Fb. In. Tw.

Prenjak: Uang dan Alat Kelamin

Aku tenan pengen jaluk tulung kowe. Aku lagi butuh duit tenan. Lan raiso ngenteni suwe.

Dialog tokoh Diah itu mengawali inti masalah dalam film Prenjak besutan sineas muda kelahiran Jakarta, Wregas Bhanuteja. Berdurasi kurang lebih 12 menit, Prenjak sarat makna. Plot cerita yang menarik berpadu sinematografi yang apik, membuat Prenjak berhasil membius para juri Cannes Film Festival 2016 sehingga berhasil  menyabet Winner of Leica Cine Discovery Prize for Best Short Film 55th Semaine de la Critique 2016.

Nama Wregas Bhanuteja bukanlah sosok asing dalam dunia film pendek tanah air. Pada mulanya, mahasiswa lulusan IKJ ini, terlebih dulu mengirimkan tiga karyanya pada ajang kompetisi sinema internasional, yakni Lembusura serta Floatin Chopin, yang juga berhasil memenangkan penghargaan pada perhelatan 65th Berlin International Film Festival – Berlinale Shorts Competition (2015), 39th Hong Kong International Film Festival (2015), Imagine Science Film Festival – New York (2015), dan Asian Film & Video Art Forum – South Korea (2015). Ini membuktikan karya Wregas tidak main-main dalam urusan estetika serta nilai.

Wregas memproduksi Prenjak terinspirasi dari kultur lama di Yogyakarta yang populer sekitar tahun 80-an; transaksi jual-beli korek api untuk melihat kelamin, atau biasa disebut Ciblek. Peristiwa itu tidak dialami oleh Wregas sendiri. Ia diceritakan oleh seorang temannya, kala mereka masih duduk di Sekolah Dasar. Teman Wregas tersebut sedang berjalan-jalan di Alun-Alun Selatan Yogyakarta, lalu seorang wanita penjual wedang ronde menghampiri dan menawarkan korek api. Dengan membayar korek api perbatang seharga Rp 1000, teman Wregas dapat melihat kelamin wanita tersebut, selama sebatang korek api menyala.

Berlatar dapur restoran yang sederhana di Yogyakarta, film ini menceritakan seorang wanita yang berjuang untuk hidup. Wanita itu, Diah (Rosa Winenggar),  menjual korek api kepada rekan kerjanya, Jarwo (Yohanes Budyambara) pada waktu istirahat makan siang. Diah menjual korek apinya perbatang seharga Rp10.000.

Analogi ‘Prenjak’ direpresentasikan ke dalam visualisasi berupa penis seorang pria. “Prenjak memilki sifat pemalu, dan hanya mau berkicau bila bertemu lawannya. Maka dari itu, hal tersebut juga dimiliki oleh alat vital manusia, yang hanya ‘berkicau’ jika bertemu lawannya,” tutur Wregas dalam sebuah diskusi setelah screening film di Universitas Widya Mandala, Surabaya (16/4/2018).

Jika ditelisik dari konteks cerita, penampakan alat kelamin tidak untuk menggambarkan suasana eksotis sedikitpun. Yang ada, alat kelamin sebagai faktor penentu dari bagian cerita. Wregas mengangkat wacana lebih jauh lewat pengembangan cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Pemaknaan alat kelamin tersebut kontekstual. Maka wajar bila kemudian penggambaran alat kelamin memantik banyak wacana. Entah terkait gender, seksualitas, identitas diri, moralitas, serta pembicaraan mengenai ekonomi. Kemungkinan tersebutlah yang Wregas coba telusuri dalam Prenjak.

Baca juga:
– Menghayati Ziarah Mbah Sri
– Istirahatlah kata-Kata: Tak Sepenuhnya Mengistirahatkan Kata-Kata

Dibuka oleh adegan yang ciamik, saat Diah mengatur sendiri meja yang nantinya menjadi tempat transaksi jual-beli, seolah ia yang memegang kuasa atas apapun yang akan terjadi di ruangan tersebut. Diah sebagai pemilik dan penjual korek api memiliki aturan main terhadap Jarwo. Namun, aturan main itu sama sekali tidak membuatnya memegang kuasa apalagi kontrol. Kenyataannya, Jarwo yang menentukan intensitas praktik jual-beli itu.

Selama Jarwo memiliki uang dan membayar ia dapat melihat kelamin Diah. Berbeda dengan Diah ketika melihat kelamin Jarwo, justru mendapatkan uang. Durasi melihat penis Jarwo ditentukan oleh Jarwo sendiri. Kontrol ada di tangan Jarwo, si pemilik uang sekaligus penis. Dari relasi demikian, perempuan seakan terlihat bisa menaklukkan laki-laki dengan alat kelaminnya. Tapi, di saat yang bersamaan, laki-laki seakan bisa menaklukkan perempuan dengan uangnya.

