
Mereka yang Duduk di Beranda
Catatan Selaksa Biru
Gigil Bandung menggiring kami ke mari, ke Gedung Pentagon yang hangat dan sendu ini. Cuaca ringkih. Seperti hendak merengkuh. Hari langut. Rintik hujan yang ritmis mengekalkan beku yang kelu. Orang-orang yang mendiami gedung ini sering menamakan dirinya Anak Pentagon. Sementara untuk saya dan teman-teman, mereka memberi nama Ahim. Anak Himpunan.
Setahun sekali kami mengembara. Pergi ke gunung. Menyusuri kebun teh. Menikmati lembah dan bukit. Bermalam di tepi danau. Membangun tenda. Memasak nasi. Menyanyikan lagu rindu. Bermesraan dalam dekapan pinus dan mahoni. Bercumbu di antara cericit burung dan luasnya langit. Menghirup ruap embun. Saling memandang di antara kecipak ikan dan derasnya air di dermaga kecil.
Ya, setahun sekali kami pergi ke Situ Lembang!
Hubungan kami sangat erat. Seperti anak-anak yang kehilangan induk. Kami saling menjaga. Saling menutupi. Saling sayang. Kami tak akan pernah bosan. Tak pernah jera menyapa. Saling berbagi. Saling melengkapi. Kami suka membantu. Seperti keluarga yang ditinggal pembantu.
Kami menyediakan waktu. Sebab waktu selalu bersedia berbagi. Seperti juga matahari. Tak lelah berbagi cerah. Datang di pagi. Lalu pergi saat petang datang. Kami selalu bersedia menampung curah perasaan. Kegalauan juga kehilangan.
Di beranda ini kami sering berbagi kisah. Tempat mencurahkan segala keresahan. Di beranda ini kami duduk. Saling menghadap. Saling tahu. Saling mengenal.
Tidak pernah mempermasalahkan asal. Jarang bicara tentang semula. Juga tidak tentang kereta yang membawa kami berangkat. Kami tak pernah memperdebatkan rumah. Sebab rumah yang paling rumah, ya, di sini. Di pentagon ini.
Kami berbicara tidak saling menyela. Di beranda ini kami begitu leluasa. Seperti burung di langit. Meski seperti di paragraf awal langit sedang menangis. Biarkan saja seperti burung. Ya, burung yang terbang bebas. Maka kami pun bebas bicara di beranda ini. Menghadap ke utara.
Kami menyediakan ruang berbagi. Juga dengan tetangga di lantai satu dan dua. Di antara kami, para penghuni, juga pernah saling bertempu, meski tidak sampai mati. Jika air terhambat. Kami suka curiga. Jangan-jangan ditahan di lantai bawah. Namun itu hanya sesaat. Sebab kami lalu akan pergi ke bawah dan ikut serta di sana. Atau jika penghuni di lantai bawah sedang kelaparan. Kami dengan suka cita mengajaknya makan.
Kembali ke soal beranda. Di suatu malam, kami tertahan di sini. Begini cerita malam itu. Di beranda ini angin selalu bertiup kencang. Terdengar mengkhawatirkan. Gerakannya mengangkat atap beranda. Menerbangkan kain-kain yang diikat di tiang. Langit pekat. Di beranda ini kami sedang menunggu. Menunggu mereka yang pergi sejak siang hari. Kudengar suara-suara. Kami bergegas mengarahkan mata.
Di lantai satu, di piano di ruang 085 bernyanyi baris-baris puisi: aku tengah membangun/sebuah rumah/kau dan aku//. Baris dari Mukti-Mukti. Di dalam gelap. Mereka yang datang telah tampak. Sebelum baris lagu selesai. Sebelum lampu di terminal kembali mati.
Dian telah kembali. Ya, dia telah pulang! Kami yang di beranda tahu. Bahwa kami harus bersiap kecewa. Bersedih. Daun-daun avokad berbagi gelisah di depan beranda.
Dia membawa kabar. Kami harus pergi. Sebab ruang tidak lagi sedia berbagi. Kami mesti bergegas. Berkemas untuk kepindahan. Sebentar kami akan mati. Kami akan terbakar. Ruang kosong. Harus dikosongkan.
Di beranda ini kami duduk. Mengenang yang akan segera terbang.
Masih di beranda. Hafidoh menunggu. Dua yang lain juga di sana. Hardiana Dian berjalan pelan menuruni tangga. Memunggungi beranda. Hafidoh tercekat. Ingin teriak. Hafidoh hanya mampu berbisik, “Dian, ingatlah Pram yang pernah berujar, Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Mereka yang duduk di beranda itu, mungkin seperti baris puisi Goenawan Mohamad, sedang mengekalkan yang esok mungkin tak ada.[]
Bandung, 7 November 2014
Sorry, the comment form is closed at this time.
enki
oke deh, las
Selaksa Biru
Denkidu: Kok, las?