
Dilema Motif Batik dan Motif Cerita
Motif di dalam sebuah cerita selalu hadir untuk membangun dan menyelaraskan logika peristiwa. Hal ini menjadi penting untuk membuat sebuah dunia rekaan yang utuh di dalam sebuah cerita fiksi. Suatu tantangan saat menulis cerita pendek sebab motif mesti dihadirkan di dalam ruang cerita yang terbatas. Lantas bagaimana jika peristiwa terjadi begitu saja tanpa suatu motif?
Cerita tanpa motif yang jelas kerap kita temui dalam berbagai cerita obrolan teman. Obrolan yang menarik adalah obrolan yang tak umum, bahkan beberapa kali tampak seperti kejadian tak terduga dan terjadi begitu saja. Namun jika kita lebih mendalami obrolan tersebut, kejadian itu terjadi dari suatu peristiwa yang memang mendukung dapat terjadi. Tidak ada suatu peristiwa terjadi begitu saja tanpa suatu motif. Pengarang yang baik, bukan hanya mengkhayalkan suatu kejadian, mereka-reka peristiwanya, tetapi juga membangun keutuhan dunia ceritanya.
Cerpen “Pemesan Batik”1 karya Muna Masyari menghadirkan suatu realitas yang sebenarnya mungkin dapat dibayangkan terjadi hari ini. Seorang perempuan membuat batik tulis yang pada proses pembuatannya terbilang unik. Ia tidak membuat motif batik umum khas Madura, tetapi batik ditulis dengan mempertimbangkan cerita dan pesanan para pembelinya. Ia membuat motif baru dari tafsir dan penghayatan pada pemesannya. Pengrajin batik yang tidak umum.
Sebagai pembatik yang biasa menerima pesanan khusus, bagi perempuan itu, corak, warna, dan motif batik buatannya merupakan kesatuan rasa dan jiwa pemesan. Salah satu cara untuk bisa menjiwai saat menggarap batik pesanan, perempuan yang baru menginjak kepala empat itu mengajukan beberapa pertanyaan laiknya penjaga warung makan menanyai pelanggan.
Tak hanya itu, ketika mengajukan pertanyaan, ia mencuri pada kedalaman matanya. Memancing rasa yang menjalar dari palung dada. Mengaktifkan sinyal di dadanya sendiri seperti tangan ibu ketika menyentuh buah hati.
Ada penggambaran menarik dari si tokoh ketika menggambarkan cara pengrajin batik itu bekerja. Hasil motif batik dijelaskan secara deskriptif dan disandingkan dengan karakter pemesannya. Kita dapat melihat alam tafsir tokoh pengrajin batik tersebut melalui hasil batik yang dibuatnya.
Ketika ada seorang guru hendak menghadiahkannya kain batik pada anak didiknya karena meraih juara lomba mata pelajaran menjelang hari kemerdekaan, ia membuatkan batik bermotif Tabur Bintang dengan latar biru langit. Dari goresan canting, polesan warna, tercurah harapan masa depan secerlang bintang di gelap malam. Saat menggarapnya, ia memilih nuansa pagi ceria di bawah rindang pohon lengkeng tua, tempat dimana sewaktu kecil ia disuapi ibunya sambil melihat anak ayam rebut berebut makanan.
Penggambaran tersebut tampak diceritakan oleh seorang pencerita serba tahu. Penceritaan semacam ini bukan hanya membuat peristiwa tergambarkan, tetapi terjelaskan suatu kedalaman pikiran dan perasaan tokoh. Kemudian, kita dapat juga menyimpulkan apakah si tokoh itu benar-benar memikirkan dan merasakan kejadian yang sesungguhnya. Atau penjelasan tersebut hanya sekadar referensi biografi tokoh yang dibenamkan oleh pencerita serba tahu, untuk menambah kuat nalar dan imajinasi pembaca.
Sebab jika kita melihat lebih dalam dari nukilan proses membuat batik di atas, kita bisa saja menganggap bahwa pemilihan motif Tabur Bintang untuk anak SD merupakan hasil daya pikir semata. Pengerjaan batik di tempat rindang itu, tak sedikitpun membuatnya ingat pada Ibu dan anak ayam yang berebut makanan di masa lalunya. Namun, tentu saja si pencerita ingin kita membayangkan masa lalu tokoh.
Konflik dari cerpen tersebut muncul, saat si pengrajin batik diminta untuk membuat batik atas dasar kemarahan dan dendam. Kemarahan dan dendam tersebut rupanya pernah pula di alami perempuan pengrajin batik ini. Pengrajin batik itu sempat ragu untuk membuka lagi bilik kenangannya yang kelam. Tetapi kemudian ia lakukan juga proses pembuatan batik tersebut.
