
Belantara Kata Ahmad Yulden Erwin
Preambul
Saat membaca sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin yang tayang di Kompas tanggal 28 April 2018, saya dihadapkan pada sebuah bangun teks yang tidak dapat dibaca hanya sambil lalu. Setiap kali membaca sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin selalu ada pemaknaan baru, pemaknaan dari belantara diksi yang membangun komposisi puitik sajak.
Dalam menikmati sajak, pembaca harus memahami terlebih dulu teks dan konteks yang dihadirkan. Pemaknaan pembaca atau interpretan sangat bergantung dengan khazanah pengetahuan pembaca sendiri. Esai ini hadir sebagai tawaran pembacaan saya dalam memaknai sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin.
Terdapat tiga sajak yang tayang yaitu “Hamlet Kita”, “Mencuri Lirik Rap Gaya Manhattan”, dan “Aidit Kita 5”. Sajak “Aidit Kita 5” merupakan salah satu dari lima judul yang berkaitan, barangkali karena keterbatasan lembar koran, maka yang tayang hanya sajak ini.
***
Seperti sajak-sajak yang tayang sebelumnya, tipikal sajak yang tayang di Kompas adalah intertekstualitas secara eksplisit terhadap teks atau pengabstraksian inti teks sebelumnya1. Begitu pun sajak dari Ahmad Yulden Erwin, saya melihat kecenderungan tersebut terutama pada sajak “Hamlet Kita” dan “Aidit Kita 5”.
Kisah Hamlet, sebuah tragedi tentang prasangka dan dendam yang akhirnya menumpahkan banyak darah merupakan hipogram dari sajak “Hamlet Kita”. Mari kita baca sajaknya.
Hamlet Kita
1
Langit mencipta lelaki itu dari cahaya
Ketika nubuat kembali dilepaskan
Setelah panah waktu diputar ulang
Dunia tak lain ihwal yang gagal
Ketika ia bernyanyi di sana
Dan mencipta batu di atas kepalanya
Meski, bisa kubisikkan padamu,
Hamlet begini positif seorang penipu.
2
Benar, ia terjun ke tengah kubang darah
Sebelum sepi pun ingar, ketika arwah
Peragu itu berkisah tentang ular-ular
Ia tak pernah belajar dari masa lalunya
Dan terus saja bermimpi, sebelum
Maut digeser ke tengah papan catur itu
Sebelum kemenangan, atau tabu itu,
Menyalakan hasrat pada pinggul
Betina yang tergesa melepas gaunnya.
3
Mungkin, ia memang seorang
Ronin dengan jubah istana
Sebelum bau anyir itu dilepaskan
Antara bangkai dan serpih kuarsa
Sepi terhampar di depan matanya
Namun, ia tak ingin kembali tertawa
Sebab ia terlanjur menduga
Dunia tak lain imaji di balik prasangka
4
Jadi ia mulai berpikir tentang revolusi
Dan segala negasi lain, sebelum
Terpahat pada dinding karang yang dingin
Lalu ia biarkan spektra asing itu gemetar
Menduga sebaris sabda, atau semacam doa,
Berharap kepastian akan segera melepas
Citra aneh itu ke sebuah dermaga,
Sebelum terbakar di penjara mimpimu.
5
Siapa yang memimpin angkatan perang itu?
Siapa yang akan mengutuk kematianmu?
Ketika gelombang ragu mendadak berputar
Di telingamu, mereka masih saja berkisar
Terseret dongeng dan kembali tertawa
Tatkala sepasang hantu dari puncak menara
Mendadak terjaga, lalu terbang ke arah pintu
Dan melempar perawi itu ke jurang neraka.
Pembubuhan kita pada judul sajak, mempertegas deiksis persona yang menunjukkan kepemilikan. Maka “Hamlet Kita” dapat diinterpretasikan sebagai kisah dari tokoh-tokoh yang selama ini kita tahu sebelumnya. Hal ini dikuatkan pada pengulangan deiksis itu dalam sajak, misalnya lelaki itu, tabu itu, bau anyir itu, citra aneh itu, dan perawi itu, mengesankan bahwa terdapat kisah yang melatarbelakangi sajak dan pendengar cerita memang pernah mengetahuinya secara sekilas.
Sintaksis dalam sajak ini terkesan kaotis, kalimat tidak dirampungkan pada satu larik saja, melainkan harus dibaca dengan larik atau bahkan bait selanjutnya. Meskipun begitu, kita dapat mengira-ngira keterkaitan kohesi dan koherensi dalam larik-lariknya, cara ini menghadirkan penekanan semantik dalam jeda enjabemen yang digunakan.
Misalnya dalam fragmen dua pada larik Sebelum sepi pun ingar, ketika arwah/Peragu itu berkisah tentang ular-ular, arwah peragu merupakan kesatuan frasa yang dipotong dalam dua larik, maka saat membaca larik ini, kita digiring untuk merampungkan kalimat yang tidak selesai. Dengan teknik ini, terdapat penekanan sifat peragu yang dimiliki oleh arwah tersebut. Hal sama pun terjadi pada kalimat yang tidak dirampungkan dalam satu bait, terdapat pada fragmen empat yaitu Berharap kepastian akan segera melepas//Citra aneh itu ke sebuah dermaga,.
