Fb. In. Tw.

Roman Liar Sunda

Bacaan liar adalah sebuah fenomena literasi pada masa-masa dasawarsa kedua Abad 20, yang ditandai oleh munculnya surat kabar serta buku bacaan yang diproduksi oleh kaum pergerakan. Dalam bahasa pergerakan kiri, penerbitan buku ini dikenal dengan istilah literatuur sosialistisch. Namun pemerintah Kolonial Belanda menyebutnya sebagai nama bacaan liar, karena bacaan produk pribumi tersebut banyak memuat gagasan perlawanan yang dianggap subversif. Dr. D.A. Rinkes, direktur pertama Balai Pustaka (Kantoor voor de Volkslectuur), adalah orang yang pertama kali memberikan label “liar”. Dari konteks sosial-politik, Balai Pustaka yang nota bene produk kolonial memang bertolak belakang dengan bacaan liar.

Di wilayah kesusastraan, wacana bacaan liar identik dengan roman berbahasa Melayu, seperti Student Hidjo karangan Mas Marco Kartodikromo, atau Hikayat Kadirun karangan Semaun. Padahal roman yang dikategorikan bacaan liar juga terdapat dalam ranah sastra Sunda. Identifikasi bacaan liar dalam sastra Sunda dicuatkan pertama kali oleh Ajip Rosidi. Karya yang diidentifikasi sebagai bacaan liar tersebut adalah roman karangan Mohammad Sanusi dan Yuhana.

Sekedar merepresentasikan, berikut saya tulis dua petikan cerita dari roman Siti Rayati karangan Sanusi serta roman Carios Agan Permas karangan Yuhana.

Siti Rayati
Roman Siti Rayati terbit melalui tiga jilid. Jilid pertama terbit tahun 1923. Jilid selanjutnya yang masih bisa dilacak titimangsanya adalah jilid ketiga, yang terbit tahun 1927. Semuanya diterbitkan oleh Boekhandel en Drukerij Dachlan-Bekti, Bandung.

Siti Rayati mengisahkan seorang anak Indo hasil perkosaan bernama Siti Rayati. Ibu kandungnya, Patimah, adalah seorang buruh pemetik teh. Sedangkan ayah kandungnya, Tuan Steenhart, seorang pengawas perkebunan. Ketika tengah hamil tua, Patimah melarikan diri. Lalu di tengah pelariannya, Patimah melahirkan. Bayi hasil hubungan gelap itu oleh Patimah dibuang, hingga akhirnya ditemukan oleh aparat desa, lalu diserahkan pada seorang wedana. Karena tidak memiliki anak, oleh keluarga wedana bayi itu diadopsi, dan diberi nama Siti Rayati, sesuai dengan nama lokasi tempat ditemukannya, yakni Desa Cirayati.

Siti Rayati –yang sehari-hari dipanggil Gan Titi- selanjutnya tumbuh sebagaimana umumnya anak ningrat. Didukung oleh status ayahnya yang telah naik pangkat menjadi seorang bupati, Gan Titi bisa mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan ia pun terbiasa bergaul dengan kalangan Belanda. Ketika Gan Titi sekolah di Batavia, ia tinggal di rumah keluarga Dr. Van der Goud, Belanda yang baik hati. Dari sinilah wawasan kebangsaan Gan Titi mulai terpupuk. Buku-buku yang ia lahap seperti roman Max Havelaar, membukakan matanya terhadap tipu muslihat politik kolonial.

Ketika di Batavia, ibu angkat Gan Titi meninggal dunia. Lalu ayah Gan Titi menikah lagi dengan seorang perempuan yang masih kerabatnya. Namun ternyata ibu tiri Gan Titi tersebut bukan wanita baik-baik. Selain gemar berjudi, kata-kata yang diucapkannya sering melukai Gan Titi. Bahkan pada suatu saat, ibunya bersungut-sungut sambil menyebut anak pungut pada Gan Titi.

Merasa sakit hati, Gan Titi kembali tinggal di rumah Dr. Van der Goud untuk kali kedua. Di sana Gan Titi mulai gemar membaca suratkabar pergerakan. Bahkan ia pun akhirnya bertunangan dengan seorang jurnalis pergerakan yang berasal dari Semarang. Jurnalis tersebut adalah kawan Gan Titi semasa sekolah HBS di Semarang. Di rumah Van der Goud hadir pula seorang babu tukang cuci bernama Patimah, yang kelak diketahui oleh Gan Titi sebagai ibu kandungnya.