Tidak sampai di situ, Jarwo menasihati Diah dengan mengatakan tentang perlunya memiliki suami. Kalimat ini seakan-akan bermaksud bahwa dengan memliki suami bisa memenuhi kebutuhan finansial Diah. Nyatanya, Diah mengalami kesulitan finansial justru karena memiliki suami. Intrik apakah Prenjak merupakan gambaran bahwa perempuan memiliki kuasa dan kontrol terhadap pilihan, pekerjaan, dan hidupnya atau justru sebaliknya.

Diah selaku perempuan menjadi korban dari beratnya kehidupan. Dari ranah pekerjaan pun domestik. Diah menjual ‘korek api’ dan menerima tawaran Jarwo untuk melihat penisnya adalah suatu realitas sosial yang ironis. Padahal bisa saja Diah tidak membuka matanya saat berada di bawah meja, tetapi pada hitungan ke-20 Diah membuka matanya dan melihat penis Jarwo. Jika dilihat dari scene sebelumnya, Diah terlihat enggan. Ini bisa saja memantik wacana misoginis, bahwa perempuan seakan menikmati pelecehan yang dilakukan terhadapnya.

Lalu, adegan berlanjut dengan Jarwo mengantar Diah pulang. Sesampainya di rumah kontrakan tempat Diah dan anaknya tinggal, Diah menemui seorang lelaki yang kelihatannya seperti pemilik rumah dan memberikan uang hasil transaksi korek api kepada lelaki tersebut. Wacana patriarki pun kembali muncul ke permukaan, tidak habis dinasihati oleh Jarwo mengenai pentingnya memiliki suami dan dibayar karena melihat penisnya. Diah yang menjadi satu-satunya tokoh perempuan dalam Prenjak menunjukkan seolah tidak memiliki kuasa apapun dan laki-laki mendominasi permasalahan yang terjadi pada hidupnya. Padahal, Diah dan Jarwo memiliki posisi yang sama di tempat mereka bekerja, tetapi jika dilihat dari keseluruhan film, cara Prenjak memihak Diah terlalu menguntungkan Jarwo. Diah seolah menjadi satu-satunya orang yang memiliki beban hidup yang berat.

Sebagai sebuah media massa, pengaruh film pada masyarakat sangat besar. Jowett dan Linton menyatakan, “Film adalah institusi sosial yang penting, jauh melampaui sekedar hiburan belaka. Film adalah bagian dari perkembangan masyarakat modern, dan film telah membantu membentuk cara kita hidup.”1 Konten dalam film dapat merefleksikan sekaligus membentuk realitas sosial. Hal itu sesuai dengan pendapat bahwa hubungan antara film dan masyarakat tidaklah linier, tetapi bersifat dialektis. Sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan ‘menghadirkan kembali’ realitas berdasarkan kode-kode, konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.

Mulanya perbedaan gender tidak menjadi masalah, sepanjang atau apabila perbedaan itu tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun pada kenyataannya, perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan dan memunculkan berbagai permasalahan untuk kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk yakni, marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan, pembentukan stereotip melalui pelabelan negatif, kekerasan pada perempuan, beban kerja lebih banyak, serta adanya sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Permasalahan dominasi laki-laki dalam film mengakibatkan “Prenjak” sendiri bersifat patriarki, karena film didasarkan pada pemikiran laki-laki. Unsur patriarki dalam film menyebabkan kepekaan media terhadap gender menjadi kurang. Ditambah budaya paternalistik yang berkembang di masyarakat membagi gender secara diskriminatif dan struktural yang mengakibatkan perempuan hanya ditempatkan pada kelompok masyarakat nomor dua. Adagium Jawa mengatakan bahwa fungsi perempuan yaitu, macak (berdandan), masak (dapur), dan manak (kasur) merupakan sebuah konotasi yang dapat diartikan bahwa perempuan hanya makhluk yang ditakdirkan untuk selalu menjalankan serta melayani titah lelaki. Tetapi bisa jadi, Prenjak hanya ingin menampilkan kembali fenomena patriarkal yang sampai saat ini terjadi.

Bagaimanapun, hubungan antara film dan ideologi kebudayaannya bersifat problematis. Karena film adalah produk dari struktur sosial, politik serta budaya, dan sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut. Dengan demikian, posisi film sesungguhnya berada dalam tarik-ulur dengan ideologi kebudayaan di mana film itu diproduksi. Ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya.

Sebagai seorang manusia Diah adalah subjek, suatu kesadaran, tetapi sebagai perempuan dia adalah liyan yang mutlak, Diah adalah objek. Kontradiksi antara menjadi subjek dan pada saat yang sama dihadapkan pada objektivikasi, seorang perempuan mungkin mendapatkan dirinya menjadi kaki tangan kejahatan terhadap dirinya sendiri dengan cara melarikan diri dari tanggung jawab menjadi manusia yang bebas, suatu subjek2.

