Diskusi Pagi Bersama Cinema Poetica
“Dalam kesenian, satu-satunya sumber informasi yang bebas hanyalah kritik. Lainnya itu iklan,” tulis Adrian Jonathan dari Cinema Poetica di slide pertama presentasinya. Kalimat itu dikutip dari Pauline Kael, sang kritikus film asal Amerika. Peserta yang hadir dalam “Seminar Apresiasi dan Kritik Film” pun mulai tertarik untuk memerhatikan keberlanjutan bahasan Adrian. Seminar ini diselenggarakan dalam rangkaian acara Festival Film Ganesha, pada hari Sabtu (20/02/2016) di kafe DU71A, Bandung.
Bukan tanpa alasan Adrian mengutip kalimat Pauline Kael. Melalui sepenggal kalimat itu, ia mempertanyakan “Apa sih maunya resensi film di Indonesia?” Karena amatannya, selama ini banyak juga tulisan yang dicap sebagai kritik, tapi pada akhirnya hanya sebagai bentuk lain dari iklan. “Resensi pesanan,” sindirnya. Jadi, apakah pernyataan Pauline Kael itu tetap berlaku di Indonesia? Bukan jawaban yang diinginkan Adrian, tapi justru kalimat itu mesti menjadi slogan yang diterapkan oleh pelaku kritik film di Indonesia.
Selain kritik yang masih berlaku sebagai iklan, Adrian menyinggung mengenai bahasa dalam kritik film. “Kritik film, atau kesenian pada umumnya, mestinya dapat melepaskan diri dari bahasa teknis yang tidak dimengerti banyak orang. Bahkan, kritik film dapat dibahasakan dengan pengalaman pribadi,” jelas Adrian. Ia kembali menuturkan tulisan yang dihasilkan Pauline Kael, di mana ia membahas suatu film ke pengalaman pribadinya saat berbincang dengan mertuanya sendiri. Adrian menekankan, ditakutkannya kegagalan kritikus film dalam retorika yang tidak dimengerti banyak orang.
Mengapa kritik film penting? Adrian memaparkan tiga perspektif kelayakan suatu produk film, atau kesenian pada umumnya. Pertama, standar kelayakan dari perspektif pemerintah. Inilah yang seringkali menjadi wacana dominan yang memengaruhi kehidupan kesenian. “Bagaimanapun, di negara manapun, negara pasti memiliki wacana tersendiri yang nganggap kesenian itu seperti apa,” jelas Adrian. Pengaruh pemerintah itu berupa nilai-nilai sosial dan budaya yang dianggap pantas berlaku di Indonesia, yang akhirnya diterjemahkan dalam kebijakan kebudayaan berupa Undang-undang atau produk hukum lainnya. Berbagai produk hukum itulah yang akhirnya mengatur bagaimana produk, ruang, dan apresisasi kesenian kita, termasuk film.
“Misalkan saja terkait sensor dalam Undang-undang Perfilman Nomor 33 tahun 2009, pemerintah banyak aturan untuk melarang ini itu, padahal penonton kita akan cerdas menerjemahkan makna dan pesan dari suatu film,” kata Adrian. Menurutnya, salah satu sistem nilai yang sedang dibentuk oleh Pemerintah ialah melalui festival-festival film yang didanai negara, misalnya FFI. Film dengan nilai yang sesuai dengan wacana Pemerintah itulah yang akan menjadi juara. Sehingga kita seringkali berpikir dalam proses konsumsi hingga produksi, bahwa film yang bagus ialah film yang seperti juara dalam festival tersebut. Padahal, konsep “bagus” masih bisa diperdebatkan.
Kedua, standar kelayakan dari perspektif pasar. Bagi kaum kiri, mendengar pasar pasti langsung berada dalam nalar yang paling kritis dan sentimentil. Sebab, pasarlah yang membuat ekspansi berbagai film dengan kualitas yang tak jelas. Industri menjadikan segala komoditas kehidupan disulap menjadi film yang dipaksa laku dipasaran dengan beragam cara. “Benar kata Efek Rumah Kaca, pasar memang dapat diciptakan, dapat dibuat,” sindir Adrian.
