Fb. In. Tw.

Ketan Bakar Sore

Catatan Selaksa Biru

 

Catatan ini bukan tentang seseorang yang heroik. Bukan tentang penyair yang menulis puisi sambil ongkang-ongkang kaki di kafe-kafe. Penyair yang tampil dari festival ke festival, bukan. Bukan itu. Atau tentang demonstran yang berteriak tentang rakyat sambil menginjak kepala rakyat, bukan. Sudah pasti, bukan. Lalu mungkin tentang mahasiswa kutu buku dengan semua nilai mata kuliah A namun buta lingkungan sekitar? Bukan juga. Ah, lalu tentang siapa! Atau tentang guru necis yang membunuh kretivitas muridnya dan hanya tahu bahwa sastra adalah Horison. Seolah sastra hanya milik Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Jamal D Rahman, Agus R. Sarjono, and the gank. Tutup mata pada dunia sastra yang lebih lebar. Kemudian masih saja mengutip sajaknya Sapardi Djoko Damono sebagai andalan. Sudah pasti, BUKAN.

Ini catatan tentang orang biasa. Mereka yang bekerja. Memeras keringat demi laju kehidupan. Tentang mereka yang hidup dari usahanya sendiri. Mereka yang bergembira dengan hasil sedikit namun dari bekerja. Mereka yang tidak pernah merengek-rengek di kaki birokrat. Pantang mengemis demi pundi-pundi. Jauh dari menjilat-jilat demi memuaskan hasrat kuasa. Tidak sudi menjual proposal demi kegiatan yang uangnya lalu dipotong di sana-sini. Benci makan uang blokgren pemerintah. Tidak. Ini bukan tentang yang demikian.

Ini tentang mereka yang mengamalkan kalimat Pramoedya Ananta Toer: Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.

Ini tentang penjual ketan bakar. Ya, tentang dia!

Dari mana kita harus memulai?

Baik dari sini saja: di antara gedung Pentagon dan lapangan parkir itu ada jalan kecil. Tidak. Tidak tepat jika dikatakan jalan. Lebih tepat kita disebut gang saja. Ya, gang kecil! Kami menyebutnya Gang Danus. Danus kependekan dari Dadan ‘Sanusi’ Saputra. Siapa Dadan Saputra? Mengapa nama dia dijadikan nama jalan? Berjasakah dia?

Maaf. Tentang Dadan Saputra silakan pembaca mengeceknya di mesin pencari, semisal google. Bisa pula bertanya kepada Lukman Asya atau Ujianto Sadewa. Namun bagi pembaca yang baru masuk kuliah di UPI tidak usah khawatir. Meski ini tentang mereka yang mungkin sudah sangat tua. Bagi mereka yang baru masuk UPI bisa juga bertanya ke Dian Hardiana, lelaki setia pengelola web buruan.co ini.

Jika sore tiba. Di dekat Gang Dadan Saputra ini mangkal penjual ketan bakar. Tepatnya di samping kanan gedung Pentagon. Di depan sekretariat Hima Bahasa Arab. Saya mohon maaf tidak tahu nama dia. Mungkin Aang Kusmawan bisa melakukan investigasi kecil-kecilan demi melengkapi kekurangan ini. Namun kita sebut saja, ia Mang Acil.

Mungkin cerita saya ini akan membosankan pembaca. Dan kata seorang kawan siapa yang masih membicarakan tentang Pentagon ini artinya sudah tua. Namun biarkanlah!

Baik kita lanjutkan saja.

Mang Acil biasa mangkal di depan gedung Pentagon. Ia datang bersamaan ketika matahari tenggelam. Datang dari arah barat. Dari sekitaran Geger Arum. Geger Arum adanya di belakang kolam renang UPI. Di pundak Mang Acil ada tanggungan. Tanggungan itu terkait pada dua buah kotak berwarna biru. Di bagian depan ada perapian. Di atasnya ada kawat untuk memanggang ketan. Lalu satu kotak lagi di belakang. Berisi perlengkapan ia berjualan. Daun, ketan, sambal, arang, juga laci tempat menyimpan uang.

 

Mang Acil akan berdiam menunggu pembeli hingga suara adzan di masjid Alfurqon memanggil. Ia akan sabar menanti tiap rezeki yang singgah. Jika kebetulan sedang lapar. Menikmati ketan bakar panas dengan sambal oncom beralas daun pisang di antara dinginnya udara Ledeng, adalah kenikmatan yang hanya bisa disandingkan dengan nikmatnya daging kurban yang dibuat rendang, diolah dengan tangan sendiri.

Ya, ketan bakar panas dengan sambal oncom itu enak sekali.

Menjelang Isa ketika pembeli sudah mulai jarang. Ketika mahasiswa yang lapar sudah beringsut. Kembali menulis sajak sambil sesekali menguap karena mengantuk kekenyangan makan ketan bakar. Ketika tidak ada lagi mahasiswa kemalaman yang lapar selepas berdebat di lantai tiga. Dan di depan gedung Pentagon di bawah baligo besar Komuitas Lakon sudah sepi dari yang duduk-duduk. Mang Acil akan pergi. Tujuan selanjutnya yaitu terminal Ledeng.

Di terminal Ledeng, Mang Acil tentu saja masih berjualan ketan bakar. Jika sebelum magrib ia melayani mahasiswa. Maka malam hari penikmat ketan bakarnya sebagian besar adalah sopir angkot yang kemalaman atau yang sedang dapat tugas narik malam.

Ke mana Mang Acil sekarang? Apakah ia masih berjualan ketan bakar? Saya tidak tahu. Salam ketan.[]
Bandung, 10 Oktober 2014

Sumber foto: alfonevici.blogspot.com

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

KOMENTAR
You don't have permission to register