Wregas berhasil membuka perspektif penonton bahwa kebudayaan Indonesia yang biasanya membangun citra seks dan seksualitas sebagai wacana yang sangat personal, yang tidak semestinya dibuka atau dibicarakan di depan umum (tabu), menjadi layak dan perlu untuk dibicarakan karena memunculkan banyak wacana lain–mengenai identitas gender, moralitas, kebudayaan, dan ideologi. Pun Prenjak ingin menunjukkan relasi kuasa yang terjadi melalui kondisi sosio-budaya dan ekonomi-politik Jawa pada saat itu yang feodal dan patriarkis.

Baca juga:
– Dunkirk: Perang yang Ambigu
– Beauty and The Beast: Kisah Magis yang Romantis

Mengenai identitas gender, kelamin, moralitas, kebudayaan, dan ideologi yang tidak pernah selesai untuk dibahas, beberapa waktu lalu Indonesia sedang dihebohkan oleh berita prostitusi online yang menyangkut beberapa public figure kenamaan. Salah satunya, adalah artis sinetron, sebut saja Si Manis. Meski tidak ditetapkan sebagai tersangka dan sudah dipulangkan, Manis masih mendapat berbagai kritik dari masyarakat dan media. Sebagian besar tidak setuju dengan berita Si Manis dipulangkan dan hal ini berlanjut dengan cibiran netizen di berbagai akun sosial media Si Manis. Selain itu, berbagai media massa – baik konvensional maupun internet terus saja menggunakan nama Si Manis sebagai headline berita.

Jujur saja, untuk saya pribadi hal tersebut sangat mengganggu dan membosankan. Memang, Si Manis tidak sepenuhnya menjadi korban, karena ia dengan rela menjual dirinya dengan harga tertentu, bukan karena dipaksa atau diancam oleh suatu pihak. Tapi di luar bersalah atau tidaknya Si Manis, tepatkah bila media dan masyarakat terus menyudutkannya? Sanksi hukum yang diberikan kepadanya belum pasti, tetapi masyarakat sudah menghabisinya dengan sanksi sosial seperti cyberbullying yang dilakukan di media sosial. Media juga seolah tak henti untuk menyuguhi masyarakat dengan konten yang sama.

Jika artis yang menjadi PSK, masyarakat dan media akan terus membicarakannya, dan membuat Si Manis seolah menjadi pelaku utama dalam prostitusi online. Tapi, bagaimana dengan prostitusi yang terjadi di sekitar kita? Di berbagai tempat-tempat remang yang jauh dari glamor. Di bar-bar tidak jauh dari tempat kita tinggal, sudut-sudut jalan, bahkan warung minuman. Apa masyarakat menyebutnya sebagai pelaku? atau korban dari beratnya himpitan ekonomi? Sehingga mereka terpaksa melacur. Seperti yang terjadi kepada Diah, menjual korek api. Dari Prenjak kita menyadari bahwa hidup tidak mudah, perempuan menjadi tumbal dari setiap permasalahan, hidup tidak adil, Diah bahkan harus mengurus anaknya setelah bekerja, Diah ditinggalkan suaminya, Diah berjuang sendirian. Bukankah miris? Memprihatinkan? Padahal tidak jauh berbeda dengan Si Manis, Diah menjual korek apinya secara sukarela. Tapi mengapa hal yang terjadi kepada dua perempuan ini terasa sangat berbeda. Apa karena perbedaan harga yang sangat jauh, cara kerja mereka atau karena Si Manis seorang artis sedangkan Diah hanya pekerja restoran?

Dari sekian banyak aspek terkait kasus prostitusi online, dari – profil klien prostitusi online tersebut, struktur jaringan, pihak ketiga, dsb – sebagian media memilih untul lebih fokus mengupas seluk beluk sosok sang artis. Memperoleh rating dan sharing yang tinggi menjadi fokus utama. Media menggiring opini masyarakat untuk menyudutkan salah satu pihak, di luar pihak tersebut menjadi pelaku atau korban. Yang selalu menjadi perhatian utama adalah sosok perempuan – menjadi sosok yang selalu disalahkan.

Padahal, bukankah dengan menjual berarti ada pihak lain yang membeli – membayar? Tetapi dengan hangatnya perbincangan sosok si artis – si perempuan, media dan masyarakat seolah lupa dengan pihak ketiga, klien, dan perputaran bisnis prostitusi online yang jauh lebih penting. Ketika pihak perempuan selalu disudutkan, si lelaki bebas melenggang pergi. Media dan masyarakat lagi-lagi membingkai perempuan sebagai objek. Jadi, dimana moralitas yang selalu diagung-agungkan itu?[]

 

  1. Irawanto, Budi. 2017. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indoneia. Insistpers: Yogyakarta.
  2. Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Jalasutra: Yogyakarta.

 

Si ganja: gadis manja, kelahiran Bandung yang tinggal di Surabaya.

You don't have permission to register