Fb. In. Tw.

Aku Lirik yang Teralienasi

Preambul

Perkembangan zaman adalah hal niscaya yang terus dialami oleh peradaban manusia. Selaras dengan hal tersebut, perkembangan sebagai tesis akan selalu menjumpai antitesisnya. Salah satu bentuk sederhananya sering diangkat dalam bidang kesenian. Karya seni seringkali mengkritik dilematisnya persoalan gerak zaman ini. Apakah gerak zaman akhirnya mendekatkan manusia pada hakikatnya, atau justru semakin menjauhinya?

Pemikiran Karl Marx yang dirangkum oleh Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa dalam sistem kerja kapitalis, pekerjaan tidak lagi menjadi sarana perealisasian diri manusia, tidak ada kepuasan yang didapatkan oleh pekerja, khususnya bagi para buruh. Pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka, melainkan justru mengasingkan mereka. Meskipun Franz mengamini adanya keterasingan manusia yang disebabkan oleh pekerjaannya, namun Franz mengemukakan bahwa keterasingan ini dapat dialami pada setiap hubungan manusiawi. Maka, masalahnya bukan berada pada penghapusan keterasingan melainkan pengurangannya.1

Dari pendapat di atas, keterasingan atau alienasi dapat disebabkan oleh rasa yang timbul dari ketidakpuasan terhadap keadaan. Subjek tidak dapat merealisasikan dirinya hingga ia terpaksa menarik diri dari lingkungan, baik secara fisik ataupun pemikiran.

Saya melihat kecenderungan alienasi tersebut diangkat dalam sajak-sajak yang dimuat pada harian Kompas tanggal 3 Februari 2018. Saya selanjutnya akan mencoba untuk menjabarkan alienasi yang dialami oleh aku lirik dalam sajak-sajak F. Aziz Manna dan Irwan Segara.

Kota dan Alienasi
Dalam karya seni, seringkali tema perkotaan diangkat menjadi representasi dilematisnya kemajuan zaman. Kota menawarkan kehidupan yang praktis dan menuntut orang-orang bergerak cepat. Hal ini akhirnya melahirkan orang-orang yang individualistis dan teralienasi.

Sajak “Jamur” karya F. Aziz Manna menganggap perkembangan kota sebagai sesuatu yang mengancam. Aku lirik merasa teralienasi dari ancaman tersebut. Hal ini dapat dibaca pada bait ke dua yaitu di pusat genangan timbunan kubur kegentingan ingatan tersisa/kupanggil kubangkitkan ilusi purba di mana batu dan tanah/kukuh bersekutu membentengi serbuan mata timah besi tembaga/dari anak panah dan tubuh peluru.

Aku lirik berharap bahwa alam (batu dan tanah) masih bisa mempertahankan dirinya dari ancaman perkembangan zaman. Tentu, manusialah yang menggunakan anak panah dan tubuh peluru untuk saling berebut memiliki batu dan tanah tersebut.

Diksi jamur dalam sajak ini dapat diinterpretasikan sebagai suatu keinginan, keresahan, atau ideologi yang dipegang atau dianut, misalnya pada larik berpegang ke gagang jamur aku berpayung melangkah memasuki/bangunan-bangunan kota yang baur kabur lebur hancur terguyur, atau pada larik di titik lain di musim lain (mungkin) jamur-jamur baru/menyembul serupa sigi, peli, korek api, dan kobaran lain yang/mengancam dalam pikiran dan sewaktu mekar ia serupa ayoman/di mana oase areola menyoklat hangat di pusat lingkar putihnya.

Pada akhirnya, jamur hanya sebuah harapan yang sulit untuk direalisasikan, di tengah gempuran ancaman tersebut. Pada bait terakhir terdapat larik di titik itulah aku berbaring melingkar serupa ular memamah/ekor sendiri, hal ini merupakan penggambaran bahwa aku lirik sadar dan ia pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa selain melakukan hal sia-sia dan merugikan diri sendiri.

Sajak Irwan Segara berjudul “Kota yang Kehilangan Salak Anjing dan Suara Jangkrik di Jantung Malam” juga menganggap kemajuan kota sebagai suatu ancaman yang tidak dapat dihindari. Kita bisa membacanya pada larik, Mobil-mobil merangkak di jalan/Waktu mengalir, tak ada yang mampu/Membendung lajunya/Langit mendekatkan matahari pada kita/Panasnya bergolak di punggung aspal/Membakar peluhmu.

Aku lirik tidak dapat bersatu dengan kehidupan perkotaan, sebab ia sadar bahwa kota berkembang semakin menjauhi fitrah alam. Pembangunan mal dan hotel secara besar-besaran bukan atas dasar kebutuhan banyak orang. Di kota, orang-orang bekerja karena terpaksa, bukan untuk merealisasikan dirinya, mereka menggerutu sepanjang jam kerja. Kota ini terlampau kecil/Bagi sebuah mal atau hotel/Atau bagi gerutu kita pada jam-jam kerja.

