
Mengunjungi Kuil Pembawa Nasib Baik di Sendai
Tempat berdoa kebanyakan orang Jepang atau yang sering disebut penganut Shinto adalah Jinja, bahasa Indonesianya adalah kuil atau shrine dalam bahasa Inggris. Kuil yang saya kunjungi di Sendai ini bernama Osaki Hachimangu. Didirikan pada tahun 1607 oleh Date Masamune. Kuil yang ditetapkan sebagai National Treasure (Benda Pusaka), dan menjadi salah satu contoh arsitektur tertua Jepang dengan gaya bangunan Momoyama.
Kuil Osaki Hachimangu populer di kalangan penduduk setempat dan wisatawan untuk membawa nasib baik, kemenangan, dan persalinan yang aman. Dewa dari kuil ini adalah Hachiman, dewa perang Shinto yang dianggap sebagai penjaga kota Sendai.
Untuk masuk ke kuil ini harus jalan kaki melewati jalan tangga ke atas. Cukup panjang dan cukup menyehatkan badan. Saya kira jalan-jalan ke kuil seperti ini baik untuk orang-orang yang sedang berdiet. Saya tidak menghitung jaraknya, kira-kira setengah km dengan jalur menanjak dan setengah km lagi nanti baliknya dengan jalur menurun. Artinya, kalau pp menjadi 1 km. Bagi yang sedang diet, saya sarankan lakukanlah 3x pp dijamin berkeringat.
Pertama masuk melihat kuil, saya langsung kagum dengan model pewarnaan yang kaya dan dinamis. Warnanya kuat dan sangat detail. Di depan halaman pintu masuk ke bangunan kuil ada tiga kain yang dililit seperti tali. Biasanya orang-orang berdoa untuk keberuntungan sambil melempar koin dan menarik tali-kainnya.
Seperti layaknya tempat ibadah, mereka juga memiliki sejumlah pendeta laki-laki yang disebut Kanushi dan pendeta wanita yang disebut Miko. Yang cukup menarik, jabatan untuk pendeta wanita hanya berlangsung selama beberapa tahun dan berhenti setelah mereka menikah. Jadi, pendeta wanita dipastikan berumur masih sangat muda, berpenampilan sangat alami, rambut panjang, berpakaian sangat rapi dengan rok panjang menutup sampai mata kaki dan berwajah sangat cantik.
Karena tidak memiliki ajaran, maka pendeta ini sama sekali tidak berfungsi sebagai tukang khotbah, melainkan hanya sebatas sebagai pemimpin upacara, menjaga kebersihan kuil, menjual Omamori atau jimat keberuntungan dan lain-lain.
Di halaman kuil juga terdapat tempat untuk menggantung doa dan jimat keberuntungan. Biasanya yang paling ramai adalah pas tahun baru. Tempat menyimpan doa, harapan, dan jimat keberuntungan itu sangat unik yakni di gantung. Ada yang disebut Ema ada juga Omikuji.
Ema adalah papan kayu bergambar yang disumbangkan ke Jinja, berisi doa atau permohonan kepada Kami Sama (Tuhan), atau berisi ucapan terima kasih atas terkabulnya doa atau pengharapan seseorang. Ema yang disumbangkan atas nama pribadi biasanya berukuran kecil, terdapat gambar kuda dan sebagainya di bagian depan, sedang di bagian belakang digunakan untuk menuliskan nama dan isi doa atau permohonan.
Masyarakat Jepang percaya bila doa ditulis di Ema lalu disumbangkan, maka doa akan terkabul. Pada awalnya yang disumbangkan adalah kuda asli, tetapi sekarang berubah menjadi gambar kuda.
Omikuji adalah kertas ramalan nasib, berisi ramalan keberuntungan dan kesialan dalam tahun tersebut. Setiap pribadi boleh mempercayai atau tidak mempercayai apa yang tertulis pada kertas ramalan nasib, karena tidak ada ketentuan khusus. Setelah membeli Omikuji, membaca isinya, kebanyakan orang menggulung kertas ramalan tersebut lalu mengikatkannya di tempat yang telah disediakan di halaman Jinja.
Pada awalnya, ada juga orang yang mengikatkannya di ranting pepohonan yang ada di halaman Jinja, tetapi karena diyakini akan berpengaruh buruk pada pertumbuhan pohon tersebut, maka masyarakat dianjurkan supaya mengikatkannya pada tempat-tempat yang telah ditetapkan. Ada penjelasan yang mengatakan bahwa bila hasil ramalannya buruk maka kertas akan diikatkan di Jinja, sedangkan ramalan baik akan dibawa pulang. Tetapi dari pengamatan sekilas, kelihatannya hampir semua orang mengikatkan kertas ramalan nasib tersebut di Jinja.
Sekilas tentang Shinto
Shinto secara harfiah bermakna “Jalan/Jalur Dewa” bisa juga disebut “Jalan Tuhan” sering disebut sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet.
Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialihbahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama Konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi.
Pertumbuhan dan perkembangan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar.
Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama.
Dan, dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.[]
Foto: Iman Abda