siap menerima kunjungan wisatawan. Yang jelas, jika konten sudah siap, selain membutuhkan fasilitator atau pemandu, kami juga butuh seorang kurator dengan klasifikasi magister museologi.

Terakhir, selain wahana pariwisata, kiranya apa arti keberadaan Museum Multatuli bagi masyarakat Lebak sendiri?
Museum Multatuli telah menjadi salah satu ikon sekaligus program unggulan Kabupaten Lebak di bidang sejarah, sehingga, terlepas dari pro-kontra isi novel Max Havelaar, museum ini harus menjadi simbol kebanggaan masyarakat Lebak. Di beberapa kesempatan, bupati Lebak Ibu Iti Jayabaya juga terus memberikan dorongan penuh pada museum ini.

Di luar itu, langsung tidak langsung, keberadaan museum Multatuli juga melengkapi “infrastruktur Multatuli” lain yang sudah lebih dulu ada di Lebak, yakni Aula Multatuli, Alun-alun Multatuli, Jalan Multatuli, juga cagar budaya bekas rumah Multatuli. Multatuli telah mengenalkan Lebak ke dunia, dan lewat museum ini, kami ingin “mengembalikannya” ke Lebak.  

***

Bagaimana, Teman Baik, sudahkah Anda merencakan kunjungan ke Museum Multatuli? Apalagi, dengan segala potensi yang ada, kawasan Lebak (lebih khusus lagi Rangkasbitung) tengah disiapkan Pemda setempat agar menjadi kawasan wisata sejarah dan heritage unggulan di Provinsi Banten. Menarik, bukan?[]

Post tags:

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register