Dalam pikirannya, aku lirik mengalienasi diri dengan harapan tinggal pada masa alam dan manusia saling menjaga dan berselaras. Pada larik, Aku ingin pulang ke candi-candi/Yang dibangun para pendahulu/Atau ke ritual-ritual di pegunungan/Demi menemu waktu/Seirama hati dan pikiran, dapat diinterpretasikan bahwa aku lirik merasa kehidupan kota semakin membuat hati dan pikiran orang-orang tidak seirama. Hal inilah yang membuat manusia menjadi terasing, baik kepada lingkungan maupun dirinya sendiri.

Berbeda dengan dua sajak di atas, sajak berjudul “Perjalanan Menuju Mars” menceritakan aku lirik yang memiliki harapan lain tentang kehidupan perkotaan, meskipun ia menganggap bahwa satu-satunya jalan adalah meninggalkannya, Aku melayang/Kutinggalkan rahim yang melahirkanku/Kutinggalkan putih awan/Kutembus gelap dan hampa/Kupijak kerlip bintang//Bumi biru menjauh/Gugusan pulau-pulau/Gedung-gedung pencakar langit/Mobil-mobil tercepat/Dan ponsel-ponsel terbaru/Bagian dari tubuhmu/Dunia kecil/Yang merenggut dan mengirim sinyal/Pada pikiranmu/Menjauh.

Kepergian aku lirik dari bumi adalah untuk mencari kehidupan yang lebih bermakna. Tidak ada harapan bagi kehidupan kita jika tetap tinggal, Tubuh yang mengembara/Mencari surga lain, menghindari neraka/Peperangan, penyakit, dan bencana/Menyeret jantung kita dalam kemusnahan.

Dalam sajak ini, seakan-akan aku lirik membangun sebuah harapan, namun ia tidak sepenuhnya dapat meninggalkan hidup masa lalunya. Oleh sebab itu ia menghancurkan sendiri harapannya itu. Bahwa kepergiannya bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah. Hal ini dapat kita baca pada larik Namun kita hanya bergerak/Dari sunyi ke sunyi yang lain/Dari lembar khayali semata, atau pada larik Namun dalam setiap keindahan/Tersembunyi kematian/Di keluasan angkasa ini/Tak ada yang lebih indah/Dari keheningan yang syahdu/Betapa aku sebutir pasir.

***

Tiga sajak di atas, secara garis besar memiliki maksud yang sama, yaitu ketidakpuasan pada kehidupan perkotaan. Hal ini yang menyebabkan aku lirik merasa teralienasi. Terdapat rasa kepasrahan yang dialami oleh aku lirik, misal dari sajak “Jamur” terdapat larik di titik itulah aku berbaring melingkar serupa ular memamah/ekor sendiri, atau pada sajak “Perjalanan Menuju Mars”, Namun kita hanya bergerak/Dari sunyi ke sunyi yang lain.

Guna mengurangi rasa teralienasi ini, aku lirik memiliki harapan agar perkembangan kota dapat berselaras dengan alam. Irwan Segara umumnya mengaitkan alam dengan ritual-ritual yang bersifat transendental. Dalam sajak “Perjalanan Menuju Mars” terdapat larik Namun pikiranku telah tiba/Barangkali planet merah itu/Adalah tanah yang dijanjikan/Dalam kitab rahasia-Nya. Sedangkan dalam sajak “Kota yang Kehilangan Salak Anjing dan Suara Jangkrik di Jantung Malam” aku lirik tidak mengharapkan untuk meninggalkan kehidupan perkotaan, namun ia hanya merindukan kota pada waktu Sebelum waktu mencipta lebih banyak/Kemacetan dan mendirikan gedung-gedung/Yang lampu-lampunya/Perlahan menyingkirkan kerlip bintang/Dari jangkauan pandang kita.

Dibandingkan Irwan Segara, F. Aziz Manna menggunakan bahasa yang lebih kompleks, misalnya pada larik di pusat genangan timbunan kubur kegentingan ingatan tersisa, dalam larik ini berderet lima nomina. Saya sebagai pembaca tidak lagi mementingkan makna setiap diksi dari lima nomina tersebut, namun rasa yang dihasilkan saat membacanya. Aziz Manna cenderung menghancurkan gramatika dan memasukkan diksi-diksi ilmiah dalam sajaknya. Resiko saat menggunakan gaya seperti ini adalah makna sajak menjadi kabur.[]

  1. Dapat dibaca pada buku Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (2016), Bab 5 Keterasingan dalam Pekerjaan karya Franz Magnis-Suseno.
KOMENTAR
Post tags:

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register