Dalam sajak ini kisah Hamlet dituturkan dengan cara naratif. Seorang narator berkisah kepada lawan bicaranya yang juga terlibat dalam dimensi sajak. Bisa dibilang sajak ini membangkitkan sugesti akan kisah Hamlet, dan kita diminta menyatukan potongan-potongan kisah dan aforisme. Peristiwa-peristiwa yang dihadirkan tidak dituliskan secara runut, sebab itu, memperkuat kesan bahwa konteks pragmatik sebagai tuturan narator yang kadang memiliki tendensi tertentu (Hamlet begini positif seorang penipu).
Baca juga
– Seandainya Puji Kuswati Membaca Puisi Fitra Yanti
– Membaca Sajak Dua Penyair dari Barat
Sajak “Aidit Kita 5” merupakan bagian akhir dari sajak lain yang berkaitan, jika dibaca sajak-sajak lainnya, Aidit yang dimaksud ialah D.N. Aidit, orang yang pernah menjadi ketua PKI. Namun dalam sajak “Aidit Kita 5” isotopi yang hadir kurang mendukung interpretan dalam mengkorelasikannya dengan D.N. Aidit. Sebab sajak ini terkesan mengedepankan impresi kemurungan tentang Aidit.
Aidit Kita, 5
Di seberang peron hanya kereta
Tanpa lokomotif, kegelapan
Sepanjang nadi berdenyut dalam angin
Menghantar gerakan-gerakan dingin
Pada lekuk dagu, di luar epigon
Detak jam, sepenuhnya tanpa kata ganti diri
Lalu maut pun menyala di samping gerbong tua itu
Sebelum telapak tanganmu menolak penafian
Dan halimun aneh berputar pada satu sudut
Di samping tempurung lutut, menduga-duga
Bayang keilahian, tapi memang tak ada laut
Di sana, tak ada apa pun yang akan menjelma
Kesedihan (kata megah itu) hanya embun yang luput
Tertangkap matahari pagi, hingga gelap pun luruh
Bersama kilasan lanskap atau bayang-bayang hujan
Sebelum kereta, gelombang udara, dan sepasang
Srigunting makin menjauh, lalu doa-doa pun
Runtuh, tapi (di sini) kesunyian tak mengutuk apa pun.
Kereta tanpa lokomotif dalam bait pertama dapat dinterpretasikan tentang penggambaran para anggota PKI telah kehilangan pemimpin pasca 30 September 1965. Setelahnya dihadirkan impresi kemurungan terkait hal tersebut.
Misalnya dalam larik Kesedihan (kata megah itu) hanya embun yang luput/Tertangkap matahari pagi, hingga gelap pun luruh/Bersama kilasan lanskap atau bayang-bayang hujan. Kesedihan diibaratkan sebagai embun, sedangkan embun tersebut luput tertangkap oleh matahari pagi yang memiliki konotasi kesempatan, harapan, dan sebagainya, hingga akhirnya gelap datang bersama bayang-bayang hujan. Kemurungan yang sungguh paripurna. Selain itu, isotopi kemurungan dijaga secara ketat dalam sajak ini, misalnya lewat diksi kegelapan, maut, halimun, kesedihan, kesunyian dan masih banyak lagi.
Sajak terakhir berjudul “Mencuri Lirik Rap Gaya Manhattan”, berbeda dalam dua sajak sebelumnya, sajak ini menghadirkan unsur puitik dengan caranya sendiri. Rap hadir bukan hanya sebagai alusi, namun dalam sajak ini saya merasa membaca lirik lagu rap, yang ketat akan rima pada akhir kalimatnya.
Hip hop music in its infancy has been described as an outlet and a voice for the disenfranchised youth of marginalized backgrounds and low incomes area, as the hip hop culture reflected the social, economic, and political realities of their lives.2
Maka dalam sajak ini, dimunculkan gambaran-gambaran tentang kemiskinan (low incomes area) seperti pada kalimat Pagi mengejar kaca jendela, masuk ke gelas kosong, berlompatan ke piring-piring kosong, dan berakhir di siring kosong atau mengejar parodi ke lubang jiwanya—bagai koeli tanpa kerja. Kerja! Setiap pencuri mesti mengejar piring makannya dengan bayang dan sepasang sayap belalang. Begitu juga terdapat kritik terhadap perpolitikan dalam kalimat Sepasang sayap hantu seperti nasib suatu bangsa, selalu mengejar yang tak ada.
Jika kita sekilas membaca, tentu akan ada banyak lompatan imaji yang dihadirkan. Hal ini agaknya merupakan pengaruh stilistika surealisme yang juga dijelaskan oleh Yulden, di mana penghadiran serentak aneka objek-tematik dalam satu ruang-waktu secara dialektik, menumpuk-numpuk benda serta renung batin dalam satu teks, menciptakan jeda dengan patahan-patahan sintaksis untuk menghadirkan lompatan-lompatan makna, demi menghadirkan kekosongan dalam satu bidang teks yang penuh.3 Meskipun begitu ‘kekacauan’ dalam sajak ini merupakan keteraturan atau konsekuensi logis atas pilihan konteks pragmatik sajak.
Membaca tiga sajak Ahmad Yulden Erwin merupakan tantangan tersendiri, di mana kita tersesat mencari jalan keluar menuju pemaknaan, namun di saat yang sama, kita menikmati belantara kata-kata tersebut.[]
1 Dapat dibaca pada esai-esai dalam rubrik Bukakoran laman buruan.co.
2 https://en.m.wikipedia.org/wiki/Hip_hop_music.
3 Erwin, Ahmad Yulden. “Jeda dalam Ruang Puitik”. Sabda Ruang. Bandarlampung: Indepth Publishing, 2015.