Karena pasar film, kita seringkali pergi ke bioskop dengan hidangan menu film yang sangat terbatas, dan pada akhirnya kita mengeluarkan uang hanya untuk memeras tangisan, atau tertawa untuk hal-hal tak bermakna. Adrian menuturkan, bahwa standar kelayakan dalam perspektif pasar ialah memproduksi film yang dapat menghasilkan banyak laba dan membuat rumah produksinya tetap bertahan (berkelanjutan). Karena itu, perspektif pasar membuat tata kelola dan tata edar yang hanya akan membuat rumah produksi mereka untung, melalui gerai dan komoditas yang dapat dikonsumsi oleh publik. “Film hantu yang laku di pasaran, contohnya,” tutur Adrian.
Ketiga, standar kelayakan hadir dari perspektif publik. Inilah yang seringkali tidak terlacak dalam kesadaran masyarakat kita. “Dalam festival film yang diselenggarakan oleh mahasiswa di Kampus pun masih sering secara tak sadar dipengaruhi oleh perspektif pemerintah. Misalnya, mencantumkan syarat dilarang memuat unsur SARA dalam film yang diikutsertakan,” Adrian bertutur dengan raut muka kecewa. Padahal, publik seharusnya dapat memaksimalkan perspektif kelayakan filmnya sendiri, sehingga dapat mengintervensi pemerintah dan pasar yang seringkali bertindak kurang bijak.
Dalam perspektif publik, yang menjadi penentu utama dalam standar kelayakan ialah film yang dapat memenuhi kebutuhan praktis serta kebutuhan ideologis mereka. “Tak jarang, film memiliki segmentasinya tersendiri. Misalkan, film religi selalu banyak dibanjiri oleh penonton Ibu-ibu berjilbab. Padahal, ceruk pasar film Indonesia ialah umur 15-35 tahun, karena ibu-ibu itu ya butuh ideologis, mungkin. Meskipun film religinya jelek ya ditonton aja.”
Uniknya dan menjadi tantangan ialah, nilai-nilai yang hidup di publik sangat beragam, terkadang bebas atau bahkan berlawanan dengan sistem nilai pemerintah, apalagi sistem pasar. Karenanya, film layak dalam pespektif publik harus dapat memenuhi penalaran dan pertimbangan nilai. Sehingga film tidak hanya cukup dikonsumsi, tetapi membutuhkan apresiasi yang lebih dan kritik, sehingga mampu disampaikan pada pemilik kebijakan dan penguasa pasar. Di sinilah kritik film seharusnya dapat lebih lantang bicara, mewakili publik sebagai penyampai berbagai wacana.
Sesi selanjutnya dari diskusi yang berlangsung sejak pukul delapan pagi ini ialah tentang proses kritik film yang disampaikan oleh Avicenna Raksa. Dengan berbagai pemaparan mengenai pentingnya kritik film bagi kemajuan kebudayaan Indonesia, bagaimana kita menuangkan kritikan tersebut? Tentu jawabannya akan berkaitan dengan hal teknis dalam proses menyusun kritik. Sesi ini dibuka dengan pemutaran film Wrong Day, sebuah film indie berdurasi tiga menit. Berangkat dari film itulah diskusi teknis penulisan kritik mulai disampaikan.
Lalu, apakah kritik film dapat menerjemahkan bahasa film menjadi bahasa perubahan dalam kebudayaan dan kehidupan masyarakat sebenarnya? Sayangnya, diskusi ini tidak menyasar diskursus tersebut. Seminar pun ditutup dengan sesi diskusi dan obrolan santai.
Peserta mulai bubar ketika matahari mulai terik. Tapi peserta tak bubar untuk pulang ke rumah, melainkan mengapresiasi film indie yang telah dikurasi dalam Festival Film Ganesha di ITB Bandung. Mereka akan mengapresiasi, dan entah berapa kritik yang akan lahir dengan cara seperti yang disampaikan dalam seminar ini.[]

