Fb. In. Tw.

High Heels: Antara Etgar Keret, Ugoran Prasad, dan Budi Darma

Terkadang saat membaca suatu karya sastra, saya kerap teringat karya lain. Baik karya dari pengarang yang sama atau dari pengarang berbeda. Khususnya membaca cerita pendek, peristiwa mengingat tersebut biasanya terpicu dari kesamaan tema, gaya bercerita, bahkan objek yang hadir dalam cerita.

Begitu juga ketika membaca cerpen Sarah Nurhalizah berjudul “High Heels” yang terbit di HU Pikiran Rakyat, Minggu, 8 Juli 2018. Sedari judul, cerpen tersebut membuat ingatan saya bekerja. Pengarang menghadirkan cerpen dengan judul salah satu jenis sepatu. Itu membuat saya teringat dengan cerpen “Sepatu”1 karya Etgar Keret, penulis dari Israel, dan “Sepatu Tuhan”2 karya Ugoran Prasad, penulis dan personel Melancholic Bitch dan bergiat di Teater Garasi.

Masing-masing pengarang tentu punya cara berbeda menghadapi permasalahan. Begitu juga dengan menceritakan permasalahan tersebut. High heels dalam cerita Sarah Nurhalizah dan sepatu dalam cerita Etgar Keret dan Sepatu Tuhan tentu memiliki ciri tersendiri.

Dalam ulasan ini, saya akan mencoba membandingkan cerpen “High Heels” karya Sarah Nurhalizah dengan cerpen “Sepatu” karya Etgar Keret dan “Sepatu Tuhan” karya Ugoran Prasad. Selain itu, saya juga mencoba menghadirkan perbandingan dengan Fofo dan Senggring kumpulan cerpen Budi Darma untuk melihat psikologis tokoh dalam “High Heels”.

Membandingkan Sepatu
Setiap jenis sepatu memiliki fungsi masing-masing. Sepatu bot misalnya digunakan para pekerja di pabrik tahu dekat rumah saya. Tidak mungkin buruh perempuan mengenakan sepatu high heels atau buruh lelaki mengenakan sepatu pantofel. Kalau pun ingin memaksa mengenakan itu, tidak apa-apa juga. Tapi untuk apa?

Dalam ruang dan profesi lain, sepatu jadi standar tersendiri. Pesepakbola profesional misalnya punya sepatu khusus untuk berlaga. Seorang tentara dan PNS juga mesti mengenakan sepatu yang telah ditentukan. Jika mereka tidak mengenakan sepatu tersebut, mereka tidak bisa melakukan pekerjaan mereka.

Membaca judul “High Heels” dalam cerpen Siti Nurhalizah membuat saya memikirkan beberapa kemungkinan konflik, salah satunya mengenai isu-isu perempuan. Melihat biografi pengarangnya yang seorang perempuan, kehadiran high heels, dan tokoh perempuan dalam cerita menguatkan kemungkinan itu. Awalnya.

Seperti sepatu dalam cerpen “Sepatu” karya Etgar Keret, misalnya. Sepatu jadi benda yang tak hanya sekadar dipakai tokoh aku untuk bermain bola saja. ada konflik batin tokoh aku yang merupakan orang Israel ketika mengenakan sepatu buatan Jerman.

Aku melangkah pelan keluar pintu. Aku berjinjit berusaha menumpukan sedikit mungkin berat tubuhku ke sepatu.

Pada deskripsi di atas kita bisa lihat tokoh aku tidak menikmati ketika mengenakan sepatu buatan Jerman. Padahal sepatu tersebut merek terbaik di dunia, dan bukan sepatu murah buatan Israel. Sepatu itu sama dengan yang dipakai Cruijff. Batin tokoh aku ketika mengenakan sepatu tersebut dipicu peristiwa Holokaus. Peristiwa ketika para tentara Nazi melakukan genosida kepada yahudi.

“Sepatu” karya Etgar Keret menempatkan sepatu tidak hanya sebagai aksesoris semata. Tapi jadi benda yang merepresentasikan identitas dan peristiwa lain.

Dalam “High Heels” karya Sarah Nurhalizah, ada upaya melakukan hal serupa. Pada paragraf pertama pembaca akan menemukan seorang tokoh perempuan bernama Mikaila yang dirundung kemurungan. Ia seorang pegawai bank yang dituntut berpenampilan menarik.

Bekerja di bank yang selalu mengedepankan penampilan membuat Mikaila harus mengeluarkan sedikit dari gajinya untuk membeli kebutuhan yang menunjang penampilannya. Apalagi high heels yang selalu ia gunakan harganya tidak main-main.

Bagus tidaknya suatu cerita tidak cukup jika menilainya dari paragraf pertama. Meski menempatkan high heels sebagai barang yang mahal bagi tokoh Mikaila, “High Heels” sendiri tidak menyoroti permasalahan tersebut. Tidak ada deskripsi yang menunjukkan batin Mikaila terhadap high heels. “High Heels” malah menyoroti hal yang jauh dengan peristiwa yang bisa direpresentasikan oleh high heels.

“Sepatu Tuhan” karya Ugoran Prasad tidak menjadikan sepatu sebagai representasi bagi suatu peristiwa. Tapi sepatu jadi pemicu konflik dalam cerita. Tanpa Asan dan Sardi menerima sepatu dari Rahman Jereng, cerita tak akan ada.