Dari pengaruh bacaan dan pergaulan, maka selanjutnya sikap Gan Titi pun semakin jelas. Gan Titi tidak berkeinginan hidup menjadi ménak sebagaimana yang diharapkan oleh ayahnya. Bahkan beberapa lelaki pelamar yang nota bene ménak pun semuanya ditolak oleh Gan Titi. Tentu saja hal ini membuat ayahnya kecewa. Tetapi Gan Titi bersikeras, karena ia menemukan bukti bahwa tindakan mereka seringkali merugikan rakyat. Kekecewaan ayahnya semakin menjadi tatkala mengetahui pertunangan Gan Titi. Dalam pandangan ayahnya, pekerjaan jurnalis tidak lebih dari tukang membeberkan kesalahan ménak dan aparat. Apalagi tunangan Gan Titi itu pernah dua kali dipenjara gara-gara delik pers.

Setelah ayahnya meninggal, Gan Titi hidup bersama keluarga ibu kandungnya, serta keluarga Lurah Cirayati manten yang dahulu menemukannya. Ia pun akhirnya menikah dengan lelaki pilihannya, dan keduanya aktif menulis dalam suratkabar.

Carios Agan Permas
Seperti juga Siti Rayati, roman Carios Agan Permas (Cerita Agan Permas) diterbitkan oleh Dachlan-Bekti melalui tiga jilid. Carios Agan Permas terbit pada tahun 1926. Carios Agan Permas menceritakan tokoh Imas dan anaknya yang bernama Brani. Kisah dimulai dari keluarga Bapa Imba, ayah Imas, yang terlilit utang pada Haji Serbana. Bapa Imba adalah petani miskin tanpa tanah, yang tinggal di pedesaan Kiaracondong, Bandung. Sedangkan Haji Serbana, yang bernama asli Mas Karta, adalah seorang rentenir. Ia juga seorang bekas centeng, serta pernah menjadi bandar judi.

Panen yang gagal, utang, dan kemiskinan, menyebabkan Bapa Imba jatuh sakit, lalu meninggal dunia. Karena tidak mampu bayar, Haji Serbana memaksa Ambu Imba agar menyerahkan Imas, dengan ancaman jika tidak mau dia akan menyita rumah dan menyeretnya ke meja hijau. Namun niat Haji Serbana gagal tatkala Otong, anak buahnya sendiri, malah berbalik melawannya. Otong akhirnya menikahi Imas, hingga lahirlah Brani.

Beberapa tahun kemudian, Haji Serbana melampiaskan dendamnya dengan menculik Imas, lalu menyekapnya selama berbulan-bulan. Otong kemudian mencarinya kesana-kemari. Namun setelah tidak ditemukan, Otong pun pasrah, lalu bersama Brani kembali ke kampung halamannya di Batavia.

Adapun Imas, setelah disekap dan diperkosa oleh Haji Serbana, selanjutnya ia diusir. Imas lalu membujang pada keluarga Agan Permas, bekas majikan ayahnya. Atas siasat Raden Sukarna dan Mandor Sastra, Imas kemudian menjadi wanita peliharaan Van der Zwak, seorang tuan kawasa di perkebunan Sukawana. Oleh Raden Sukarna, Imas disuruh mengaku sebagai Agan Permas, karena Van der Zwak memang menginginkan seorang nyainyai keturunan ménak.

Haji Serbana yang masih belum puas lalu memaksa menikahi Ena, adiknya Imas. Karena siksaan yang mendera, setelah menikah Ena pun meninggal dunia. Maka Ambu Imba membalas dendam, dengan cara membakar Haji Serbana hidup-hidup. Lalu Ambu Imba melarikan diri, hingga sampai di rumah tuan perkebunan Sukawana. Imas sebetulnya tahu, orang tersebut adalah ibunya sendiri. Namun karena malu, Imas malah mengusir dan menyiksanya.

