
Menjadi Pemberani Ala Collete
Pada satu waktu sekelebat ide mampir di kepala. Ada yang langsung menuliskan atau merealisasikannya, tapi lebih banyak yang membiarkannya menguap begitu saja.
Bagi Sidonie-Gabrielle Collete, perlu ada tekanan dan paksaan untuk menghasilkan sebuah novel—yang bahkan sangat berpengaruh pada masanya.
Baca juga:
– Acatalepsy dalam Koleksi
– Prenjak: Uang dan Alat Kelamin
Collete, perempuan dari Saint-Sauveur-en-Puisaye, sebuah desa yang terletak di Burgundy, Prancis. Pada usianya yang masih muda, ia menikah dengan seorang penulis terkenal dari Paris, Henry-Ghautier Villars atau lebih dikenal dengan nama Willy.
Willy dikenal sebagai penulis dan pengulas musik. Namun, tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya ia mempunyai banyak ghostwriter.
Collete pada awalnya hanya membantu Willy dalam menulis surat-surat. Namun, dari sana bakat alami menulisnya terlihat. Willy kemudian meminta Collete untuk menulis sebuah novel, karya ambisius Willy berikutnya.
Willy mengritik habis-habisan novel pertama Collete yang berjudul Claudine à l’école. Sempat putus asa, akhirnya Willy memandu Collete menyempurnakan Claudine à l’école.
Novel tersebut kemudian diterbitkan dan sukses besar. Bahkan cerita Claudine diangkat ke panggung teater.
Willy pun semakin ambisius dan memaksa Collete untuk membuat cerita lanjutan Claudine. Willy harus sampai hati mengurung Collete di dalam kamar agar istrinya itu menulis. Collete akhirnya mampu menyelesaikan Claudine seri kedua, ketiga, hingga keempat.
Collete (2018) disutradarai oleh Wash Westmoreland yang sebelumnya sukses dengan Still Alice (2014). Collete merupakan film biopik penulis terkenal Prancis Sidonie-Gabrielle Collete.
Latar ceritanya terjadi pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Keira Knightley berperan sebagai Collete dan Dominic West sebagai Willy. Knightley memerankan Collete dengan penuh energi.
Namun, tak banyak yang istimewa dari aktingnya kali ini. Aksen britishnya sangat khas, tapi kadang membuat penonton terdistraksi dengan perannya yang lain. Dipadukan dengan West yang gagah dengan kumis dan janggutnya, membuatnya tampak sangar dan intimidatif. Representasi tokoh Willy yang keras dan ambisius.
Filmnya mungkin terasa datar dan agak membosankan di awal. Tipikal film-film dengan latar masa lalu yang pergerakannya terkesan lebih lambat.
Namun, semakin mendekati akhir, kita bisa melihat perjuangan Collete untuk lepas dari bayang-bayang Willy dan mendapatkan kembali haknya sebagai pencipta Claudine sesungguhnya.
Kisah cintanya yang rumit dengan perempuan juga tak hanya jadi sekadar bumbu cerita, tapi justru dari sanalah titik balik keberanian Collete muncul.
Kisah cintanya yang kontroversial dengan Missy (Denise Gough) membawa Collete pada petualangan-petualangan baru. Tak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk proses kreatif menulisnya.
Ia belajar pantomim dan tampil di banyak panggung. Lebih dari itu, ia mulai menulis kembali dengan kesadaran dan mencatatkan namanya sendiri pada karyanya.
Baca juga:
– Room: Ketika Kita Terpisah dari Dunia
– Belajar Pantang Menyerah lewat “The Revenant”
Menjadi berani seperti Collete tak mudah pada masa itu, terutama jika kamu seorang perempuan. Keberanian-keberanian yang terus digaungkan perempuan-perempuan masa kini; untuk berani bicara, berani berpendapat, berani beraksi, dan berani berkarya.
Collete membuktikan bahwa semua yang dipaksakan tak selamanya buruk. Menulis memang pada akhirnya harus terus dipaksakan, dilatih agar jadi sebuah karya yang menembus hati banyak orang.[]