Meski begitu, sepatu dalam cerpen Ugoran memiliki identitas yang jelas. Sepakbola jadi peristiwa yang hadir dalam cerita. Di luar konflik balas dendam, cerpen mengkritik persepakbolaan Indonesia. Rahman Jereng sebagai preman dan bandar judi kampung, bisa jadi representasi mafia-mafia dalam persepakbolaan Indonesia.

Sayang, Sarah Nurhalizah tidak melakukan hal yang sama dengan Ugoran Prasad. high heels dalam cerpennya tidak menjadi pemicu lahirnya konflik. Justru yang jadi pemicu konflik dan jadi bagian tak terpisahkan adalah tokoh Ibu yang sakit.

Dalam cerita, high heels tidak mendapat ruang yang begitu penting. Maka ketika high heels dihilangkan tidak menjadi persoalan. Adapun kehadiran high heels hanya membebani cerita.

Ada upaya dari Sarah Nurhalizah untuk membuat high heels sebagai representasi dari Ibu. Namun upaya tersebut terkesan memaksakan karena tidak terbangun dengan baik, cenderung memaksakan, dan begitu tiba-tiba. Upaya tersebut terlihat pada paragraf akhir cerita.

Mamah kayak high heels yang selalu Mika Pake. Selalu melengkapi penampilan Mika dan selalu Mika butuhkan, tapi sayang lama kelamaan pake high heels bikin kaki. Walaupun Mika ingin ngelepasin terus ngelemparin high heels yang Mika pakai, tapi Mika nggak bisa karena high heels yang Mika punya berharga.

Psikologis Tokoh yang Sempit
Jika dibandingkan dengan high heels, psikologis tokoh Ibu menjadi hal yang dominan dalam cerita. Peristiwa-peristiwa dalam “High Heels” dipicu oleh peristiwa tersebut. Cerpen-cerpen dengan psikologi tokoh yang dominan, selalu mengingatkan saya pada karya-karya Budi Darma yang memang karyanya terkenal dengan kekuatan tokoh-tokohnya.

Fofo dan Senggring adalah salah satu kumpulan cerpen Budi Darma. Psikologi tokoh-tokoh dalam tiap cerita sangat dominan. Hampir seluruh tokoh dalam tiap cerita memiliki gejala narsisisme.

Meski menghadirkan gejala narsisisme pada tiap tokohnya, Budi Darma tidak membuat cerita yang berkutat pada psikologis saja. Psikologis tokoh jadi cara untuk menyoroti hubungan-hubungan sosial pada tokohnya. Semacam hegemoni satu tokoh pada tokoh lain.

Secara sederhana, cerita dalam kumpulan cerpen Fofo dan Senggring tidak hanya berkutat pada konflik psikologis saja. Tapi, memuat juga konflik-konflik sosial.

Dalam “High Heels” karya Sarah Nurhalizah, saya tidak mendapati upaya tersebut. Penyakit Alzheimer yang diderita tokoh Ibu tidak dibangun dengan motif yang kuat dan menarik. Bahkan tindakan tokoh Ibu yang menderita penyakit Alzheimer terlampau biasa. Cerpen seolah hanya menunjukkan cara kerja penyakit Alzheimer.

Baca juga:
Menikmati Secangkir Kopi dengan Tergesa
Kisah Cinta yang Terkesan Puitis

Selain itu, cerpen menyuguhi hubungan antar anak dan Ibu. Pembaca akan mendapati ucapan-ucapan kasar dari tokoh Mikaila terhadap Ibunya.

“Mah kalo seenggaknya nggak bisa gak usah masak daripada buang-buang bahan masakan kaya gini! Mamah masak sup apa bikin teh manis sih?! Kenapa supnya malah kemanisan gitu.”

Secara sepintas, ucapan-ucapan kasar Mikaila terhadap Ibunya memang tidak masalah karena memiliki motif yang melatarbelakangi ucapan tersebut. Tapi ucapan kasar tersebut jadi terasa janggal mengingat Ibunya menderita penyakit. Tokoh Mikaila jadi tampak seperti anak durhaka.

Secara keseluruhan, kita memang tidak akan menemukan kesamaan antara “High Heels” karya Sarah Nurhalizah dengan karya Etgar Keret, Ugoran Prasad, dan Budi Darma. high heels sebagai judul cerita tidak menggambarkan secara penuh isi cerita.

Selain itu, psikologis tokoh dalam cerita terasa sempit. Cerita tidak berupaya untuk menyentuh hubungan sosial antar tokohnya. Cerita hanya menunjukkan hubungan personal anatara tokoh Ibu dan anak.

Apakah cerpen “High Heels” karya Siti Nurhalizah ini jelek? Bukan itu permasalahannya.[]

1Cerpen “Sepatu” karya Etgar Karet yang diterjemahkan oleh M. Aan Mansyur. Bisa diakses di https://medium.com/@hurufkecil/cerita-pendek-etgar-keret-dedee1ab681c

2Cerpen Ugoran Prasad yang terbit di Kompas. Bisa diakses di https://cerpenkompas.wordpress.com/2007/11/18/sepatu-tuhan/

Redaktur Umum buruan.co. Menulis puisi dan cerpen. Hobi menonton film.

KOMENTAR
You don't have permission to register