Ambu Imba kembali pergi, hingga akhirnya terdampar di Batavia. Di sana ia bertemu dengan Brani yang sama-sama hidup menggelandang. Namun Ambu Imba tidak sempat bertemu dengan Otong, karena ia keburu meninggal dunia. Ambu Imba dan Brani selanjutnya ditolong oleh seorang Belanda, Tuan B. Human. Oleh Tuan Human, Brani lalu disekolahkan hingga tamat landbouw school (sekolah pertanian).

Tatkala Van der Zwak pulang ke negeri Belanda, Brani diterima menjadi wakil pemegang perkebunan. Imas pun bertemu kembali dengan Brani. Namun sial, Imas mendapat celaka hingga ia meninggal dunia. Di bagian akhir, pengarang hanya menceritakan bahwa Brani selanjutnya menjadi seorang kaya yang berjiwa sosial. Ia juga selalu menghadiri vergadering (pertemuan) yang membela nasib rakyat miskin.

Pengarang pergerakan
Ihwal bacaan liar secara utuh, mulai dari pengarang, produksi, hingga ide yang diusung, tak bisa dipisahkan dari organisasi pergerakan yang berperan sebagai induk. Jika dirujuk secara geografis-historis, S.I. Semarang yang berorientasi kiri merupakan tempat dimulainya periode bacaan liar. Di S.I. Semarang pula Marco dan Semaun berkecimpung. Ketika pertentangan semakin tajam, S.I. Merah Semarang dan beberapa cabang S.I. lainnya akhirnya berpisah dari S.I. Putih Tjokroaminoto, yang selanjutnya menjadi salah satu embrio lahirnya PKI. Pada perkembangan berikutnya, PKI menjadi organisasi yang paling produktif menerbitkan bacaan liar.

Sanusi dan Yuhana pun merupakan pengarang yang muncul dari organisasi Sarekat Rakyat Bandung. Gara-gara roman Siti Rayati, Sanusi sempat ditahan selama tiga bulan di penjara Banceuy. Ia juga pernah ditahan lantaran dangding-nya yang berjudul Garut Genjlong (Heboh di Garut), yang dimuat dalam suratkabar Pajajaran edisi Oktober 1919. Dangding tersebut menceritakan kesewenang-wenangan Bupati Garut ketika memberangus perlawanan Haji Hasan (Ajip Rosidi, 1986; 2000).

Sanusi pernah memangku jabatan pada S.I. cabang Bandung bersama S. Goenawan. Ketika terjadi perpecahan, ia memilih S.I. Merah. Sanusi secara pribadi mengenal tokoh-tokoh teras PKI seperti Semaun dan Tan Malaka. Ruth T. McVey (2009) memaparkan, Sanusi pernah menemui Tan Malaka di Kanton, Tiongkok. Sanusi juga pernah menterjemahkan pidato Haji Misbach pada kongres PKI tahun 1923 ke dalam bahasa Sunda (Takashi Shiraisi, 1997).

Sanusi berprofesi sebagai jurnalis pada beberapa surat kabar beraliran kiri terbitan Bandung, seperti Matahari, Sora Merdika, Surapati, dan lain-lain. Surat kabar Matahari dikenal lewat konfrontasinya terhadap para ménak dan pejabat Kolonial. Pasca pemberontakan PKI tahun 1926, Sanusi ikut dibuang ke Digul, bersama ribuan aktivis pergerakan lainnya. Dari catatan-catatan Marco semasa di Digul (Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul, 2002), antara Marco dan kawan-kawan dengan Sanusi terjadi pertengkaran hebat, yang dipicu oleh suasana saling menyalahkan. Sanusi meminta tanggung jawab Hoofdbestuur (pengurus besar) PKI atas terjadinya pembuangan massal. Keterangan yang kurang lebih sama juga diungkapkan oleh Soe Hok Gie (2005).

Sanusi lahir di Ciamis pada tahun 1889 dan meninggal di Jakarta tahun 1967. Ketika dibebaskan dari Digul pada tahun 1931 –yang menurut Hok Gie disinyalir berkat campur tangan Belanda- Sanusi selanjutnya merapatkan diri dengan kelompok Sukarno. Keterangan yang kurang lebih sama juga disampaikan Syarief Amien (1983), seorang pelopor pers Sunda yang mengenal baik Sanusi. Saat pendudukan Jepang, Sanusi termasuk salah satu anggota Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh Sukarno.