Ia memesan batik untuk seseorang yang telah menyulut sulur-sulur api di dadanya. Katanya, sungguh cara paling purna menghadiahkan sesuatu yang bisa dijadikan penyampai pesan. Mewakili kemarahan. Bahkan ancaman. Tanpa perlu mengumbar serapah dan cercaan sampah lewat kata-kata yang sudah diracuni amarah.
Penggambaran yang dinyatakan tentang lelaki pemesan batik itu dirasa tidak sejalan dengan penggambaran dialog tokoh lelakinya.
“Kain batik itu bukan sekadar hadiah pernikahan. Ia berupa surat pesan, jadi harus selesai dalam sebulan! Jangan sampai terlambat!” tegas lelaki itu…
“Mungkin kau sama saja dengan perempuan senok itu!” sindir lelaki itu, pedas.
“Semua perempuan sama saja! Tidak tahu diuntung! Dia yang memaksaku bekerja ke Malaysia untuk gelang dan kalung. Sepergianku, di belakang malah main serong!” mendengus geram.
“Bajingan itu boleh mengawini biniku, tapi setelah melangkahi mayatku!” lelaki itu menepuk dada tiga kali, “aku menantangnya!”
“Buatkan batik pesan untuknya! Aku pulang untuk membuat perhitungan! Etembang pote mata lebbi bhagus pote tolang!” pungkasnya.
Tetapi kemudian kenapa si lelaki ini mesti memesan batik? Dari dialog-dialog lelaki pemesan batik itu, kita dapat melihat bagaimana karakternya yang tempramental. Rasanya sulit membayangkan lelaki dengan tempramen dan perilaku seperti di atas, sedia memesan batik dan mencurahkan isi hatinya pada seorang perempuan.
Si pemesan batik merupakan seorang lelaki yang ingin menghadiahkan batik penuh amarah pada perempuan yang mengkhianatinya. Si lelaki bekerja banting tulang di luar negeri untuk menghidupi istrinya di Indonesia. Bukan kesetiaan yang didapatkan si lelaki, melainkan si istri selingkuh dengan orang lain. Cerita dari pemesan batik ini rupanya pernah pula dialami si pengrajin batik. Ia pernah pula kerja banting tulang di luar negeri, tetapi kemudian suatu ketika, saat ia pulang ke Indonesia, ia mendapati suaminya sedang bercinta dengan orang lain di ranjangnya sendiri.
Kesamaan kisah hidup antara pemesan dan pengrajin batik disandingkan dengan begitu kasar. Memang ketidaksengajaan di dalam kehidupan mungkin saja terjadi, tetapi kesamaan di antara keduanya dari sudut pandang penciptaan cerita pendek, terlalu hitam putih dan tampak kurang kreatif. Saat pemesan merupakan seorang suami yang bekerja di luar negeri, kemudian pengrajin batik pun pernah juga pergi ke luar negeri. Keduanya memiliki persoalan dengan pasangan gara-gara perselingkuhan.
Perkara hitam putih ini tampak tidak kreatif dan mendalam karena seolah tidak ada peristiwa lain yang bisa juga dikategorikan sebagai perselingkuhan. Meski memang hal ini mungkin saja terjadi. Barangkali di sinilah pentingnya motif dalam menyamarkan hitam putihnya cerita. Cerita hitam putih biasanya dapat kita temui di dalam cerita sinetron. Cerita semacam ini selalu menampilkan peristiwa dadakan yang dihadirkan tanpa motif yang jelas.
Pintu didorong agak ragu. Tidak dikunci. Akan tetapi, begitu terbuka, petir di luar serasa menyambar tepat di atas kepala. Betapa sulit untuk percaya. Di atas ranjang, dua tubuh saling labuh.
Dengan kepala serasa akan pecah ia berlari ke dapur, mencari sebilah pisau, namun hanya menemukan setumpuk cabai di lincak yang dipenuhi perabot kotor.
Ada flashback cerita yang mengantarkan kita pada masa lalu tokoh utama. Hal ini tentu saja disebut upaya menghadirkan motif cerita suatu peristiwa. Namun masalahnya, tidak ada korelasi signfikan terkait penggambaran keunikan tokoh (kini berprofesi sebagai pengrajin batik) dengan masa lalunya sebagai pekerja di luar negeri dan mendapati suaminya berselingkuh. Cerita tentang motif peralihan tokoh menjadi seorang pembatik yang unik ini terlewat diceritakan oleh Muna. Hanya sebuah riwayat bahwa ia pernah (entah jadi atau tidak) akan membunuh suaminya.
Kenapa hal tersebut menjadi begitu penting di dalam sebuah cerita sesingkat cerpen? Tokoh utama bisa saja dibayangkan pembaca sebagai pengrajin batik pada umumnya. Namun bukankah Muna menghadirkan tokoh yang tidak umum? Perlu motif untuk mengantarkan pembaca pada pemahaman karakterisasi tokoh khusus ini. Penjelasan Muna hanya pada selera tokoh utama dalam membuat batik. Penjelasan masa lalu yang berkutat pada kenangan buruk tokoh, tidak menjadi landasan dari kesenangan tokoh dalam membatik. Pembaca sangat sulit membayangkan karakter individu dan sosial semacam apa yang dianut oleh tokoh pengrajin batik ini.
