Fb. In. Tw.

Menapaki Jejak Soekarno di Bandung

Bandung punya peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Di zaman pemerintah kolonial, tepatnya tanggal 25 Desember 1912, kota berjuluk Paris van Java ini menjadi saksi berdirinya partai politik pertama di kawasan Hindia-Belanda, Indische Partij (IP).

IP memang tidak bertahan lama. Setahun kemudian, partai tersebut dibubarkan dan para pendiri sekaligus pimpinannya—Suwardi Surjaningrat, dr. Tjipto Mangunkusumo, dan E.F.E. Douwes Dekker—diasingkan ke Belanda. Namun, biarpun demikian, semangat menentang kolonialisme tidak surut di Bandung. Tokoh demi tokoh bermunculan, demikian pula gerakan demi gerakan.

Salah seorang tokoh yang menempa kehidupan pribadi dan kesadaran nasionalismenya di Bandung adalah Soekarno. Bagi Bung Karno—demikian sapaan yang didapat Soekarno dari masyarakat Bandung—Bandung adalah “kawah candradimuka” yang berhasil menggodoknya menjadi seorang pemimpin. Di Bandung pula Bung Karno pertama kali mengenal hangatnya cinta serta dinginnya kamar penjara. Ruang-ruang diskusi di Bandung, bertemu Marhaen, mendirikan Fikiran Ra’jat dan Partai Nasional Indonesia, adalah momen-momen penting dalam hidup Soekarno yang mengantarnya meraih kemerdekaan.

Lewat “Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934)”, Her Suganda menampilkan cerita-cerita mengenai kehidupan Soekarno selama 13 tahun tinggal di Bandung. Diawali dengan Tiga Serangkai, Duri dalam Daging dari Gemeente Bandoeng (hal. 1), Her mengungkapkan bagaimana perjuangan yang dirintis Tiga Serangkai menjelma menjadi jalan pembuka bagi karir politik Soekarno di kemudian hari.

Selanjutnya, Her bercerita mengenai awal kedatangan Soekarno di Bandung (hal. 11), hubungannya dengan dosen sekaligus arsitek terkemuka C.P. Wolff Shoemaker (hal. 26), serta saat-saat Soekarno bertindak sebagai pengajar (37).

Kedatangan Soekarno ke Bandung memang berkaitan dengan urusan akademik. Namun, di jantung tanah Priangan inilah ia kemudian dikenal sebagai seorang pejuang, politikus, sekaligus “singa podium”. Pada sebuah rapat umum di alun-alun Bandung, Soekarno yang tidak tercantum dalam daftar pengisi acara nekat mendesak ke atas panggung lalu berpidato menyeru hadirin untuk berhenti melakukan sembah sujud di depan pemerintah kolonial. Peristiwa tersebut akhirnya sampai ke Rector Magnificus Prof. Ir. Jan Klopper. Sang rektor pun mengingatkan Soekarno agar lebih mementingkan belajarnya (hal. 60).

Masa-masa perjuangan Soekarno dituliskan Her Suganda dari bagian Kawasan Etnik Sunda, Pusat Tokoh Kaum Pergerakan Kemerdekaan” (hal. 49) hingga “Selamat Tinggal Kota Bandung, Selamat Tinggal Tanah Priangan” (hal. 159).

Di sela bagian itu, diceritakan pula bagaimana Soekarno mendekam di penjara (hal. 91 dan hal. 115), sikap teguhnya menolak imperialisme di depan Sidang Landraad (hal. 105), juga penghormatannya yang luar biasa terhadap sang istri, Inggit Garnasih (hal. 129).

Tiga bagian terakhir buku ini, Bangunan-bangunan Karya Bung Karno Berakhir Tragis (hal. 169), Nostalgia Bung Karno dengan “Mang Marhaen” yang Tidak Terlupakan (hal. 185), dan Kopiah “M. Iming Bandoeng” dan Kopiahnya Bung Karno (hal. 195), menunjukkan pertalian emosi yang kuat antara Bung Karno dan masyarakat Bandung.

“Jejak Soekarno di Bandung” dapat berperan lebih dari sekadar media dokumentasi belaka. Gaya tutur Her Suganda yang mampu menyentuh batin pembaca, dilengkapi foto-foto yang berkaitan dengan Soekarno muda, membuat buku ini terasa hidup dan menggetarkan. Kesan itulah yang menjadikan buku ini menarik dan penting.

Selain dapat menumbuhkan kebanggaan masyarakat Bandung, buku ini dapat pula dijadikan pegangan oleh siapa pun yang bertekad membangkitkan citra Bandung sebagai kota perjuangan. Citra yang lama terlupakan, sejak Bandung lebih dikenal sebagai kota kuliner dan mode.

Buku ini menjadi kenangan terakhir pula dari Her Suganda bagi kota Bandung dan dunia jurnalistik. ia wafat pada 18 Mei 2015. Semasa hidupnya ia mengabdikan diri sebagai seorang wartawan. Ia juga panutan wartawan-wartawan muda di kota Bandung.[]

Judu: Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934)
Penulis: Her Suganda
Penebit: Kompas
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: xiv + 242 halaman
ISBN: 978-979-709-923-7

KOMENTAR
Post tags:

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register