Sedangkan mengenai Yuhana –yang bernama asli Achmad Basach- tak banyak yang bisa diungkap. Selain beberapa tulisan Ajip, sumber primer lainnya adalah buku Yuhana Sastrawan Sunda, yang ditulis oleh Tini Kartini dkk. Sedikitnya keterangan mengenai Yuhana tampaknya disebabkan oleh usianya yang relatif pendek. Yuhana lahir sekitar tahun 1890-an, dan meninggal tahun 1929.

Yuhana pernah bekerja sebagai buruh kereta api, dan bergabung dengan serikat pekerja kereta api VSTP (Vereeniging voor Spoor en Tramweg Personeel). Pasca pemogokan besar-besaran tahun 1923, Yuhana bersama ribuan buruh lainnya dipecat. Tidak ada keterangan, apakah Yuhana sudah mulai menulis ketika masih bekerja sebagai buruh. Namun di antara penulis roman Sunda non-Balai Pustaka, Yuhana merupakan yang paling produktif. Selain itu, semasa hidupnya ia juga merupakan pengarang Sunda paling populer, setidaknya untuk wilayah Bandung. Roman Yuhana, yang berjudul Eulis Acih, diadaptasi ke layar lebar oleh Houveldrop dan Kruger, untuk Java Film Company. Selain menulis roman, Yuhana juga merupakan salah satu pendiri Sarekat Rakyat Bandung.

Selain bergerak di bidang politik, Yuhana aktif membina grup sandiwara. Lakon terkenalnya, yaitu Karnadi Bandar Bangkong (Karnadi Bandar Kodok), ia angkat kembali ke dalam bentuk roman dengan judul Rusiah nu Goréng Patut (Rahasia si Buruk Rupa). Menjelang akhir hayatnya, Yuhana ikut menterjemahkan tafsir Al Furqan karangan A. Hassan (Hassan Bandung) ke dalam bahasa Sunda.

Benang merah antara Semarang sebagai pusat gerakan radikal dengan roman Sanusi dan Yuhana memang kentara. Semarang dalam Siti Rayati menjadi tempat pertemuan Gan Titi dengan suaminya yang berprofesi jurnalis. Gan Titi juga membaca surat kabar pergerakan yang diterbitkan di Semarang. Dalam roman tersebut juga diceritakan Tuan Van der Goud ikut menghadiri rapat ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging). Sedangkan dalam Carios Agan Permas, ketika Brani akan bekerja di Sukawana, dikisahkan bahwa Tuan Human selanjutnya pindah ke Semarang, karena ia diangkat menjadi redaktur Het Vrije Woord, yang nota bene surat kabar ISDV.

Dari beberapa uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa bacaan “liar” muncul dalam bahasa Sunda seiring menjalarnya pengaruh pergerakan dari Semarang. Namun kiranya pengaruh ini tidaklah mutlak. Karena jauh sebelumnya, Bandung sudah menjadi kota yang hidup oleh gairah pergerakan dan penerbitan surat kabar. Marco pun sebelum berkiprah di Semarang sempat menimba ilmu jurnalistik di Bandung, tepatnya pada tokoh pergerakan R.M. Tirto Adhisuryo.

Ide yang diusung roman liar selalu beranjak dari sudut pandang kaum pribumi yang terpinggirkan, terutama seputar persoalan keadilan dan kemerdekaan. Pembelaan terhadap rakyat miskin yang diusung Carios Agan Permas, misalnya, akan mengingatkan pembaca sastra Indonesia pada Hikayat Kadirun. Keduanya sama-sama menyoroti ketimpangan sosial dalam masyarakat. Jika Carios Agan Permas menggugat rentenir, dalam Hikayat Kadirun pihak yang digugat sebagai sumber ketidakadilan adalah para pamong praja dan pejabat pemerintah, sama seperti yang diungkapkan oleh Siti Rayati.[]

Post tags:

Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, UPI Bandung. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS). Lebih banyak menulis dalam bahasa Sunda. Bekerja sebagai guru bahasa daerah di Sumedang.

KOMENTAR
You don't have permission to register