Memang ada penceritaan kehidupan masa kecil si perempuan pengrajin batik yang tergambarkan melalui hubungan personalnya dengan ibu. Ibu yang selalu memberinya nasihat. Nasihat ini kemudian menjadi semacam moralitas yang mengarahkannya pada suatu sikap dalam mengatasi masalah sehingga menjadi batik. Batik tersebut dibuatnya dengan motif seperti berikut.
Sebelum dilipat, kain batik berlatar warna kunyit busuk itu dihampar. Masih hangat, karena baru saja diturunkan dari tali jemuran. Matanya nanar memerhatikan hasil batiknya dengan dada berdenyar.
Daun-daun waru bertebaran sebagaimana korban musim kemarau, sebagai simbol cinta yang tak sempurna. Daun-daun itu berwarna hijau layu. Bagian tepi daun bergiligir, bagai bekas dilahap ulat. Pada tepi bawah kain, sulur-sulur api saling jilat, semerah darah. Di atasnya, celurit-celurit berujung lancip saling silang.
Perempuan itu menamainya batik arek lancor.
Kebingungan mulai muncul saat nama batik Arek Lancor hadir di dalam cerita. Di internet, kita dapat menemukan beragam referensi mengenai batik ini. Tidak ada yang begitu jelas memaparkan sejarah dan karakter motif batik ini. Bahkan beberapa sumber menghadirkan ragam motif batik yang berbeda dengan nama yang sama. Motif yang hampir mirip dengan apa yang digambarkan cerpen ini terdapat dalam artikel suatu toko batik online2. Batik yang dibuat seperti monumen Arek Lancor di Madura ini hampir mirip dengan apa yang digambarkan, bedanya terletak pada motif daun waru dan latar kain. Tetapi terlihat bagaimana jilatan api dan celurit panjang menjadi motif bagian bawah dari batik tersebut, mirip dengan apa yang digambarkan cerpen.
Tentang bagaimana motif sesungguhnya dari batik Arek Lancor itu, apakah Muna sedang mencoba menarasikan sejarah kemunculan suatu jenis motif baik di Madura? Tetapi kemudian hal ini akan melemahkan penggambaran dari cerita yang dibangun. Sebab jika kita melihat keutuhan dari bangun ceritanya, motif batik pada cerita dibuat karena suatu cerita pengkhianatan. Sementara narasi batik Arek Lancor tersebut diambil dari nama Monumen Arek Lancor yang bercerita tentang perjuangan rakyat Madura menghadapi penjajahan.
Penceritaan tanpa motif serta pengayaan hal ihwal batik di Madura di dalam cerita “Pemesan Batik” ini tampak tidak saling mendukung. Jika ini memang suatu karya fiksi, realitas fiksi, maka penghadiran motif cerita dirasa kurang kuat membangun tokoh pengrajin batik yang unik dengan latar belakang perempuan yang bekerja di luar negeri. Sementara jika kita ingin menarik cerita ini secara umum berangkat dari realitas Madura hari ini, batik Arek Lancor memiliki narasi kepahlawanan yang heroik, bukan persoalan amarah dendam pengkhianatan. Lagi pula sulit melacaknya jika narasi ini memang juga tidak termaktub di dalam cerita.
Di akhir cerita, tokoh pengrajin batik selesai membuat batik dengan susah payah dan penuh tragedi masa lalu. Akhir dari cerita ini tampaknya terlalu simbolik. Hanya bisa terungkap kemudian, saat kita menelusuri kehadiran tokoh Ibu secara serampangan di berbagai sikap perilaku tokoh utama sebagai pembawa pesan moral. Juga tentang hadirnya pertanyaan apakah lima tahun yang lalu ia menemukan pisau dan berhasil membunuh suaminya? Akhir cerita ini kemudian menjelaskannya.
Sebentar lagi, begitu pemesan batik itu datang sesuai perjanjian, ia akan melipat kain batiknya dengan rapi, dan memasukan ke dalam peti mungil terbuat dari kayu jati. Ia akan mengajak pemesan batik itu ke pantai Jumiang, dan melarungkan peti kecil berisi segala dendam dan amarah itu ke lautan.
Biarlah pengkhianatan menjadi urusan semesta. Kelak, ia akan menemukan muaranya sendiri. Kembali pada yang memiliki.
Pun demikian yang dilakukan perempuan itu lima tahun yang silam. Sebuah ajaran yang ibu berikan, sebelum kemarahan yang lebih pitam melumatnya jadi arang.[]
- Dimuat di Kompas, 28 Januari 2018.
- Penggambaran batik terdapat di dalam situs www.kayanabatik.co.id/batik-motif-arek-lancor/